Thursday, April 14, 2016

'PANAMA PAPERS' DAN TANGGUNGJAWAB ETIK PARA PENYELENGGARA NEGARA

Bocoran tentang apa yg disebut dengan Dokumen Panama atau "the Panama Papers (PP)" sudah marak ke seluruh dunia dan menyebabkan kontroversi di banyak negara karena menyangkut nama-nama tokoh elit, baik pejabat negara maupun korporasi besar. Tak kurang dari Presiden Vladimir Putin (VP) dari Rusia dan PM Islandia, Sigmundur Gunnlaugsson (SG) yg terkena getah. Sigmundur malah sudah benar-benar mundur gara-gara PP. Di Indonesia, nama yang disebut-sebut media antara lain adalah Wapres JK dan Ketua BPK, Harry Azhar Azis (HA). Kedua pejabat tinggi negara itu disebut karena nama-2 anggota keluarganya mereka tercantum di dlm dokumen yg dimiliki firma hukum Mossack Fonseca (MF), sebuah perusahaan yang memfasilitasi pendirian perusahaan-2 'cangkang' (shell companies, PC) atau perusahaan-2 'kertas' (paper companies, PK) di Panama atau British Virgin Island.
Nama-nama tokoh Indonesia lainnya yg ada dlm bocoran dokuman MF antara lain adlh: Airlangga Hartanto (AH), Jhonny G. Plate (JP), dan juga Sandiaga Uno (SU).

Praktik mendirikan PC atau PK ini dilakukan untuk memperlancar kirpah dlm bisnis internasional dan utamanya menghindari pembayaran pajak yg tinggi. Karena itu menjadi bagian dari PC adalah sebuah praktik legal tetapi bisa dikategorikan "abu-abu" dan lebih cenderung ke arah "hitam". Para politikus korup, Mafia, penipu top, gembong narkoba, konglomerat hitam, dan sebangsanya adalah langganan PK dan PC. Sedemikian rupa besarnya presentasi para pelaku korup dan kriminal yg terlibat di dalam rekayasa finansial seperti itu, sehingga sulit menghilangkan kesan negatif bagi pihak-2 yg terlibat di dalam PK dan PC kendati mungkin mereka bukan para pencoleng.

Itulah sebabnya, sulit bagi saya menerima argumen para pejabat negara RI yg namanya terdapat dalam dokumen MF seolah-olah mereka bisa melepaskan tanggungjawab etis ketika nama-2 mereka muncul di sana. Bisa saja para pejabat tersebut berdalih dg argumentasi legal formal dan praktik bisnis, dll. Tetapi, lagi-lagi menurut pandangan pribadi saya, mereka bukanlah pemimpin yang bisa menjadi teladan bangsanya. Bahkan secara politikpun Pemerintah PJ akan terbebani dengan kasus seperti ini, setidaknya akan menjadi kendala utk meyakinkan kepada rakyat Indonesia bhw para penyelenggara negara yg ada saat ini adalah orang-2 yang memiliki standar etik yg bisa dipertanggungjawabkan.

Saya tahu bahwa seperti biasanya, himbauan dan petisi thd para penyelenggara negara yg namanya terlibat di dalam PP agar mereka mundur dari jabatan, akan ditolak dengan berbagai alasan dan argumen. HA, misalnya, bersikukuh mengatakan bhw tak ada yg salah soal keterlibatan dirinya dalam membuat PC bersama sang anak. (https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/04/13/090762339/nada-tinggi-ketua-bpk-soal-panama-papers-saya-tak-salah). Demikian juga JK mengatakan tak semua sumber dana PP adlh hasil kejahatan. (https://m.tempo.co/read/news/2016/04/07/078760718/wapres-jk-tak-semua-sumber-dana-panama-papers-hasil-kejahatan). Ujung-2nya, pihak-2 yang mengajukan himbauan atau protes bisa jadi malah akan repot karena mereka akan diminta membuktikan sendiri. Inilah respon klasik yg selalu kita dengar manakala ada persoalan "abu-abu" seperti dalam politik.

Namun, secara pribadi saya mendukung himbauan dan protes publik agar para pejabat negara dan mereka yang terlibat dalam bisnis seperti itu agar tidak terlibat lagi sebagai penyelenggara negara. Termasuk mencalonkan diri mereka dalam Pilkada atau menjadi anggota Parlemen. Jika mereka memang konsisten dengan penegakan hukum, pemerintahan yang bersih, dan tatakelola yang baik serta punya tanggung jawab etik yg tinggi, setidaknya mereka harus menjadi teladan. Bukannya malah melontarka alasan-2 formal yg bernada pengabsahan thd praktik-2 "abu-abu". Tirulah sikap PM Islandia, Sigmundur, dengan cara segera mundur!
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS