Tuesday, April 19, 2016

PEMAAFAN DAN REKONSILIASI ADALAH KENISCAYAAN

Adalah pejuang anti-kekerasan dan kemerdekaan bangsa India, Mahatma Gandhi (1869-1948), yang mengatakan bahwa: "(m)ereka yg berjiwa lemah tak akan pernah memaafkan, sebab kemampuan memaafkan adalah sifat dari mereka yg berjiwa kuat." Tampaknya kalimat tersebut sangat relevan ketika kita anak bangsa dituntut oleh sejarah agar bisa jujur, arif, dan memandang kepentingan yg lebih besar dalam menyikapi tragedi G-30-S/PKI pada1965 dan mengupayakan penyembuhan luka batin bangsa yang diakibatkannya thd seluruh bangsa dan NKRI.

Seperti halnya bangsa-bangsa yg besar lainnya, bangsa Indonesia pun memerlukan upaya "penyembuhan" (healing) dari trauma-trauma masa lalu. Jika proses itu tak kunjung terjadi, maka gangguan thd psikologi kolektif akan terus menerus muncul baik di masa kini maupun masa depan. Akibat yang paling serius adalah ancaman kesatuan dan persatuan bangsa yg berimplikasi luas bukan saja politik dan sosial, tetapi juga keamanan nasional serta keberlangsungan NKRI. Selain itu, jika tidak terjadi "penyembuhan" secara tuntas, maka kemungkinan akan terjadinya pengulangan sejarah tersebut akan makin terbuka. Sebab, tanpa suatu penyembuhan luka batin kolektif bangsa tsb, ingatan-ingatan buruk akan tertumpuk di alam bawah sadar yang, seperti magma panas bisa membeludak dan meledak karena adanya pemicu, baik dari dalam maupun luar.

Proses 'penyembuhan' tsb memang tidak mudah dan selalu mengandung berbagai resiko termasuk politik dan sosial. Namun tak berarti hal itu tak bisa dilakukan, dan yg lebih penting lagi, itulah satu-2nya pilihan bagi bangsa besar ini demi masa depannya. Dan salah satu jalan menuju 'penyembuhan' tsb adalah dengan pemaafan dan rekonsiliasi nasional (national reconciliation and forgiving).

Sayangnya, kendati tragedi G-3--S PKI telah lewat 50 th lamanya, peta jalan menuju pemaafan dan rekonsiliasi itu masih belum terang. Bahkan kendati sudah sering dibicarakan, didiskusikan, dan diperjuangkan oleh berbagai tokoh dan kelompok, tetap terganjal berbagai persoalan serius, khususnya bagaimana negara dan pemerintah menjawab dan menyelesaikan tuntutan pihak yang menganggap sebagi korban tragedi tsb. Wacana pemaafan, menurut hemat saya, pun tetap menjadi semacam tabu karena selalu ada kekhawatiran dan ketidakberanian menyatakan permintaan maaf tsb. Rekonsiliasi, saya kira juga akan menjauh ketika pemaafan itu belum kunjung muncul.

Dan bagi saya pemaafan tidak bisa hanya berkutat pada tuntutan salah satu pihak, yg disebut sebagai pelaku (perpetrators), oleh 'korban" yg dlm hal ini diwakili oleh apa yg disebut dg para penyintas (survivors). Apalagi jika pelaku disini kemudian dinisbahkan sebagai Pemerintah, sebab tentu saja pihak yg disebut terakhir itu akan menolak karena tidak merasa bertanggungjawab. Bagaimanapun tragedi ini bukanlah seperti kasus Holocaust di Jerman pada th 30-an atau progrom rezim PolPot yg sangat jelas perpetrators dan korbannya.

Pemerintah memang harus memfasilitasi dan berempati serta pro aktif dlm rangka proses pemaafan dan rekonsiliasi tsb. Dan dalam hal ini pendekatan mencari "kebenaran" sejarah, hemat saya, kurang relevan ketimbang pendekatan yg mengutamakan pemaafan dan rekonsiliasi. Kebenaran sejarah sangat tergantung pada penafsiran dari para pihak dan ia tdk akan bisa ditemukan secara absoult. Pemaafan dan rekonsiliasi, sebagaimana pernah diupayakan dg sukses oleh Nelson Mandela, justru lebih efektif.

Simak tautan ini:

(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160418_indonesia_simposium65_dibuka)
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS