Saturday, December 26, 2015

DANA KETAHANAN ENERGI: HADIAH ATAU "KUTUKAN" AKHIR TAHUN?

Kebijakan Pemerintah Jokowi (PJ) utk menerapkan apa yang disebut sebagai "Dana Ketahanan Energi (DKE), berpotensi menciptakan kontroversi publik dan reaksi negatif terhadap beliau dan Pemerintahnya pada tahun depan. Kebijakan ini terjait dengan penurunan harga BBM, premium dan solar, masing-masing Rp 150 dan Rp 750, yang berlaku mulai 5 Januari 2016 yad.

Dalam keterangan resmi Kementerian ESDM dikatakan bahwa penurunan harga BBM tersebut sejatinya adalah: Premium Rp 6.950 per liter, dan solar Rp5.650 per liter, sudah termasuk subsidi Rp1.000 per liter. Namun penurunan tsb kemudian "diambil" lagi oleh Pemerintah sebesar Rp 200 per-liter utk premium dan Rp 300 per liter utk solar. Dengan demikian, di pasaran secara efektif harga premium menjadi Rp7.150 dan solar Rp5.950.

PJ menggunakan argumentasi bahwa Indonesia memerlukan dana utk: 1) mendorong explorasi agar depletion rate (tingkat pengurasan) cadangan kita bisa ditekan; 2) membangun infrastrukur cadangan strategis; dan 3) membangun energi baru dan terbarukan (EBT). Pemungutan DKE ini pun, menurut PJ, dilandasi oleh Undang-Undang No. 30/2007, dan Peraturan Pemerintah No. 79/2014. Fokus penggunaan DKE nantinya adalah untuk penelitian dan pengembangan EBT.

Kebijakan ini sudah mulai menuai kritik dari publik, khususnya dari para pegiat energi. Yang paling utama adalah dasar hukum yang lemah, karena pungutan semacam itu tidak dikenal di dalam perundangan. Yg dikenal adalah sumber dana dari APBN, APBD, swasta yang berasal dari energi tak terbarukan. Penafsiran PJ utk membuat kebijakan DKE dianggap terlalu jauh. Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM), "setiap pungutan kepada masyarakat harus masuk dalam kategori pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang lebih dulu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Apalagi, PP yang mengatur pasal 30 UU Energi tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan belum ada hingga kini. (http://politik.rmol.co/read/2015/12/25/229431/Yusril:-Kutip-Upeti-BBM,-Pemerintah-Langgar-Undang-undang-). Pihak Komisi VI (Energi) DPR-RI pun bersikap kritis sebagaimana dikemukakan oleh Ketuanya, Kardaya Warnika (WJ), bahwa kebijakan DKE adalah blunder (http://ekbis.rmol.co/read/2015/12/25/229407/Pemerintah-Blunder-Terapkan-Pungutan-Dana-Ketahanan-Energi-).

Walhasil, di ujung tahun 2015 ini PJ bisa jadi bukan memberi Hadiah akhir tahun kepada rakyat Indonesia berupa penurunan harga BBM yang signifikan, tetapi justru memberi amunisi baru bagi para pengritiknya dengan membuat kebijakan tak populer, kontroversial, dan secara hukum bermasalah. PJ dan para punggawa Istana harus ingat bahwa persoalan BBM adalah sangat sensitif baik secara ekonomi maupun politik di negeri ini. Jangan sampai di bulan Januari 2016, PJ akan membuka kantor dengan protes dan kritik setelah tahun 2015 beliau cukup berhasil mengendalikan gejolak-2 politik yang menghambat pemerintahannya.

Lebih baik PJ meninjau ulang kebijakan ttg BBM yang tidak jelas ketimbang membiarkan 'bom waktu' bagi stabilitas politik dan keamanan di negeri ini.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS