Aturan ttg tenggat wkt ini sejatinya jelas, yaitu berlaku bagi DPR yg
duberi waktu sampai 20 hari utk menyetujui atau menolak calon kapolri.
Jika lewat dr tenggat tsb mk berarti disetujui DPR. Tapi,kini pasal itu
digoreng oleh sementara legislator DPR yg vokal serta didukung oleh
pandangan pakar hukum, seakan2 berlaku juga bagi Presiden! Para pakar
hukum ity menggunakan argumen asas tukar menukar, reproksivitas
(reproxivity), artinya apa yg berlaku bg DPR juga berlaku bg Presiden.
Dg akrobat tafsir hukum seperti ini, muncullah sebuah wacana bhw
Presiden Jokowi (PJ) akan kena dead line jika lewat 20 hari tdk melantik
BG setelah persetujuan DPR, maka ybs otomatis jadi Kapolri! (http://www.mediaindonesia.com/…/Tenggat-buat-Pre…/2015/01/31).
Inilah permainan yg kemudian dibongkar oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun (RH), yg menyebut tafsir itu adlh salah kaprah. Karena pasal tsb tidak mengikat Presiden karena addressnya pd DPR. PJ tdk wajib melantik BG kendati DPR sudah setuju. Asas yg ada dlm aturan tsb bukanlah repeoksifitas yg mengikat bg Presiden.
Sebagai orang yg bukan pakar hukum, saya cenderung sepakat dg RH. Hemat saya kerjasama antara politisi dan pakar hukum spt ini sudah sering kita temukan. Para pakar jenis ini dg sangat lihay menciptakan kesalah pahaman di ruang publik dan kadang menyebarkan paham yg salah dg dalih hukum yg ndakik2. Koalisi (kolusi?) kekuasaan dan ilmu (hukum) menciptakan wacana baru yg bermuatan tekanan politik yg tak kalah kuatnya dg kekuatan fisik. Michel Foucault, filsuf pasca modern dr Perancis, menyebut ini dg istilah relasi "power/knowledge". Pertarungan kuasa-2 tdk hanya berlangaung di ruang Parlemen dan parpol, tetapi juga dlm wacana. Ilmuwan tdk imun dr godaan power dan penguasa dg sigap memanfaatkan ilmuwan utk melegitimasi manuver2nya.
Inilah permainan yg kemudian dibongkar oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun (RH), yg menyebut tafsir itu adlh salah kaprah. Karena pasal tsb tidak mengikat Presiden karena addressnya pd DPR. PJ tdk wajib melantik BG kendati DPR sudah setuju. Asas yg ada dlm aturan tsb bukanlah repeoksifitas yg mengikat bg Presiden.
Sebagai orang yg bukan pakar hukum, saya cenderung sepakat dg RH. Hemat saya kerjasama antara politisi dan pakar hukum spt ini sudah sering kita temukan. Para pakar jenis ini dg sangat lihay menciptakan kesalah pahaman di ruang publik dan kadang menyebarkan paham yg salah dg dalih hukum yg ndakik2. Koalisi (kolusi?) kekuasaan dan ilmu (hukum) menciptakan wacana baru yg bermuatan tekanan politik yg tak kalah kuatnya dg kekuatan fisik. Michel Foucault, filsuf pasca modern dr Perancis, menyebut ini dg istilah relasi "power/knowledge". Pertarungan kuasa-2 tdk hanya berlangaung di ruang Parlemen dan parpol, tetapi juga dlm wacana. Ilmuwan tdk imun dr godaan power dan penguasa dg sigap memanfaatkan ilmuwan utk melegitimasi manuver2nya.
0 comments:
Post a Comment