Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, tetap keukeuh bahwa Polri harus menjadi pihak yang menangani kasus Mafia Pajak yang melibatkan Gayus H Tambunan (yang selanjutnya saya sebut dengan Gayusgate). Keputusan Presiden ini, tentu saja juga merupakan kebijakan Fraksi Partai Demokrat di DPR, sebagaimana pernyataan jubir partai tersebut, Ruhut Sitompul (RS), yang dimuat oleh detik.com. Sebelumnya, terjadi polemik di media mengenai proses penanganan Gayusgate ini yang dianggap telah semakin jauh dari harapan publik, apalagi setelah terbongkarnya skandal keluarnya Gayus dari Rutan Brimob beberapa waktu lalu yang ternyata juga penuh dengan intrik koruptif di kalangan para petugas Rutan, termasuk Ka Rutannya sendiri. Dari situlah kemudian muncul tuntutan yang disuarakan oleh sebagian pegiat, tokoh politik, dan pengamat agar Polri menyerahkan penanganan Gayusgate kepada KPK yang dianggap akan lebih profesional dan independen serta cepat. ICW bahkan mengungkapkan analisisnya, bahwa ada sepuluh (10) kejanggalan yang ditemukannya dalam penangan Gayusgate oleh Polri, sehingga semakin diragukan bahwa lembaga penegak hukum ini akan cukup efektif melakuka tugasnya dan dapat memberikan keadilan sebagaimana yang diharapkan oleh publik.
Dalam perkembangannya, bahkan tidak kurang dari pembela Gayus, Adnan Buyung Nasution (ABN) yang juga kecewa terhadap penanganan kasus kliennya, sehingga ia mengatakan bahwa pihak penegak hukum seolah-olah telah "membonsai" kasus ini. Hal inilah yang membuat ABN juga sepakat jika penanganan Gayusgate diserahkan kepada KPK. Tentu saja sebagai pengacara Gayus, pertimbangan kepentingan klien pasti akan juga mewarnai pertimbangan tersebut, tetapi kenyataan bahwa pihak Gayus sendiri juga mendukukung gagasan diserahkannya penanganan kasusnya kepada KPK, merupakan suatu hal yang penting.
Polri dianggap berkepentingan agar Gayusgate tetap ditangani. Setidaknya, Polri ingin tampil di mata publik sebagai lembaga penegak hukum yang bukan saja memiliki kewenangan, tetapi juga masih kompeten dan dapat dipercaya. Lagi pula saat ini Polri dipimpin oleh Kapolri yang baru beberapa minggu lalu dilantik, sehingga secara pencitraan publik akan tidak elok apabila Kapolri, Timur Pradopo, kemudian malah menyerahkan kepada pihak lain. Sangat penting bagi Polri untuk menampilkan sebuah citra "baru" dengan kepemimpinan yang anyar ini, dan kasus dengan magnitude sebesar Gayusgate tentu memberikan kesempatan yang tak setiap saat muncul.
Polri dan Pemerintah juga berkepentingan agar Gayusgate masih bisa dikontrol dan diawasi agar implikasi politik yang dihasilkannya tidak mengancam konstelasi politik yang rawan dengan gangguan itu. Semua orang tahu bahwa akhir-akhir ini kekompakan di dalam koalisi parpol pendukung Pemerintah sedang berada di titik yang rendah dan mudah sekali terpengaruh. Gayusgate hanyalah salah satu sumber yang sangat berpotensi mengganggu stabilitas dan keutuhan parpol koalisi, dan sebaliknya bisa menjadi peluru bagi kelompok oposisi. Di luar Gayusgate, masih ada sisi-sisa masalah Centurygate, kasus Anggoro, dan kini mulai dimunculkan lagi masalah Krakatau Steel. Pemerintah tentu menginginkan manajemen penanganan dan pengawasan masalah (damage control management) bisa dilakukan oleh lembaga yang dapat dipercaya secara politis. KPK tentu masih dianggap sebagai lembaga independen yang tidak berada sepenuhnya di bawah kontrol Pemerintah, dan bukti-bukti sebelumnya menunjukkan bahwa independensi KPK bisa sangat merugikan setidaknya citranya.
Walhasil, pergelutan dan kontroversi mengenai siapa yang lebih tepat menangani Gayusgate juga mencermikan kondisi politik tingkat tinggi yang pengaruhnya sangat signifikan bagi konstelasi kekuasaan sampai 2014. Jika tidak ditangani secara sistematis dan piawai, maka bola liar bisa me;esat ke arah yang sama sekali tak terduga. Pemerintah harus dapat meyakinkan publik bahwa Polri adalah pihak yang bukan saja berwenang, tetapi juga berkompeten dan bisa dipercaya. Sementara itu bagi pendukung ide bahwa KPK yang lebih efektif menangani Gayusgate, sesungguhnya tidak terlalu repot untuk membuktikan pandangan mereka kepada publik. Sebab hampir semua orang yang mengikuti perkembangan Gayusgate sejak awal tampaknya akan sepakat bahwa ada upaya-upaya agar kasus ini hanya dibatasi kepada sang terdakwa, sementara bukan rahasia lagi bahwa Gayus hanyalah salah satu pemeran, kendati yang sampai kini paling menghebohkan.
Pertaruhan kredibilitas Polri juga tidak kalah besar jika ia ternyata tidak melakukan kiprah yang benar-benar memberi kepuasan kepada rasa keadilan publik. Khususnya untuk Kapolri baru, ini adalah sebuah pertaruhan yang besar bagi perjalanan beliau ke depan. Bagaimanapun juga, Polri dan beliau sebagi pimpinannya sedang melawan arus ketidak percayaan dan keraguan publik yang sangat tinggi terhadap lembaga itu. Ibaratnya, keberhasilan saja akan dianggap belum cukup, dan harus sebuah keberhasilan yang luar biasa yang bisa membuat publik mengakui bahwa kredibilitas Polri dapat dipulihkan. Itulah sebabnya, saya pikir Polri dan Kapolri tidak perlu menutup pintu bagi keterlibatan KPK. Saya yakin bahwa jika lebaga pemebrantas korupsi itu dapat diajak bersama menyelesaikan Gayusgate sebagaimana yang banyak diharapkan oleh rakyat, maka beban Polri menjadi lebih ringan.
Pemerintah pun semestinya memberikan porsi kepada KPK dan mendukung agar lembaga ini menjadi bagian integral dalam penanganan Gayusgate. Dengan begitu, Pemerintah bisa "sekali mengayuh perahu, dua pulau terlampaui", bukan saja memelihara soliditasnya tetapi juga menampilkan citra bahwa ia memang serius menanggapi tuntutan publik. Bahwa dalam proses tersebut akan ada pihak yang dekat dengan elit menjadi target pemberantasan korupsi, itu mungkin saja. Namun akan lebih sehat manakala Pemerintah tidak selalu vis-a-vis dengan rakyat dan cenderung mengabaikannya.
Wednesday, November 24, 2010
Home »
» PENUNTASAN "GAYUSGATE" DAN PROBLEM KREDIBILITAS POLRI
0 comments:
Post a Comment