Hari-hari ini mungkin udara sangat gerah dirasakan oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (TR), kendati hujan masih sering membasahi wilayah Jawa, termasuk Jatim dan tentu saja, kota Pahlawan itu. Bukan soal perubahan iklim benar yang membuat perempuan kelahiran Kediri itu merasa gerah. Tetapi tekanan dari banyak pihak, termasuk dari internal parpol yang mengusung beliau, PDIP, serta para petinggi partai di pusat dan daerah, agar beliau menjadi penantang Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, dalam Pilkada tahun depan di ibukota Republik tersebut. Selain tekanan itu, juga komporan dari media dan kelompok-2 kepentingan di masyarakat sipil, yang dengan segala macam cara mencoba meyakinkan R agar maju menjadi bacagub.
Untuk sementara TR masih bergeming. Beliau masih mengatakan bahwa dirinya ingin menyelesaikan tugas sebagai Walikota Surabaya sampai masa jabatannya selesai dg paripurna. Dan tentu saja dengan sukses sebagaimana yang beliau capai selama ini. Tetapi sikap TR untuk bertahan ini bukannya tanpa resiko. Jika kehendak untuk menjadi bacagub ini benar-benar muncul dari boss besar PDIP, alias Ketum DPP Megawati Sukarnoputri (SM), maka rasanya diperlukan sebuah keyakinan dan kekuatan besar untuk mengatakan tidak. Tetapi jika kehendak itu hanya dari elit lain atau apalagi dari elit partai di Jatim, soalnya tidaklah berat. Apalagi kalau yang menginginkan adalah kelompok-2 kepentingan yg gerah dengan keberadaan Ahok sebagai Gubernur yang kedua kali.
Sulit dibantah bahwa secara hitung-2an nalar dan politik, TR adalah faktor yang sangat penting bagi PDIP untuk meraih kemenangan dlm Pilkada DKI. Sebab semua orang tahu belaka bahwa yg dibutuhkan partai berlambang banteng gemuk tsb hanyalah figur kandidat ynag memiliki kapasitas, elektabilitas, dan populartias yang lebih bagus atau setidaknya seimbang dg mantan Bupati Belitung Timur itu. Dan stok kandidat seperti itu jumlahnya sangat terbatas, satu diantaranya (untuk tidak mengatakan satu-2nya) adalah TR. Sementara itu, kemenangan di DKI-1 bagi PDIP adalah sangat strategis. Bukan saja karena partai itu memiliki kursi terbesar di DPRD, tetapi juga posisi Gubernur DKI yg sudah pernah diraih oleh kader PDIP, melalui Gub Jokowi, tak bisa tidak mesti dipegang lagi. Sayangnya dengan posisi Ahok yang begitu moncer dalam elektabilitas dan popularitas, urusan meraih kembali kursi DKI-1 itu menjadi sangat berat.
Mencari sosok yang sekaliber TR sungguh tidak mudah. Kendati ada beberapa figur nasional seperti Yusril Ihza Mahendra, Rizal Ramli, Syafrie Sjamsoeddin, Adhyaksa, dll tetapi untuk menjadi pesaing Ahok rasanya belum meyakinkan PDIP. Mereka punya kapasitas dan popularitas, tetapi soal elektabilitas tampaknya masih sangat berat. Ini beda dengan TR yg kendati tidak pernah berada di Jakarta sebagai pejabat, tetapi nyaris nama beliau sudah menjadi buah bibir (household name) dan dihormati. Mesin partai milik PDIP tak akan terlalu susah utk mendongkrak potensi beliau menjadi kekuatan riil, sebagaimana dalam kasus pencalonan Pak Jokowi bbrp tahun lalu!
PDIP dan TR perlu segera membuat keputusan yg tepat dan, dalam politik, itu termasuk melakukan kompromi-kompromi. Bisa saja PDIP mengambil jalan tengah menggandeng Ahok dengan mengajukan cawagub dari partai tsb. Tentu hal ini merupakan set back, tetapi bisa juga tidak jika dilihat dari perspektif kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang. Inilah yang tentu akan merupakan sebuah win-win bagi PDIP, TR, dan Ahok. Dan jika Pemerintahan DKI ke depan lebih stabil, dg asumsi bhw Ahok akan didukung parpol dan publik, maka sejatinya PDIP lah yang akan mendapat keuntungan politik (political windfall) paling besar.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment