Thursday, June 5, 2014

REPUTASI PEMERINTAHAN SBY MEMERANGI KEKERASAN

Saya kira bukan hanya jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang memiliki pandangan kurang baik thd reputasi Pemerintahan SBY dalam memerangi persoalan diskriminasi dan kekerasan berkedok agama di Indonesia. Pandangan tsb juga dimiliki oleh ormas keagamaan lainnya di Indonesia, sebagaimana yg pernah disuarakan oleh gabungan para agamawan yg pernah menemui Presiden SBY beberapa tahun lalu. Bahkan, terlepas dari berbagai penghargaan yang diterima RI-1 terkait prestasinya di bidang demokrasi dan perlindungan HAM utk minoritas, masih sangat sulit rasanya bagi sebagian rakyat Indonesia yang telah dan sedang mengalami diskriminasi serta kekerasan berkedok agama utk mengatakan bahwa Pemerintah SBY berhak mengklaim keberhasilan menuntaskannya .

Faktanya, berbagai kekerasan terkait agama sampai sekarang masih terus mewabah. Bahkan kalau mau jujur, Presiden SBY sesungguhnya masih berhutang kepada rakyat Indonesia dan masyarakat internasional, bahwa beliau akan menyelesaikan masalah kekerasan yg dialami pengikut Syiah di Sampang, Madura yang notabene ukurannya sangat kecil dibanding dengan kasus Ahmadiyah, atau kekerasan yag dialami ummat Kristen di berbagai wilayah negeri ini. Komitmen Pak SBY terkait masalah Sampang, yg dilontarkannya sendiri sepulang menerima Penghargaan ACF dari New York itu, sampai detik ini masih jauh panggang dari api. Alih-alih menyelesaikan kasus Yasmin, Filadelfia, Ahmadiyah, Cikeusik, Sleman, dll yang magnitudenya lebih besar. Maka kekecewaan demi kekecewaan akan terus terjadi, menumpuk, dan dapat berpotensi eksplosif di masa depan. Korbannya, tentu bukan elite di Jakarta tetapi rakyat dan ummat beragama yang berada di lapisan bawah. Inilah paradox dalam soal kehidupan beragama di Indonesia: Sementara kaum elite terus menerima pujian, penghargaan, dan medali, kekerasan, diskriminasi, dan ketidak adilan yg dialami kaum minoritas tetap jalan terus, dan cenderung makin marak!

Harus diakui bhw Pemerintahan SBY berhak berbangga karena berhasil dalam banyak bidang, terutama bidang ekonomi. Tetapi dalam bidang memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, reputasinya masih dalam kategori memprihatinkan dan, bahkan, saya cenderung mengatakan trennya makin menuju menyedihkan dan mengkhawatirkan. Padahal, kemajemukan adalah DNA bangsa Indonesia, dan kehidupan beragama adalah bagian integralnya. Mustahil bangsa ini bisa berkembang maju dalam pergaulan dunia jika urusan ini dilalaikan tau dianggap sepele. Ibarat tubuh manusia, mustahil akan bisa sehat jika DNAnya diacak-acak dan rentan thd penyakit. Pemerintah boleh dan akan datang dan pergi, tetapi bangsa dan negara RI harus abadi. Tetapi, bagaimana mungkin negeri ini akan tegak berdiri dg kokoh, jika ia rentan thd segala macam gangguan dan ancaman kepada jati diri dan raison d'etre keberadaannya?

Sebuah bangsa tak terlalu berbeda dengan organisme tubuh. Ia akan disebut sehat, jika jasmani dan ruhaninya seimbang, Bangsa yg sejahtera lahiriahnya saja tetapi jiwanya keropos, tidak akan bisa menjadi bangsa yang sehat. Justru yg terjadi adalah bangsa yg hidup dalam kegamangan, kegalauan, ketakutan dan ketidak bahagiaan. Di luar tampak berseri dan indah serta dipuja-puji, tetapi di dalam ia sangat ringkih karena sejatinya menderita sakit yg terus menggerogoti keberadaannya. Dan sejarah bangsa-bangsa menunjukkan kepada kita, hanya bangsa yang punya elan saja yg akan sanggup bertahan. Ia boleh saja miskin secara lahiriah, tetapi tetap sehat dan mampu mengarungi cobaan sampai kemudian menjadi bangsa yang maju.

Pertanyaannya, sampai kapankah bangsa Indonesia bisa bertahan dengan kondisi ringkih jiwanya ini?


Simak tautan ini:

http://news.okezone.com/read/2014/02/16/337/941771/sby-dinilai-lemah-perangi-diskriminasi-agama
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS