Monday, January 3, 2011

CATATAN AKHIR TAHUN 2010: DEMOKRATISASI DAN MASALAH KETAHANAN PANGAN

Oleh Widjang H. Sisworo
Anggota Dewan Riset Nasional


(Pengantar:  Dengan seizin penulisnya, saya memuat kembali tulisan yang semula adalah komentar untuk catatan saya "The World is Flat: Catatan perkembangan Politik Indonesia 2010."  di halaman The Gusdurians. Karena komentar tsb cukup panjang dan penting untuk diketahui oleh para sahabat fbers yang lebih luas, maka formatnya saya ubah menjadi bentuk catatn utuh, tanpa mengurangi keasliannya. Terimakasih untuk Pak @Widjang. Selamat Tahun Baru 2011. Muhammad AS Hikam)

Selamat Tahun Baru 2011 dan terimakasih kepada The Gusdurian atas evaluasi akhir tahun yang cukup komprehensif tentang perkembangan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Paling tidak saya ingin menyampaikan dua catatan penting yang saya garis bawahi, yaitu pertama soal proses demokratisasi yang sedang berlangsung selama ini. Marilah kita renungkan bersama dengan tenang, apakah sistem demokrasi yang saat ini sedang dibangun akan mampu mempercepat proses untuk mewujudkan Visi Pembangunan 2025 sebagaimana tertuang dalam UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yaitu menjadikan Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis dengan mengedepankan upaya untuk membangun kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dalam lindungan dan tuntunan firman Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa ?

Kehidupan demokrasi di masa depan harus mampu mewadahi semangat dan menumbuhkan kreativitas individu anak-cucu kita sehingga mampu mengembangkan potensinya secara optimal tanpa ada diskriminasi yang diakibatkan oleh nasib oleh status sosial ekonomi. Melihat kenyataan yang sedang berlangsung saat ini bahwa yang berkembang di masyarakat bukanlah kehidupan demokrasi yang sehat tetapi " demo crazy " demokrasi yang brutal dan mengarah pada anarki. Kondisi seperti ini tentu tidak akan muncul tanpa sebab. Jika akar masalah tidak terselesaikan dan dibiarkan berlarut maka permasalahan yang dihadap pemerintah tidak bertambah menurut deret hitung tetapi akan berlipat ganda mengikuti deret ukur. Suatu kondisi yang sangat membahayakan kehidupan bangsa dan negara.

Pandangan saya ini saya kaitkan dengan pernyataan Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadyah Prof. Ahmad Syafii Maarif yang dimuat dalam suatu dalam suatu media pada Hari Minggu 2 Januari 2011 yang mengemukakan bahwa " pada masa sekarang, rakyat Indonesia bahkan seperti dijajah oleh bangsanya sendiri. Hal ini ditandai dengan upaya berbagai pihak mengeksploatasi rakyat yang antara lain, diuwjudkan dalam praktik korupsi yang semakin menjadi-jadi tak ubahnya terjajah olehsedang terjajah. Hal ini patut diwaspadai karena menjadi gejala awal kehancuran bangsa. Setiap denyut nadiku dan detak jantungku selalu memompakan semangat pengabdian kepada nusa dan bangsa dan karena alasan itu pulalah saya meluangkan waktu untuk bergabung dalam dunia maya para pemikir dan pemerhati masalah-masalah kebangsaan yang diwadahi dalam The Gusdurians

Kondisi lain yang juga patut saya garis bawahi dari hasil evaluasi The Gusdurians adalah keadaan ketahanan pangan nasional. Dalam sejarah perkembangan peradaban umat manusia sejak zaman prasejarah hingga sekarang, pada saat umat manusia hidup abad perdaban moderen pada hakekatnya tidak pernah lepas dari upaya memenuhi kebutuahannya akan dalam jumlah yang cukup. Mewujudkan kodiasi swa sembada pangan adalah perjuangan tanpa henti bagaikan berlari dalam sebuah jentera raksasa atau pun treadmill.

Bagi sebagian besar negara Asia swa sembada pangan adalah swasembada beras karena Asia beriklim basah merupakan tempat asal usul tanaman padi penghasil makanan pokok masyarakat Indonesia. Banyak pemimpin/presiden negara besar termasuk Presiden Sukarno mengingatkan kepada bangsanya bahwa ketersediaan pangan yang cukup menentukan hidup-matinya suatu bangsa dan eksistensi suatu negara. Bagi Indonesia beras bukan hanya sekedar komiditi pangan pokok tetapi juga komoditi politik yang mampu menjadi pemicu terjadinya perubahan suatu rejim pemerintahan. Oleh sebab itu kondisi ketersediaan pangan secara cukup (dalam pengertian "banar-benar swa sembada pangan" dengan melepaskan diri pada ketergantungan pada impor ) harus bisa diwujudkan oleh setiap pemerintahan. Kondisi cadangan beras dunia terus merosot karena banyak negara yang semula merupakan negara pengekspor berubah menjadi negara pengimpor.

Selain itu kondisi ini juga dipicu oleh proses levelling off produksi padi nasional yang terjadi di negara penghasil dan atau pengekspor beras. Proses levelling off di setiap negara penghasil beras terjadi karena ketergantungan pada teknologi produksi padi di lahan sawah beririgasi. Tahun 1996 suatu pertemuan ilmiah internasional para pakar sudah mengingatkan kepada pemerintahan setiap negara agar segera mengembangkan pertanian lahan kering dalam skala luas dan meningkatkan produksi pangan secara domestik untuk mengurangi ketergantungan pada impor pangan. Cadangan pangan di pasar dunia akan terus menyusut tidak mampu memenuhi kenaikan pangan dunia. Pada suatu saat kelak istilah ketahanan pangan (food security) hanya berlaku bagi si kaya (negara kaya). Akan tetapi juga tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat negara kaya seperti Negara Timur Tengah dan Singapore memiliki cukup uang untuk beki makanan tetapi tidak tersedia di pasar dunia.

Saya hanya membayangkan suatu saat nanti suatu negara berkebun pangan di negara lain. Sekarang dianggap aneh tapi pasti terjadi jika tidak ada terobosan teknologi. Hal seperti ini sempat saya saya sampaikan kepada teman-teman pemangku kebijakan produksi pangan. Untuk program riset dan pengembangan teknologi sudah di arahkan ke lahan-lahan pertanian suboptimal.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS