Monday, August 25, 2014

MEMBACA 'KEGERAHAN' ULAMA NU KEPADA PKB IMIN

Sepintas, kegerahan sementara Kyai NU Jatim terhadap PKB Imin seperti munculnya sebuah harapan baru akan terjadinya reformasi dalam elite parpol besutan para Ulama NU tsb. Namun jika dipahami dan dicermati secara rasional dan realistis, kegerahan tersebut bisa saja semacam "rutinitas" lima tahunan yg muncul setiap akan ada Muktamar PKB, atau bahkan sebenarnya juga setiap akan ada Mukatamar Nahdlatul Ulama (NU). Karena hanya sebuah rutinitas, maka elite PKB Imin juga mungkin akan menanggapi ringan-ringan saja, bahkan membantah bahwa ada keprihatinan semacam itu. Tidak terlalu sulit utk memprediksi bhw ujung-2nya akan bisnis seperti biasa (business as usual), alias tidak akan ada perubahan yang signifikan dan harapan pun tinggal harapan.

Protes pihak yg menginginkan peran ulama atau Kyai diperbesar dlm partai, sejatinya bagus secara substansi mengingat kultur politik yang menjadi bagian integral dari PKB adalah penghormatan dan sekaligus kepercayaan terhadap bimbingan serta otoritas moral ulama yg secara teoretis dianggap menjadi perekat soliditas organisasi, pengawal ideologis, dan pemberi legitimasi moralnya. Sayangnya, dalam perkembangan PKB (dan NU), hal tsb lebih merupakan idealisme ketimbang sebuah kenyataan yg secara riil bisa dijumpai secara universal (dlm konteks Indonesia tentunya). Secara riil, kekuasaan eksekutif dalam DPP dan Tanfid dalam PBNU selalu lebih menonjol dan efektif sehingga jika terjadi konflik antara kedua lembaga tsb, lebih sering pihak Dewan Syuro (DS) partai atau Syriah NU yang kemudian bisa ditundukkan. Hanya dalam situasi krisis seperti th 1983 di NU atau PKB pada 2002, peran ulama muncul dan dominan. Itupun kemudian mengalami 'normalisasi' ketika krisis usai dan lagi-2 ulama termarginalisasi. Dalam kasus PKB lebih parah, karena konflik tsb berujung pada tersingkirnya almaghfurlah GD dari posisi Ketum DS DPP PKB setelah Muktamar Ancol 2008 yg menjadikan Imin menjadi Ketum Tanfidiyah (DT) DPP PKB yang hampir tak ada pesaingnya hingga kini.

Mengapa keluhan dan protes Ulama seakan tdak mempunya resonansi dalam struktir organisasi tsb? Ada banyak faktor, seperti personality para ulama itu sendiri, otonomi yang sangat besar dari para Kyai dan pengaruhnya, kualitas dan kapasitas para Kyai dalam manajemen organisasi, dan tak kalah penting bangunan struktur organisasi baik NU maupun PKB yg hampir tak memungkinkan Ulama benar-2 memiliki pengaruh yg efektif dalam pengambilan keputusan. Dalam kasus PKB, dualisme struktur kepemipinan (DS dan DT) tidak lah dimaksudkan untuk memiliki kekuasaan efektif yg menyiratkan kontrol atau setidaknya checks anda balances antara keduanya, tetapi suatu wadah yg berfungsi memberi nasihat dan pemberi legitimasi. Jikapun ada konflik ygcukup serius antara DS dan DT, secara aturan formal UU Kepartaian, yang akan mendapat dukungan legal formal adalah DT.

Ditambah dengan lemahnya kapasitas SDM DS dalam manajemen politik dan keahlian teknis berorganisasi, maka makin lengkaplah ketidak seimbangan struktural tsb. Tak heran jika klaim-2 superioritas ulama hanya bisa muncul pada situasi krisis, atau semacam rutinitas setiap jelang Muktamar yang biasanya hanya merupakan ekspressi tawar-menawar politikdari sementara pihak dg menggunakan posisi ulama. Dalam konteks saat ini dimana kekuatan Imin dkk di DPP sangat dominan dan pengaruhnya di daerah-2 sangat kuat, maka 'keluhan"para Ulama Jatim itu mungkin enak didengar dan nostalgik, tetapi secara politik dan keorganisasian sulit bisa diterjemahkan dan dilaksanakan dlm Muktamar PKB minggu depan. Prediksi saya, kalaupun ada para "pesaing" Imin dalam bursa Ketum DPP nanti, maka para pesaing itu adalah sudah disiapkan agar ada kemiripan dengan praktik dan proses demokrasi ( a semblance of democratic process). (http://www.tempo.co/read/news/2014/08/25/078601931/Jelang-Muktamar-PKB-Siapkan-Pesaing-Muhaimin).

PKB Imin jilid 2 (atau ke 3?) tetap akan mempertahankan ' status quo' nya. Partai yg digagas almaghfurlah GD sebagai sebuah poros demokrasi yg kritis dan mampu memberikan alternatif-2 cerdas untuk kejayaan bangsa dan NKRI, juga tak akan kunjung terjadi. Yang akan langgeng adalah sebuah parpol yang pragmatis dan berorientasi kekuasaan elit (ulama dan non ulama)-nya, serta tidak mampu melahirkan terobosan pemikiran maupun praksis yang maslahah bagi pemajuan bangsa dan NKRI di masa depan. QUO VADIS PKB?!


Simak tautan ini:

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/08/22/kiai-nu-gerah-wacana-muhaimin-kembali-pimpin-pkb
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS