Wednesday, May 25, 2016

KETUA MAHKAMAH AGUNG LEBIH BAIK DIGANTI


MAHKAMAH AGUNG LEBIH BAIK DIGANTI. Saya setuju dg pandangan Prof. Mahfud MD (MMD) yg menolak sebutan Hakim sebagai wakil Tuhan di negeri ini. Beliau kesal dg makin seringnya oknum-2 Hakim ditangkap karena kasus tipikor, sehingga tak layak jika mereka disebut wakil Tuhan. Masih menurut mantan Ketua MK itu, mereka lebih layak disebut "wakil Iblis" saja. Dalam pandangan saya, Hakim yg sedahsyat apapun tetap tak layak dijuluki wakil Tuhan, apalagi Hakim2 korup dan sontoloyo itu. Alasan saya, sederhana saja: Seorang Nabi saja tdk menyatakan diri atau dinyatakan sbg wakil Tuhan, apalagi manusia biasa. Kalaupun profesi Hakim itu dianggap mulia, hal itu tdk berarti mereka berhak dijuluki wakil Tuhan. Para Guru jauh lebih mulia ketimbang Hakim, tetapi mereka tdk pernah dijuluki atau mengklaim spt itu. Para Ulama pun (yg juga lbh mulia ketimbang Hakim) hanya dijuluki "pewaris para Nabi" dan itupun maknanya adlh pewaris perjuangan bukan pewaris tahta!

Nah, apalagi kalau Hakim2 spt di Indonesia yg kini makin sering menjadi tersangka tindak kriminal korupsi. Bukan saja tak perlu diberi julukan wakil Tuhan, justru mereka itu seharusnya dihukum jauh lebih berat ketimbang koruptor yg paling kakap pun. Saya berpendapat bhw sudah waktunya negeri ini punya aturan hukuman khusus utk para Hakim yg kedapatan melanggar hukum, khususnya korupsi. Mereka harus dihukum super berat, minimum 25 tahun dan maksimum hukuman seumur hidup. Itu karena di Indonesia para Hakimlah yg paling sering menjatuhkan hukuman ringan kpd para koruptor, selain kini diantara mereka malah jadi koruptor sendiri. Hakim2 jujur dan berani spt Pak Artidjo Alkostar (AA) sangat langka atau bahkan sudah tdk 'terbit' lagi. Yg kian berkembang biak seperti virus adlh Hakim2 model koruptor spt yg sudah ditangkapi KPK selama beberapa th terakhir itu.

Itulah sebabnya saya sejak lama menyerukan dilakukan reformasi fundamental di MA. Dan saya setuju bhw yg pertama harus mundur adlh pimpinan MA yg nyata2 telah gagal menjadi pembina, pemimpin, dan penyelenggara lembaga yudikatif di negeri ini. Alih2 Ketua MA melakukan reformasi, dia terkesan tidak peduli dg krisis moral dan integritas di kalangan anak buahnya. Saya, misalnya, tdk paham langkah tegas apa yg sudah dilakukan oleh Ketua MA. Hatta Ali (HA), setelah terbongkarnya kasus tipikor yg melibatkan Sekreraris MA, Nurhadi Abdurrachman (NA), itu. Seyogyanya Ketua MA mundur dan bukan terus bercokol dlm posisinya jika anak buahnya bertubi2 menjadi tersangka korypsi. Sebab nalar waras akan mengatakan bhw jika terjadi korupsi terus menerus di jajaran yg demikian strategis yg bernama Hakim dan/atau pejabat teras di MA, mustahil dia tak merasa risih atau terketuk nuraninya serta tahu diri bhw dirinya memang tdk becus memimpin lembaganya. (http://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/0649009/Tak.Sanggup.Benahi.Peradilan.Ketua.MA.Disarankan.Mundur)

Mempertahankan seorang Ketua MA yg tidak peka dan bahkan sudah gagal menjadi pemimpin seperti HA akan merugikan, bukan saja lembaga yudikatif tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh. Sebab suka atau tidak, Ketua MA adlh pucuk pimpinan lembaga yudikatif yg membawahi korps Hakim di seluruh negeri ini. Jika pemimpin sangat lemah dan tdk punya kewibawaan serta kapasitas melakukan perubahan mendasar, saya khawatir hukum dan penegakan hukum di negeri ini akan makin terpuruk. Ketimbang itu yg terjadi mending memecat Ketua MA saja!

Simak tautan ini:

(http://m.rmol.co/read/2016/05/25/247648/Wakil-Tuhan-Apa-Wakil-Iblis-)
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS