Wednesday, June 4, 2014

KEKERASAN DAN PENDEKATAN "BLAMING THE VICTIM"

Rumah tidak boleh jadi tempat ibadah rutin, kata Kapolri. Tetapi menurut Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah, lain lagi. Ibadah, menurut aturan tsb, terbagi menjadi dua, yaitu ibadah permanen dan ibadah keluarga. Lalu apa yg dimaksud dengan ibadah rutin oleh Kapolri? Apakah yg dia maksud adalah kategori "ibadah permanen" tsb? Lalu jika ummat Islam mel;akukan ibadah rutin, misalnya shalat 5 waktu di rumah mereka masing-2, apakah itu termasuk ibadah rutin atau ibadah keluarga? Bagaimana pula dengan ibadah rosario ummat Katolik di Sleman yang diserang oleh segerombolan orang tsb?

Penjelasan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman (St), malah tidak jelas dan menimbulkan kontroversi. Setidaknya sudah ada reaksi keras dari Romo Benny Sustryo (BS), Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut yang menilai bahwa Kapolri "tidak mengerti peraturan karena melarang rumah dijadikan sebagai tempat ibadah" tsb. Saya juga melihat kejanggalan penjelasan tsb, karena sebagai pejabat negara yg memimpin Polri, St seharusnya berpegang kepada aturan formal, bukan penafsiran yang mungkin saja hanya dinyatakan secara spontan dan reaktif. Ketimbang menyalahkan para pelaku ibadah, seharusnya Kapolri segera memerintahkan melakukan pengejaran, penangkapan, penyidikan, dan proses hukum yang cepat.

Bandingkan dg sikap Gubernur DIY, Ngarso Dalem Sultan HB X. Beliau dg tegas mengatakan "(s)udah tidak perlu dialog lagi, sekarang bukan saatnya dialog [dengan pelaku kekerasan]. Kalau ada kekerasan diproses saja, lakukan tindakan hukum," (http://regional.kompas.com/read/2014/06/03/1455457/Sultan.HB.X.Tak.Perlu.Lagi.Dialog.dengan.Kelompok.Anarkistis). Sikap seperti ini semestinya ada pada aparat keamanan seperti Polri. Kalau Kapolri malah mbulet dan membuat statemen yg bikin salah paham seperti di atas, maka saya ragu akan ada penyelesaiana yang tuntas, cepat dan menyeluruh terhadap persoalan kekerasan berkedok agama. Yang akan terjadi adalah perdebatan berlama-lama, bertele-tele, dan mbulet antara pihak Polri, LSM, ormas, Pemda, dan publik yang pro-kontra. Para pelaku kekerasan malah tertawa terpingkal-pingkal dan melanjutkan kegiatannya!

Polri sudah jelas merupakan pihak yang paling bertanggungjawab utk menuntaskan persoalan ini. Publik sudah jenuh dan bahkan muakj dengan respon para elit Polri yg cenderung malah menyalahkan para korban. Ini bukan hanya terjadi pada ummat Krfisten, tetapi juga ummat Islam sendiri yang kebetulan menjadi korban kekerasan. Malah yang lucu, Polri mengatakan bhw pihak korban seharusnya melapor jika ada pihak-pihak yang melakukan tindakan kekerasan. Kenapa lucu? karena semestinya jajaran Polri yg punya satuan intelijen harus sudah lebih dulu mengetahui karena mereka bertugas melakukan deteksi dini terhadap ancaman kamtibmas! Kalau masyarakat yang melakukan kegiatan seperti itu malah aneh, karena nanti masyarakat akan saling menginteli sesama warga!

Kapolri dan seluruh jajarannya, seharusnya paham dan merasa bahwa rakyat semakin cenderung tidak percaya kepada kemampuan aparat kepolisian melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat. Sama juga dengan kecenderungan rakyat yang menganggap jajaran Polri adalah termasuk yang paling korup di negeri ini. Kalau Kapolri dan seluruh jajarannya tetap menganggap tidak ada masalah, dan menggunakan pendekatan menyalahkan korban (blaming the victims), maka rakyat akan benar-2 meninggalkan Polri. Akibatnya, akan terjadi pengadilan jalanan (street justice) dan kekerasan tanpa henti di seluruh Indonesia. Saya yakin, Kapolri dan siapa pun yg waras nalarnya tak akan suka dengan prospek yg seperti itu.


Simak tautan ini:

http://news.detik.com/read/2014/06/03/220250/2598959/10/kapolri-tidak-boleh-rumah-jadi-tempat-ibadah-itu-aturan
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS