Sunday, September 2, 2012

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME SEBAGAI SARANA MEMPERKUAT CINTA KEPADA SESAMA ANAK BANGSA

Dari Simposium "Jalan Menuju Keselarasan Global Antar-Keyakinan." Jogja 1 September 2012:

Prof. Dr. Muhammad A.S. Hikam, MA., APU membuka dengan rendah hati, “Karena sekarang menjadi dosen, dan pernah sekolah mungkin itulah saya diminta
bicara Communal Love dari sudut pandang pendidikan. Tapi saya tidak berani mengklaim diri sebagai seorang pakar, apalagi di Tamansiswa, pusatnya pendidikan.”

Kemudian, ia mengutip Jalaluddin Rumi. Seorang Sufi berkebangsaan Iran, kata-kata bijaknya paling banyak didominasi oleh statement cinta dan kasih sayang, “Tugas manusia bukan untuk mencari atau memburu cinta, tugas manusia ialah berusaha menyingkirkan apa yang menghalangi tumbuhnya cinta.”

Prof. Hikam juga menyitir pendapat Pendeta Kristen, Marthin Luther King Jr. Pejuang HAM anti kekerasan dan persamaan hak politik anti diskriminasi ras itu mengatakan,” Kegelapan tidak bisa menghilangkan kegelapan. Kebencian tidak mungkin menghilangkan kebencian. Yang bisa menghilangkan kegelapan hanyalah cahaya. Dan hanya cinta yang bisa menghilangkan kebencian.” Menurut Pak Hikam, tulisan itu terpahat di pagar Monumen Marthin Luther King Jr di Washington DC yang diresmikan pada 2011.

Kedua tokoh, Rumi dan Luther King Jr, menurut Pak Hikam, sangat concern seperti Pak Anand Krishna terhadap Communal Love dan persaudaraan antar iman.

Selanjutnya, Menristek pada era Gus Dur ini mengatakan bahwa sesungguhnya ibarat komputer manusia sudah punya software bawaan. Tapi oleh manusia program embedded itu malah diganti-ganti. Kasih sayang ditutupinya sendiri. Kemudian sibuk mencari di mana-mana. “Virus-virus yang menutupi Love tersebut harus dihilangkan,” ujarnya.

Pak Hikam menambahkan, “Dalam Al Quran dikatakan juga kalau manusia itu diciptakan dalam bayangan Tuhan itu sendiri. Embedded program, sifat ketuhanan ialah cinta. Kalau manusia mencari-cari cinta maka itu sangat salah. Akibatnya terjadi kekerasan, diskriminasi rasial, di Solo, di Sampang, semoga itu tidak terjadi di Jogja.”

Menurut peneliti ini, brotherly love sangat penting, caranya lewat proses pendidikan. Dalam pengertiannya yang sangat luas. Formal, sekolah, pesantren, dll. Informal dan juga nonformal. Intinya bagaimana mendidik anak sejak dari kecil sampai dewasa terus-menerus. Untuk menghilangkan virus-virus tersebut.

Dalam konteks Indonesia, Pak Hikam mengingatkan, “Kita perlu mencintai antar anak bangsa. Salah satu problem utama di negara ini, demokrasi dianggap apa-apa boleh, termasuk membenci sesama anak bangsa. Padahal tanpa ada kasih sayang, ajaran bisa ditafsirkan secara keliru.”

Pria kelahiran Tuban ini mengutip pendapat Gus Dur bahwa Indonesia butuh Islam yang ramah bukan yang marah. Karena penafsiran lain juga punya status epistemilogis yang sama. “Selama kita masih di dunia, kita tidak akan memiliki kebenaran dengan huruf K besar, “ujarnya.

Pak Hikam berpendapat bahwa The only solution is Love, itulah pesan utama Rumi, Luther King Jr, dan Pak Anand.

Pendidikan multikultur di Indonesia tak boleh sekadar konsep, tapi harus dipraktekkan. Intinya 3 hal: 1. Merayakan perbedaan. 2. Perbedaan bukan masalah. 3. Perbedaan itu esensial dalam kehidupan kita.

“Kini kalau menuntut semua harus sama itu pandangan jadul. Menciptakan insan kebangsaan, brotherly love, communal love, konkretisasinya ada di Indonesia Raya (NKRI). Yang tak setuju, silakan pindah saja ke tempat lain di Saudi Arabia, London, Washington, dst, “ pungkasnya.

Tautan selengkapnya ada di bawah ini:

http://hankam.kompasiana.com/2012/09/02/dari-inner-peace-ke-communal-love-untuk-global-interfaith-harmony/
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS