Monday, June 1, 2015

REFORMASI TOTAL SEPAKBOLA INDONESIA: "GOD IS IN THE DETAIL"

Adalah arsitek dari Jerman, Ludwig Mies van der Rohe (1886-1969) yang, konon, pertamakali memaki ungkapan "Tuhan ada pada detil". Maksudnya kurang lebih adalah bahwa perhatian pada detil atau rincian sangatlah penting agar pekerjaan berhasil dengan memuaskan. Saya meminjam ungkapan ini utk memahami keputusan Presiden Jokowi (PJ) melakukan reformasi total terhadap pengelolaan persepakbolaan Indonesia, termasuk dan terutama melalui pembenahan PSSI yg merupakan organisasi persepakbolaan nasional dan mewakili Indonesia di kancah organisasi dunia, FIFA. PJ mengatakan bahwa pembenahan PSSI berarti "... reformasi total, pembenahan organisasi, sistem dan manajemen." Mengapa pembenaha pd level manajemen?. Menurut orang nomor satu di Republik Indonesia itu, karena "... di tingkat pemain saya lihat sudah bagus. Tapi di level (manajemen) ini harus ada pembenahan."

PJ bukan sekedar menyampaikan observasi dan pandangan subyektifnya, tetapi dengan menyertakan bukti-bukti yang cukup detil, berupa fakta prestasi jeblok persepakbolaan Indonesia yg, Insya Allah, selama 10 tahun ini tidak pernah lolos kualifikasi Asia (tahun 2002, 2006 dan 2010). Demikian pula dengan peringkat timnas Indonesia dalam blantika sepakbola dunia yg istoqopmah bercokol di papan paling bawah, yaitu kisaran 159 dan 160. PSSI, ibarat bis atau angkot, sudah jelas rusak parah karena tidak dirawat oleh pemiliknya dan sopir dan keneknya. Pengelola PSSI faham benar dg psikologi bangsa Indonesia yang selalu "nrimo ing pandum" dan "tetap sabar dan bersyukur dalam kesulitan apapun." Dua sikap mental tersebut, yg sejatinya sangat positif, lantas dimanipulasi utk mengabsahkan kerja yang asal-asalan, waton, dan anti perubahan. Hasilnya, Indonesia ibarat "dinosaurus sepakbola" di kawasan ASEAN. Sedangkan di level dunia, menjadi peserta "pupuk bawang" alias pemantas saja!

Dengan detil faktual seperti itu, seharusnya para pengurus PSSI dan para aparatnya, termasuk penasihatnya (bahkan KOI dan KONI, dsb.) memahami dan menyadari bahwa sepakbola Indonesia sudah mengidap tumor pada stadium yang mengkhawatirkan. Pembenahan yg dilakukan PJ adalah semacam "operasi besar" terhadap tumor tsb agar tidak meruyak. Selama ini para ponggawa PSSI hanya memberi resep berupa obat penghilang rasa sakit (painkillers) yg seakan-akan menyembuhkan, tetapi sebetulnya tidak. Jika akan dilakukan diagnosa yg menyeluruh, selalu ditolak dg argumentasi-2 yg ekonomis dalam penalaran, apologetik, dan 'ngoyoworo'. Mantra yg paling disukai para pengurus PSSI dan pendukungnya dlm membela diri adalah: "PSSI organisasi mandiri", "PSSI terikat statuta FIFA", "PSSI sudah melakukan pembenahan", "kasihan dengan ribuan orang yg hidupnya tergantung pada sepakbola," dan "rakyat Indonesia tetap cinta  sepakbola nasional dalam kondisi apapun!." Persis seperti orang yang sakit parah tetapi tidak mau menyadari apa penyakitnya dan hanya mau menggunakan resep obat yg disukai, bukan yang menyembuhkan!

PJ adalah tipe orang yg suka pada detil dan fakta. Bukan retorika apalagi yg cuma apologia belaka. Karena itu, kalau fakta memang menunjukkan prestasi jeblog total, sementara pada tingkat kemampuan individual pemain sudah bagus dan bahkan diakui secara internasional, maka masalahnya tentu pada manajemen persepakbolaan. Itulah sebabnya mesti direformasi total. Resiko PSSI tdk boleh ikut tanding oleh FIFA, memang berat tetapi harus diambil. Ibaratnya, kalau memang harus bedah dan kemoterapi, ya mesti dilakukan utk menghilangkan tumor sebelum menjadi ganas dan membinasakan sipenderita. Sakit memang tidak enak dan menyedihkan, tetapi mengupayakan kesembuhannya lebih penting ketimbang membiarkan dan malah "menjajakan" kesakitan itu, bukan?


Simak tautan ini:
http://bola.tempo.co/read/news/2015/05/30/099670916/jokowi-pembekuan-pssi-untuk-reformasi-total
 
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS