Thursday, September 16, 2010

UU INTELIJEN: KENISCAYAAN DALAM REFORMASI, DAN DEMOKRATISASI

Oleh Muhammad AS Hikam
President University,

BIN: Velox et exactus


Pengantar

Reformasi yang telah berlangsung selama lebih dari satu dasawarsa di Indonesia sedang mengalami pancaroba dan memerlukan pengelolaan yang tepat dan efektif agar perkembangannya ke depan akan semakin mendekati cita-cita para pendiri bangsa dan pejuang demokrasi serta mampu menjadi wahana bagi pengejawantahan amanat Konstitusi. Salah satu masalah yang masih harus dibenahi dan diperbaiki adalah sektor keamanan Negara (Kamnas) yang termasuk di dalamnya bidang intelijen Negara yang berfungsi sebagai lini pertama pertahanan negara (the first line of defence) dan alat peringatan serta deteksi dini (early warning and detection) menghadapi ancaman. Pada kenyataannya, sepanjang sejarah Republik Indonesia, peran penting lembaga intelijen telah diakui oleh semua pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan negara dan keberadaannya pun telah diakui bahkan sejak perjuangan rakyat Indonesia melepaskan diri dari kolonialisme dan dilanjutkan pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI yang masih sangat muda.

Namun demikian, selama lebih dari enam dasawarsa semenjak kemerdekaan sampai saat ini, eksistensi lembaga dan penyelenggara intelijen negara ternyata masih belum mantap karena landasan hukum yang sepadan dengan kedudukan strategisnya belum diwujudkan. Sehingga pengembangan dan pemberdayaan fungsi dan peran intelijen belum dapat berjalan sebagaimana yang seharusnya. Lembaga dan penyelenggara intelijen di Republik ini justru dapat dikatakan masih berada dalam posisi yang marginal dan senantiasa menghadapi resiko dianggap sebagai elemen yang tingkat kompatibilitasnya kecil dengan demokrasi dan aspek perlindungan HAM. Konsekuensinya adalah bahwa lembaga dan komunitas intelijen di dalam wacana dan praktik penyeleggaraan negara, pada era paska Reformasi, acapkali disikapi dengan "benci tapi rindu" dan bahkan sering secara a-priori disebut sebagai sesuatu yang "jelek namun niscaya" (the necessary evil). Padahal, penyikapan-penyikapan demikian bukan saja membuat keberadaan lembaga dan penyelenggara intelijen kurang dipahami dan diapresiasi secara benar oleh warganegara, tetapi pada akhirnya akan berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan. Sebagian dari publik dan pihak-pihak yang menginginkan lembaga dan penyelenggara intelijen negara berada pada posisi marjinal akan selalu mengeksploitasi rekam jejak yang kurang baik dan kurang membanggakan, untuk selanjutnya dibawa kepada sebuah konklusi bahwa keberadaan intelijen tidak diperlukan lagi atau setidaknya harus mengalami reduksi fungsi dan peran secara besar-besaran. Repotnya, pada saat kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami berbagai kecarut-marutan sebagai akibat gangguan keamanan dan ancaman strategis, sering pihak yang lebih dahulu menjadi sasaran kritik adalah intelijen karena ia dianggap "terlalu lemah", "tidak memiliki kemampuan," "tidak dapat dipercaya," dan litani hujatan lain.

Pihak lembaga intelijen dan pnyelenggara intelijen negara, yang memang belum memiliki payung hukum yang cukup mampu melindungi keberadaan dan pengembangan dirinya, tentu saja akan cenderung bersikap defensive dan ragu. Ironisnya bangsa dan negara ini - sebagaimana layaknya semua negara yang merdeka dan berdaulat - akan tetap memerlukan kehadiran dan peran strategisnya. Artinya, dalam kondisi selemah apapun, mereka akan diminta untuk bekerja untuk melindungi keamanan dan pertahanan negara!. Kondisi seperti ini sudah pasti akan mudah menimbulkan berjangkitnya "moral hazard" dalam lembaga dan penyelenggara intelijen yang, pada gilirannya, menyulitkan mereka untuk bekerja secara optimal karena minimnya infrastruktur, kelemahan SDM, dan ketertinggalan teknologi yang disebabkan oleh posisi yang tidak kondusif tersebut. Intelijen Indonesia yang memiliki rekam jejak yang dapat dibanggakan selama masa perjuangan mendirikan dan mempertahankan eksisitensi RI serta pada era setelah itu, terancam akan mengalami kesulitan dalam mengantisipasi perubahan global yang meniscayakan semakin intensifnya keterlibatan intelijen di segala macam bidang strategis itu. Di negara-negara maju dan demokratis, kekuatan dan kemampuan intelijen telah dipergunakan secara maksimal dalam semua kegiatan strategis termasuk dunia perdagangan, industri, dan bisnis di samping fungsi perlindungan pertahanan negara. Dengan perubahan-perubahan yang sangat mendasar pada ranah geopolitik dan geostrategis global, maka peningkatan kapasitas intelijen di suatu negara adalah sine qua non dan sebaliknya pula, semakin suatu negara mengabaikan peran dan fungsi strategis dari lembaga dan penyelenggara intelijennya, maka ia semakin meriskir dirinya menjadi target infiltrasi dan penetrasi strategis Negara lain.


UU Intelijen dan Beberapa Permasalahannya

Berangkat dari kerangka berfikir di atas, maka insiatif DPR-RI, dalam hal ini Komisi I, untuk membentuk dan menetapkan UU Intelijen Negara bersama Pemerintah dalam tahun 2010 ini merupakan hal yang harus disambut dengan positif oleh lembaga intelijen, komunitas intelijen, masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil (OMS), serta seluruh pemangku kepentingan sektor keamanan di negeri ini. Publik sejatinya telah lama menunggu agar UU ini dibuat bersamaan dengan bergulirnya reformasi, apalagi pada akhir-akhir ini ketika kejahatan terorisme internasional telah masuk dan membawa korban jiwa dan harta benda di Republik ini. Survey yang baru-baru ini dibuat oleh Center for Liberty and Security Policies (CLSP) menunjukkan bahwa kalangan kelas menengah intelektual di Indonesiapun (yang secara naluriah sangat kritis terhadap intelijen) ternyata sangat mendukung dibuatnya aturan perundang-undangan bagi intelijen negara. Dengan demikian, inisiatif DPR tersebut memiliki nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sangat strategis karena kita sebagai bangsa yang sedang mengalami paceklik dalam demokrasi ini tetap menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pengembangan institusi dan kapasitas demokrasi. Salah satu pengejawantahannya adalah pembuatan aturan perundang-undangan yang akan mampu mendukung pengembangan instutusi dan kapasitas intelijen yang sangat diperlukanoleh negara dan bangsa ini.

Tentu saja bukan berarti pembuatan UU ini berlangsung tanpa kontroversi dimasyarakat, khususnya di kalangan kelompok-kelompok yang peduli terhadapkeberlangsungan reformasi, demokratisasi, dan perlindungan HAM. Beberapa waktu terakhir ini, saya mendapat kesempatan ikut terlibat dalam diskusi-diskusi tentang RUU Intelijen bersama kalangan cendekiawan dan LSM yang memiliki kepedulian dan focus kepada masalah Hankam dan demokrasi serta HAM. Kesan saya adalah bahwa kendati sebagian besar para cendekiawan dan aktivis bisa menerima keniscayaan dibuatnya RUU Intelijen (yang memang sudah diwacanakan dan dibuat berbagai draftnya semenjak tahun 2002), namun perbincangan kritis dan perdebatan mengenai berbagai kegiatan intelijen vis-a-vis nilai dasar dan praktik yang inheren didalam pengembangan demokrasi dan perlindungan HAM masih cukup kuat. Bagi saya hal ini merupakan pertanda bahwatingkat kepercayaan (trust) darisebagaian anggota masyarakat kepada lembaga dan komunitas intelijen negaramasih perlu ditingkatkan dan diperkuat. Masih kuatnya trauma terhadap kiprah intelijen di masa lalu – yang menjadi bagian dari alat dominasi kekuasaannegara terhadap masyarakat sipil – merupakan sebuah indikator bahwa persepsi masyarakat terhadap intelijen negara sebagai sebuah lembaga independen,non-partisan, dan berada di bawah kontrol sipil belumlah merata.

Dalam perdebatan publik yang saya ikuti dan pantau hingga kini, termasuk yang diusung oleh anggota DPR Komisi I, masih ada berbagai kekhawatiran – yang sebagian legitimate dan valid, sedangkan sebagian lainnya tidak terlampau beralasan – menyangkut keberadaan UU Intelijen tersebut. Beberapa permasalahan yang cukup menonjol dan menjadi silang pendapat dan perdebatan antara lain adalah: 1) masalah pembedaan (diferensiasi) peran danfungsi intelijen, mencakup intelijen dalam negeri, luar negeri, pertahanan,penegakan hukum, kementerian dan seterusnya; 2) masalah lingkup wewenang BIN dan Kepala BIN sebagai Koordinator komunitas intelijen di Indonesia; 3) masalah pengawasan terhadap BIN dan komunitas intelijen; 4) masalah kewenangan khusus BIN menyangkut penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan khusus; dan 5) masalah pemberdayaan komunitas dan lembaga intelijen negara. Di antar kelima masalahtersebut maka poin ke 4 adalah yang paling tinggi tingkat kontroversinya, disusul poin ke 3, ke 2, dan 1. Poin ke 5, sejatinya tidak kontroversial sama sekali dan bahkan menjadi usulan dari banyakpihak agar menjadi bagian dari UU Intelijen karena usulan yang ada baik darikomunitas intelijen maupun dari DPR masih belum terakomodasi dengan baik.

Dalam menyikapi berbagai masalah di atas, hendaknya kita sebagai anak bangsa yangs edang berupaya memperkuat kelembagaan demokrasi (democratic institutional empowerment) juga menempatkan intelijen sebagai salah satu unsur yang strategis di dalamya. Sebab keberadaan UU ini akan dapat semakin memperjelas kedudukan, fungsi, peran, dan tugas-tugas penyelenggara intelijen yang selama ini hanya diatur dengan Keppres dan/atauInpres saja. Yang terakhir misalnya adalah Kepres No. 103/2001 dan Inpres No.5/2002) yang masih terlampau umum dan singkat dalam menempatkan penyelenggara intelijen di bawah kontrol sipil. Kondisi ini, tentu saja, tidak dapat kita lepaskan dari sistem politik sebelum reformasi, khususnya masa OrdeBaru, yang menempatkan lembaga dan penyelenggara intelijen sebagai aparatpemerintah yang dipergunakan untuk mempertahankan dan memperluas jangkauan kekuasaan dan kontrol terhadap rakyat. Konsekuensinya, kebijakan mengenai intelijen negara berpotensi mengabaikan prinsip-prinsip rule of law danbertentangan dengan HAM.

Beberapa Pemikiran dan Masukan atas RUU Intelijen Negara

Menjawab permasalah yang terkait dengan ruang lingkup dan pembedaan fungsi intelijen, menurut hemat saya yang perlu diperhatikan bukan saja masalah pembatasan yang dapat mengurangi tumpang tinidh dan duplikasi antar lembaga intelijen, tetapi juga menjaga efisiensi dan koordinasinya. Perdebatan mengenai fungsi intelijen dalam dan luar negeri di satu tempat, yaitu BIN, sebetulnya dapat dicarikan solusi dengan cukup mudah jika dilandasi pemahaman ini dan bukan hanya didasari kekhawatiran akan munculnya akumulasi kekuasaan belaka. Demikian juga masalah koordinasi penyelenggara intelijen, pada hakekatnya lebih efektif jika dilaksanakan oleh pihak yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Chief Executive atau Kepala Pemerintahan. Dalam hal ini, Kepala BIN secara ex-officio adalah Koordinator Penyelenggara Intelijen Negara. Koordinator diberikan wewenang, a.l menentukan prioritas intelijen negara, pemilihan dan pengangkatan personeluntuk koordinasi, dan juga menentukan operasi gabungan lintas lembaga intelijenbila diperlukan.

Mengenai kewenangan khusus yang diberikan kepada Badan Intelijen Negara dalam rangka penanggulangan terorisme, saya kira cukup wajar. Terorisme yang telah menjadikan negeri kita sebagai salah satu negara yang menjadi target aksi terror dengan korban jiwa yang sangat besar, mengharuskan adanya sebuah tindakan preventif sejak dini dan bukan ketika aksi telah berlangsung atau sesudahnya.Tindakan preventif ini tidak termasuk dalam ranah penegakan hukum (law enforcement) sebagaimana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan, sehingga tidak harus dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan otorisasi dari lembaga-lembaga penegak hukum. Tujuan utama dari kewenangan khusus adalah memperoleh informasi yang dapat dipakai sebagai alat untuk peringatan, deteksi, dan pencegahan dini dari ancaman terorisme. Oleh sebab itu, kewenangan ini harus juga diberi batasan yang ketat, misalnya hanya bisa dilakukan dengan otorisasi tertulis dari Kepala BIN. Kewenangan khusus tersebut meliputi: 1) intersepsi komunikasi, 2) transaksi bank, dan 3) pemeriksaan intensifselama 7 x 24 jam terhadap orang yang diduga keras menjadi pelaku aksi terorisme.

Sudah barang tentu, aspek pengawasan terhadap penyelenggara intelijen (baik pengawasan melekat dari cabang eksekutif maupun pengawasan politik dan publik melalui cabang legislatif) harus diperkuat dan diatur secara seksama di dalam UU Intelijen ini. Pengawasan tersebut, pada ranah eksekutif, dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Eksekutif/Pemerintahan, Ka-BIN sebagai koordinator penyelenggara intelijen, dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Sedangkan pada ranah legislatif, DPR dengan melibatkan badan kelengkapan yang terkait dengan pengawasan terhadap penyelenggara intelijen, termasuk tetapi tak terbatas kepada Komisi I, dapat melaksanakan fungsi ini. Sedangkan pengawasan publik dilakukan oleh masyarakat sipil dan organisasinya serta publik pada umumnya melalui jalur yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, seperti lembaga legislatif, dalam berbagai bentuk dengar pendapat dan sebagainya. Pengawasan publik tersebut diharapkan tidak berpotensi mengganggu penyelenggaraan intelijen, seperti pembocoran informasi yang bersifat rahasia dan pelaksanaan operasi intelijen baik di dalam maupun di luarnegeri.

Aspek penting lain yang masih kurang diperhatikan adalah pembinaan dan pemberdayaan penyelenggara intelijen. Sebaik apapun aturan yang dimiliki, tetapi pada analisa terakhir yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan intelijen adalah kemampuan profesi dan pengembangannya sesuai dengan perkembangan yang ada baik pada tataran nasional, regional, maupun internasional. Professionalisme intelijen sangat tergantung, misalnya, kepada sumberdaya manusia, peralatan,penugasan berkala, dan perlindungan hukum (baik individu maupun anggota keluargaaparat intelijen), serta kesejahteraan mereka. Dalam kondisi kehidupan yangmakin kompleks sebagai akibat dari perkembangan iptek, maka penyelenggaraintelijen di negeri ini harus dapat menguasai dan mengembangkan kapasitas iptekberkaitan dengan intelijen (electronic intelligent, imagery intelligent, signalintelligent) sebagai pendukung dari human intelligent (intelijen berbasis manusia). Kemampuan menguasai teknologi ini akan sangatmenentukan efektifitas dan kemandirian penyelenggara intelijen di masa depan sehingga fungsi peringatan dan deteksi dini dapat dilaksanakan dengan optimaldi seluruh wilayah Indonesia,baik matra darat, laut, udara dan cyber.


Penutup

Dari serangkaian analisis di atas, nyatalah bahwa pembentukan UU Intelijen Negara sangat mendesak untuk dilaksanakan. Terlebih jika kita mencermati dinamika perkembangan politik nasional, regional, dan global yang masih belum menunjukkan adanya kestabilan yang cukup memadai karena munculnya ancaman-ancaman yang makin bervariasi bentuknya terhadap keamanan nasional, maka salah satu upaya untuk memperkuat ketahanan dan pertahanan nasional adalahadanya payung hukum yang dapat memberdayakan penyelenggara intelijen negara. Dalam kehidupan bangsa yang semakin demokratis, perlindungan terhadap hak-hak dasar warganegara harus dilaksanakan secara nyata, seiring dengan pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya pemerintahan. Pengembangan yang seimbang antara kemandirian warganegara dan masyarakat sipil di satu pihak dan pengembangan kapasitas negara dan pemerintahan yang mampu melindungi kedaulatandan menciptakan kesejahteraan hanya mungkin terjadi dalam sebuah lingkungan strategis yang terbebas dari kekhawatiran terhadap ancaman baik dari dalam maupun dari luar.


Sampai saat ini, proses pembentukan RUU dan pembahasannya di DPR masih berjalan dan karenanya sangatlah logis dan wajar bila terdapat pertukaran pandangan dan perbedaan pendapat terhadap substansinya yang muncul dari berbagai kalangan dan pemangku kepentingan. Kendati demikian, diperlukan suatu semangat kebersamaan dan kesepakatan yang bulat mengenai keniscayaan akan adanya UU Intelijen Negara tersebut yang akan menjadi payung hukum bagi penyelenggara dan penyelenggaraan intelijen. Tinggal bagaimana membuat rumusan-rumusan yang tepat dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang mampu mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan HAM di satu pihak dan prinsipi-prinsip penyelenggaraan fungsi intelijen. Kiranya semangat mendukung dan menjalankan proses reformasi dan demokratisasi di Republik ini tidak harus bertentangan dengan keniscayaan negara untuk memiliki aparat dan lembaga intelijen yang professional, non-partisan, dan akuntabel. Intelijen Negara yang demikian itulah yang mampu mewujudkan semboyan "Velox et Exactus" (Cepat dan Akurat) dalam kinerja yang konkret demi bangsa dan negara.


Jababeka,13 Agustus 2010


Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS