Thursday, April 24, 2008

SETELAH SATU DASAWARSA REFORMASI: KONSOLIDASI DEMOKRASI DAN PROSPEK PEMILU 2009

1. Reformasi politik yang dimulai pada th 1998 akan berusia satu dasawarsa pada Mei depan. Selama kurun waktu tersebut berbagai perubahan mendasar dalam rangka membangun kembali sistem politik demokratis yang kokoh dan berkesinambungan telah dilakukan oleh para pekerja demokrasi dan diteruskan oleh para pemangku kepentingan politik dari berbagai spektrum. Para pekerja demokrasi telah berhasil mengakhiri kekuasaan rezim otoriter Orba yang telah bercokol dalam perpolitikan nasional selama tiga dasawarsa, dan mendorong terjadinya serangkaian perubahan fundamental dalam sistem politik dan pemerintahan yang menjadi prasyarat bagi proses panjang demokratisasi di masa datang. Yang paling utama adalah dilakukannya empat kali amandemen atas UUD 1945, khususnya pasal-pasal yang dianggap tidak lagi relevan dengan zeitgeist serta dinamika perubahan politik yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan mendasar itulah yang kemudian menjadi landasan utama bagi proses pemulihan dan penegakan demokrasi yang pada gilirannya akan dapat menjadi wahana bagi pemenuhan cita-cita Proklamasi dan tujuan pembentukan negara RI sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

2. Dalam perkembangannya hingga saat ini, proses pemulihan demokrasi tersebut telah berlanjut dengan dilakukannya berbagai perubahan yang signifikan dalam bidang politik, beberapa diantaranya bahkan tak terbayangkan sebelumnya. Bukan saja kita menyaksikan munculnya empat Presiden selama periode tersebut, tetapi juga maraknya kehidupan pers yang bebas; pemilihan Presiden dan Wapres serta pimpinan eksekutif di daerah secara langsung; tumbuh dan berkembangnya masyarakat sipil (civil society); penguatan kemandirian daerah; dan, keamanan nasional yang cenderung makin stabil. Reformasi juga membuka peluang terjadinya pengembangan kelembagaan politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip universal yang dianut oleh sistem demokrasi. Umpamanya, perubahan kekuatan militer dan birokrasi dari fungsi menjadi tulang punggung dan mesin kekuasaan pemerintah, menjadi berada di luar ranah politik praktis dan menjadi alat bagi penyelenggaraan kenegaraan sebagaimana yang lazim dalam negara demokrasi. Parpol yang merupakan salah satu pilar utama dalam sistem politik demokratis juga mengalami penataan ulang menuju institusionalisasi dan fungsionalisasi sehingga dapat menjadi penyalur aspirasi dan kepentingan warganegara dalam pembuatan keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka. Di ranah legislatif dan judikatif, terbuka peluang bagi proses pemberdayaan dan pemandirian kedua lembaga negara tersebut agar prinsip “checks and balances” dapat terwujud dalam tata kelola negara. Last but not the least, penghormatan dan perlindungan terhadap HAM yang menjadi salah satu inti sistem demokrasi telah mendapat landasan yang semakin kokoh setelah reformasi terjadi, khususnya dengan adanya amandemen terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan HAM dalam UUD 1945.

3. Agar perubahan-perubahan tersebut dapat dinikmati buahnya oleh warganegara secara keseluruhan, maka kesinambungan (sustainability) dan peningkatan ke pada tahapan yang lebih lanjut dari reformasi dan penguatan demokrasi mutlak diperlukan. Namun segara harus disadari bahwa setelah kita sampai satu dasawarsa pelaksanaan reformasi, tampak jelas bahwa kita masih berkutat dalam tahap peralihan (transitional phase) yang sejatinya sudah harus berakhir dan kita telah berada pada tahap konsolidasi demokrasi. Kondisi transisional yang berlarut-larut, apalagi tidak stabil dan cenderung mengalami kemunduran, pasti akan mempengaruhi elan, stamina, dan kapasitas bertahan dari para pemangku kepentingan (stakeholders) dan berkorelasi negatif dengan legitimasi publik dan warganegara terhadap reformasi dan demokratisasi. Pengalaman yang terjadi di negara-negara yang mengalami transisi dari rezim otoriter baik di Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika, dan Asia mengajarkan pada kita bahwa kelambatan dalam konsolidasi kekuatan dan lembaga demokrasi akan membuka celah dan peluang bagi kembalinya rezim lama, baik secara pelan (incremental) dan bertahap (gradual) maupun radikal. Apalagi dalam suatu konteks geopolitik global yang tidak lagi mendukung gerakan demokratisasi, karena keterpukauan terhadap perang melawan terorisme, maka kondisi transisional menjadi semakin tidak kondusif bagi suatu proses pendalaman dan perluasan demokrasi (democratic deepening and widening process).

4. Pada konjungtur sejarah seperti saat inilah faktor kepemimpinan dan kepeloporan kekuatan pro-demokrasi menjadi sangat vital adanya. Di Indonesia perubahan dari sistem otoriter menuju demokrasi berjalan lebih karena dipicu oleh sebuah krisis sistemik, khususnya dari ekonomi, ketimbang suatu proses yang dilakukan secara sistematik dalam bentuk gerakan massa yang dipimpin oleh suatu partai atau gabungan partai pelopor. Akibatnya, tahapan transisional yang terjadi sangat rentan terhadap ancaman-ancaman elemen-elemen disintegratif, baik dari internal maupun eksternal karena masih rapuhnya sistem politik baru yang dihasilkan. Kondisi transisi yang berlarut dan tak kunjung usai mempunyai dampak yang negatif bagi para stakeholdersnya: bukan saja memperlemah kohesivitas mereka, tetapi juga menyebabkan terjadinya ancaman eksodus para pendukung mereka manakala tidak segera adanya manfaat nyata (tangible outcomes) yang dapat dirasakan. Dengan kata lain, alih-alih masa transisi kemudian akan mengantarkan pada tahap konsolidasi demokrasi, ia justru merupakan ajang bagi kekuatan anti-reformasi untuk melakukan mobilisasi dan kembali memegang kendali. Jika para pemimpin dan pekerja demokrasi gagal untuk meyakinkan dan membuktikan kepada rakyat bahwa reformasi dan demokrasi dapat, dan telah, memberikan manfaat langsung lebih baik dari sistem otoriter, maka pasti terjadi proses delegitimasi yang akan mengancam kesinambungan dan keberadaannya.

5. Ditilik dari apa yang telah dan sedang yang terjadi selama satu dasawarsa reformasi di negeri ini, pemerintahan-pemerintahan yang silih berganti tampaknya masih belum mampu menjadi pelopor dan penggerak percepatan pergeseran dari kondisi transisional tersebut. Ironisnya, akhir-akhir ini kita tengarai mulai munculnya gejala elit politik yang justru mempertanyakan efficacy demokrasi dengan berbagai dalih, argumentasi, dan wacana yang dipakai. Terjadinya kelelahan politik (political fatigue) untuk mengawal reformasi dan demokrasi di kalangan para stakeholders pun cenderung menguat yang dapat kita lihat dari prilaku para politisi yang lebih mengedepankan praktik business as usual sebagaimana kita saksikan di lembaga-lembaga legislatif dan parpol. Kelelahan dan sikap mementingkan diri seperti itu turut menyumbang munculnya pandangan publik yang negatif, bahkan sinis, terhadap lembaga-lembaga negara seperti Pemerintah, DPR/D dan DPD, serta parpol. Sikap-sikap tersebut akan berujung pada apatisme publik terhadap keterlibatan dalam urusan publik yang sejatinya merupakan cirri khas dari sistem politik otoriter!. Kondisi ini makin diperparah dengan kian melemahnya komunikasi antara masyarakat sipil dan masyarakat politik yang, pada gilirannya, melahirkan sikap saling curiga dan menurunnya sikap saling percaya (mutual trust) dari kedua kekuatan demokrasi itu. Hasilnya adaah carut marut dan tumpang tindih peran dan fungsi antara keduanya makin membingungkan dan mengasingkan warga masyarakat.

6. Kondisi tersebut berdampak negatif terhadap peluang-peluang yang diperjuangkan secara susah payah oleh gerakan reformasi. Salah satu bukti yang tampak nyata adalah semakin melemahnya penerapan prinsip “checks and balances” dalam penyelenggaraan negara. Kendatipun pada umumnya digembar-gemborkan bahwa cabang legislatif pada era reformasi telah mengalami pemberdayaan (bahkan ada yang mengatakan terlalu kuat), tetapi sebenarnya tidak demikian halnya. Justru cabang eksekutif dalam praktik semakin dominan sebagaimana kita lihat dalam berbagai episode perseteruan kepentingan antara pemerintah dan DPR. Sementara itu, cabang judikatif yang ada saat ini mengalami kemunduran serius dan semakin tidak mampu menjadi pihak pengendali agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan, baik dari cabang legislatif maupun eksekutif. Kasus-kasus persetruan antara lembaga judikatif seperti MA dan KY, ditambah dengan merosotnya wibawa lembaga peradilan karena korupsi dan pembuatan keputusan yang oleh publik dianggap tidak mempedulikan asas keadilan, makin memperlemah egitimasi dan kapasitas lembaga negara ini.

7. Dalam lingkungan dan kondisi politik seperti ini, pemilu bisa menjadi salah satu pintu masuk bagi akselerasi tahapan konsolidasi demokrasi manakala kekuatan politik pro demokrasi dapat meneguhkan kembali legitimasi dari masyarakat untuk melanjutkan reformasi dan demokratisasi. Fungsi utama pemilu adalah menjadi ajang bagi rakyat untuk meneguhkan dan/atau menilai kembali legitimasi terhadap para pemegang kekuasaan untuk menjalankan mandat tanpa kekerasan. Partai-partai politik yang berkompetisi, baik yang lama maupun yang baru, akan memperoleh kesempatan yang sama untuk merebut kepercayaan rakyat dan selanjutnya menjalankan program-program yang telah mereka tawarkan melalui platform politik kepada para calon pemilih.

Pertanyaan kita sekarang adalah apakah pemilu pada 2009 yang akan datang dapat memberikan dorongan bagi penguatan demokrasi ataukah sebuah proses legitimasi bagi kekuasaan yang mengedepankan pragmatisme dan business as usual?. Kecenderungan sampai awal 2008 menunjukkan alotnya tarik-menarik antara parpol lama dan calon parpol peserta pemilu di satu pihak, dan juga belum terbangunnya suatu sinergi yang baik antara masyarakat sipil vs masyarakat politik di pihak lain. Kasus leletnya pembuatan Paket RUU Politik sampai saat ini adalah contoh paling gamblang dari gejala di atas. Belum lagi jika ditambahkan adanya faktor kejenuhan publik terhadap politik karena ketidak percayaan terhadap para politisi dan lembaga politik, maka akan semakin mendukung pesimisme bahwa pemilu 2009 akan lebih bermakna bagi kesinambungan demokratisasi dan bukan hanya alat melanggengkan status quo politik, baik dengan kemasan lama maupun baru.

8. Terlepas dari adanya kekhawatiran di atas, pada prinsipnya proses reformasi dan demokratisasi haruslah menjadi kepentingan bersama untuk dipertahankan keberadaan dan momentumnya apabila bangsa ini tidak ingin mengulangi kegagalan yang sebelumnya telah terjadi dan memakan biaya kemanusiaan yang luar biasa serta kemunduran bangsa kita dalam percaturan antar-bangsa. Sebagai warganegara yang memiliki rasa tanggungjawab terhadap keberlangsungan dan kejayaan bangsa di masa depan, kita wajib terlibat dalam proses menjadi bangsa sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini. Perjalanan sejarah kita setelah Proklamasi selama enam dasawarsa menunjukkan bahwa tanpa kepedulian dan keterlibatan warganegara dalam proses-proses penyelenggaraan negara hanya akan membuat bangsa ini semakin jauh meninggalkan raison d’etre bagi keberadaannya dan, lebih parah lagi, semakin terpuruk dalam pergaulan antar bangsa yang modern dan beradab. Jika demokrasi telah disepakati sebagai suatu keharusan bagi keberadaan sebuah tatanan yang mampu memberikan wahana bagi bangsa yang majemuk ini untuk mengaktualisasikan diri dan cita-citanya, maka tak pelak lagi bahwa kita tak bisa membiarkan terjadinya pemunduran atau pemerosotan arti dari reformasi yang telah berusia sepuluh tahun ini.

DIRGAHAYU GERAKAN REFORMASI DAN DEMOKRATISASI!!

m.a.s.h

Share:

1 comments:

  1. Wacana yang saat Ini bEredaR tErutama menjelang PemiLU 2009, adalah munculnya calon-calon yang berasal dari kalangan "artis" sepertihalnya Pasangan HADE, dapat mendominasi suara di wilayah jawa barat! Sepertinya pola yang ada dalam masyarakat saat ini adalah "selebrity oriented"..
    mUNgkIn jika Indonesia berkaca DEngan AS Yang pada Masa itu, selebritis holywood Ronald S yang dapat menjadi GubernUR di calIfOrnia..dan mampu membawa masyarakat nya dalam kemajuan...
    akan kah hal yang sama terjadi di Indonesia, mengingat saat ini dari pemilih cenderunG "selebrity orientED"....

    ReplyDelete

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS