Wednesday, December 17, 2014

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (24): MASYARAKAT SIPIL YANG LABIL



Oleh: Muhammad AS Hikam


Pagi yang sejuk. Masih ada sisa-sisa embun di rerumputan dan pada kembang-kembang di taman. Suasana pun hening  dan bening, hanya sesekali suara burung-2 berkicau di pepohonan sekitar rumah peristirahatan Gus Dur. Pelan saya mengetuk pintu  dan terdengar langkah-langkah beliau yg sedang mendekat. Beliau  agak kaget ketika melihat saya sepagi ini sudah menghadap dan sudah cukup lama tak bersua.
===============================================================

"Assalamuálaikum, Gus..!" Kata saya sambil menyalami beliau dan mencium tangannya.

"Salam... eh sampeyan to, Kang. Sudah lama tidak ke sini, waras tah?" Sambut GD dengan khas.

"Alhamdulillah, Gus, saya sehat-sehat saja. Maaf sudah lama banget tidak sowan. Maklum banyak yang mesti dikerjakan di kantor.." Kilah saya.

"Lagi ngerjain apa sekarang? Masih mengajar kan? " Tanya beliau sambil mengajak ke ruang tamu yang luas dengan karpet Isfahan merah.

"Masih, Gus. Ya ini sambil mengedit buku-buku dan ada juga perjalanan ke luar negeri sesekali?"

"Keluarga gimana, anaknya jadi sekolah lagi kan?" Tanya beliau sambil leyeh-leyeh.

"Alhamdulillah baik semua Gus, Lily jadi berangkat ke Amerika lagi untuk ambil S-2 nya." Jawab saya sambil menegok kiri kanan, kalau-kalau ada yang berubah dalam interior ruangan setelah beberapa bulan tidak bertandang.

"Yo wis apik, sing penting waras. Dan nanti kembali lagi ke Indonesia..." Kata beliau

"Insya Allah, Gus. Sudah jadi perjanjian kok, sekolah boleh ke mana saja, tapi kerja harus balik ke negeri sendiri. Seperti njenengan dan saya, hehehe..."

"Setuju, Kang. Anak-anak saya Insya Allah juga masih tetap di Indonesia. Kalau  ke luar negeri untuk sementara, ya ndak apa-apa. Malah baik supaya tidak beku wawasannya." Jawab beliau.

"Njenengan punya anak empat, Gus, saya punya satu doang. Kalau anak saya tinggal di luar negeri semua, gimana?" (kami berdua ngakak bersama...)

"Gimana kabarnya setelah Pilpres selesai dan sampeyan punya Presiden baru ini?" Tanya beliau.

"Wah masih mbulet, Gus, suasana politik di Indonesia. Terutama relasi antara Pemerintah Jokowi dan DPR karena perimbangan kekuatan yang masih belum mapan dan stabil." Kata saya, menjelaskan.

"Ya sabar saja, paling-paling juga rebutan positioning supaya bisa menekan pemerintah. DPR kan masih belum dewasa dalam bernegara, mikiri awake dhewe thok. Butuh waktu dan kemampuan rakyat memilih wakilnya secara lebih rasional, bukan karena uang.." Terang GD

"Istilah njenengan bahwa DPR masih kayak TK itu sering muncul Gus di dalam wacana publik.."

"Hehehe... istilah itu sebetulnya menunjukkan masih kuatnya egoisme para politisi kita dan mudahnya bengkerengan karena soal-2 yang tidak penting bagi bangsa dan negara." Lanjut GD.

"Saya juga mau sekalian tanya Gus. Bagaimana kalau kondisi masyarakat sipil kita, menurut njenengan?"

"Ya masih sama dengan masyarakat politiknya tadi. Walaupun masyarakat sipil di Indonesia jauh lebih maju ketimbang di beberapa negara Asia dan Afrika serta Amerika Latin, tetapi kualitasnya masih belum berkembang sehingga mampu menjadi landasan konsolidasi demokrasi yg kuat."

"Kenapa demikian, Gus? Kan kalau dilihat dari kuantitas, organisasi masyarakat sipil di Indonesia pasca-Reformasi melonjak luar biasa. Demikian juga jejaring nasional dan internasionalnya sangat luas sekarang."Saya mencoba memancing argumen.

"Kalau kuantitas memang benar, tapi kualitasnya kan belum. Masyarakat sipil kan punya komponen kelembagaan, organisasi, dan kinerja. Dan yang susah kan di komponen yg lebih abstrak yaitu visi dan nilai-nilai yang diperjuangkan mereka. Pasca-Reformasi justru menyaksikan masyarakat sipil yang rapuh di dalam komponen terakhir tsb, sementara komponen kelembagaan dan organisasi ada yang bagus tapi juga banyak yang masih kurang baik."

"Bisa diberi contoh Gus, dalam hal komponen visi dan nilai tadi?" Tanya saya.

"Masyarakat sipil kan idealnya memperjuangkan hak-hak asasi individual dan kelompok dari penetrasi negara. Jadi visi emansipasi atau pemerdekaan itu harusnya menjadi landasan visioner masyarakat sipil. Nilai-nilai seperti kebersamaan, kesederajatan, keberadaban atau civility menjadi bagian integral di dalamnya. Lha sampeyan lihat saja, apakah masyarakat sipil Indonesia pasca Reformasi makin emansipatoris atau tidak. Apakah organisasi-2 masyarakat sipil memperjuangkan nilai-2 kebersamaan, kesedrajatan dan keberadaban?" Kata GD menjelaskan dengan semangat.

"Memang saya lihat problematik ya Gus. Justru masyarakat sipil Indonesia kian cenderung mudah terpecah dan wawasan emansipatorisnya kian surut. Kepentingan pragmatis mereka malah menonjol sehingga organisasi masyarakat sipil yang makin banyak itu tidak makin memperkuat daya tawarnya vis-a-vis negara." Kata saya.

"Lha iya, kan malah makin banyak kekerasan yg justru dilakukan di dan oleh maysrakat sipil. Apalagi kalau sudah bicara organisasi masyarakat sipil yg terkait agama, khususnya Islam. Bagaimana mau menguatkan landasan visi emansipatoris, kalau ideologi kebencian malah jadi dasar sebagian organisasi itu? Mana bisa mengembangkan nilai kebersamaan dan keberadaban di ruang publik dengan visi demikian. Negara tentu akan memanfaatkan kelabilan masyarakat sipil tersebut utk kepentingan negara. Masyarakat politik pun demikian. Walhasil, masyarakat sipil Indonesia kelihatannya besar tetapi sejatinya masih ringkih.." Kata GD menjelaskan.

"Bukannya negara membutuhkan masyarakat sipil yang solid Gus, dalam sistem demokrasi? Kan tanpa dukungan masyarakat sipil, negara bisa kembali otoriter?" Tanya saya.

"Itu kan kalau penyelenggara negaranya cukup banyak yang berfikiran dan bervisi demokratis. Saya masih khawatir yang begitu itu masih minoritas. Yang masih hegemonik adalah mereka yang ingin balik ke masa lalu. Ditambah lagi dengan masyarakat politik yg juga masih punya keinginan balik ke otoriterisme. Padahal sumber penyelenggara negara sebagaian adalah masyarakat politik, di sampin ada juga dari masyarakat sipil." Terang GD.

"Lalu bagaimana Gus dengan komponen masyarakat sipil yg sudah memiliki keberadaan lama seperti pesantren atau ormas seperti NU. Muhammadiyah, Gereja-Gereja, dll itu?"

"Ya sama saja, mereka juga tidak imun terhadap pengeroposan visi dan nilai-nilai dasar masyarakat sipil itu, karena yang memimpin mereka juga mulai pragmatis dan bahkan ikut-2an transaksional. Kita tidak perlu terhanyut dalam idealisasi apalagi mitologisasi lembaga-2 tradisonal dan ormas besar keagamaan. Kita lihat saja faktanya dalam kiprah mereka vis-a-vis negara dan masyarakat politik." Kata GD menjelaskan.

"Dan tampaknya pragmatisme itu kian mantap gus diamalkan oleh sebagian tokoh ormas besar dan lembaga-lembaga masyarakat sipil tradisional. Susah sekarang mencarai tokoh-tokoh spiritual dan kemasyarakatan yang mandiri dan disungkani oleh negara dan masyarakat politik." Saya menyetujui pandangan beliau.

"Akibatnya apa, Kang. Jadi orgamnisasi masyarakat sipil berubah fungsi mejadi bagian dari aparat negara atau 'state apparatuses'. Kan ini balik lagi ke masa Orba ketika ormas-ormas masuk dalam proyek korporatisme negara dan menjalankan tugas hegemoni negara thd masyarakat sipil?" Kata GD melanjutkan lagi.

"Wah, kok balik kucing ya Gus?"

"Ya, tapi sekarang lebih canggih karena memakai kamuflase demokrasi, toh?"

"Lalu bagaimana Gus merevitalisasi masyarakat sipil yang sedang mengalami destabilisasi di Indonesia ini?"

"Tentunya memperkuat lagi fondasi emansipatoris dan nilai-nilai tadi. Saya selalu optimis akan ada komponen masyarakat sipil yg masih punya kesadaran dan kemampuan itu. Kalau sendirian ya tidak bisa, jadi harus rajin melakukan kerjasama antara mereka yang masih punya idealisme, walaupun tidak mudah. Saya tahu itu, Kang."

"Proyek konsientisasi ala Paulo Freire lagi dong, Gus?" Tanya saya.

"Salah satunya memang pendidikan penyadaran seperti itu di dalam organsisasi masyarakat sipil. Gimana memerangi pragmatisme, kekerasan, penyebaran nilai keadaban publik, dll. Medianya kan makin banyak, termasuk melalui jejaring sosial kayak yang sampeyan bikin itu."

"Yang paham soal Freire jangan-jangan sudah pada tua Gus?, hehehe..." Canda saya.

"Kan tidak harus persis sama dengan Freire, saya kira selalu ada yg pas dengan zamannya. Freire itu zaman saya, tapi semangatnya masih sampai sekarang." Jelas GD.

"Jadi inget masa lalu, njenengan dengan kawan-kawan seperti Romo Mangun dan Ajarn Sulak Siwaraksa, serta Ibu Gedong ya Gus?"

"Hehehehe... gitu ya...?"

"Maaf Gus saya pamit dulu, ya.  Wawancara ini nanti saya pakai untuk bahan simposium dengan kelompok Gusdurian yang dipimpin putri njenengan, mBak Lisa, Gus.." Kata saya sambil beranjak berdiri.

"Kapan acaranya?" Tanya beliau.

"Siang ini Gus, di kampus UI, Depok."

"Ya sudah salam saya kepada semuanya ya.." Kata GD.

"Insya Allah, Gus. Assalamu'alaikum..." Kata saya sambil menyalami dan mencium tanga beliau..


 Pamulang, 17 Desember 2014
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS