Sunday, February 15, 2015

PRAPERADILAN BG DAN REPRESENTASI PERTARUNGAN KUASA-2

Wacana dan praksis pra-peradilan Komjen Gunawan (BG) kini menjadi padang Kurusetra untuk menentukan siapa yang unggul dalam pertarungan antara kekuatan-kekuatan politik elite, yang implikasinya bukan saja akan dirasakan oleh bangsa Indonesia, tetapi juga dunia. Sidang pra-peradilan, yang biasanya tak lebih dari sebuah proses hukum acara untuk menentukan sah atau tidak sahnya sebuah tindakan penangkapan dan pemeriksaan, kini telah berubah menjadi sebuah momen besar penentu apakah Presiden Jokowi (PJ). Bukan hanya apakah beliau akan melantik atau tidak melantik BG sebagai Kapolri, tetapi juga bagaimana masa depan relasi kuasa antara beliau dengan kekuatan-kekuatan politik, baik yang mendukung Pemerintahannya maupun yang ada di luar. Walhasil, sidang pra-peradilan itu telah diangkat statusnya melebihi sebuah proses hukum biasa. Ia adalah sebuah arena pertarungan kuasa-kuasa, yang melampaui kekuatan kontrol pihak-pihak pemohon maupun termohon sendiri!

Karena itulah aturan-aturan formal yg biasanya menjadi patokan dalam sebuah pra peradilan biasa, kini menjadi tidak lagi, atau kurang, relevan. Misalnya, kini publik sudah tidak lagi peduli dengan fakta bahwa status tersangka BG tetap saja melekat kendati pun misalnya ia memenangkan pra-peradilan tsb. Demikian pula, bahwa KPK masih akan terus bisa melakukan pemeriksaan thd BG seandainya kalah dalam pra-peradilan, tidak lagi diacuhkan. Apalagi persoalan-persoalan 'abstrak' terkait moralitas dan etika politik, seperti kemungkinan seorang tersangka tipikor menjadi Kapolri. Sama sekali kini berada di latar belakang, bahkan sengaja ditutupi dan disembunyikan di bawah karpet. Yang penting pra-peradilan BG adalah mirip perang penentuan antara Kurawa dan Pandhawa. Putusan pra-eradilan hari Senin nati kini adalah "Bharatayudha Jajabinangun", atau perang puputan yang akan memastikan siapa yg akan berkuasa dan yang akan binasa di panggung politik negeri ini.

Maka tak heran, hari-hari ini pihak pro dan kontra kini menggelar dan mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk saling menujukkan kelemahan lawan, menekan mereka, dan, bahkan, mengancam, jika kehendak pihaknya tak terpenuhi. Berbagai strategi dan taktik pun dipertontonkan, baik fisik maupun psikologis. Tak ada perlunya menyembunyikannya, karena hal itu bisa dianggap sebagai kelemahan. Para politisi, pakar hukum, pengamat politik, relawan, aktivis, media dan publik umumnya, semuanya "tumplek blek" menjadi bagian dari perang puputan ini. Mereka yang tidak terlibat di dalamnya dianggap kaum marjinal atau terpinggirkan, yang mesti siap-siap menjadi korban-korban yang akan dipersembahkan di atas altar-altar kekuasaan!

Inilah sebuah drama tragedi politik yg sedang ditonton/ dan dialami oleh rakyat Indonesia, yg mungkin sesungguhnya tak terlalu tertarik karena sudah paham benar akan akhir ceritanya. Yaitu kehidupan politik yang tetap tidak akan berangsur lebih baik dan kesejahteraan mereka yang tidak kunjung meningkat. Seperti dalam semua tragedi, pihak yg bertarung (yg menang dan yang kalah) semuanya akhirnya kalah. Seperti perang Bharatayudha yg juga berakhir tragis setelah seluruh Kurawa tumpas, sehingga para Pandhawa pun melakukan 'pati obong', membakar diri karena penyesalan terhadap absurditas perang yg mereka lakukan dan menangkan!. Dan rakyat jua yang kemudian harus mengais puing-puing akibat kerusakan yg dihasilkan oleh peperangan berebut kuasa oleh elit. Salah dan benar, menang dan kalah, hanya menjadi sebuah kenisbian, ambiguitas, dan ketidak pastian. Dan catatan pinggir dari sejarah.


Simak tautan ini:

http://news.okezone.com/read/2015/02/15/337/1106059/eks-ketua-ma-hakim-sarpin-jangan-mau-diintervensi
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS