Sunday, October 23, 2016

POLITISASI KASUS AHOK: SOAL TAFSIR & TERJEMAHAN


Belum reda urusan perbedaan tentang penafsiran, kini urusan penerjemahan Al-Qur'an Surat Al-Maidah: 51 juga digunakan sebagai alat perluasan politisasi kasus Ahok yang dituduh melakukan penistaan terhadap Al-Qur’an dan Islam. Kalau sebelumnya sasarannya adalah pihak-2 yang tidak mengakui penafsiran tunggal thd ayat tsb, kini bergeser kepada Kementerian Agama (Kemenag) yg dituding melakukan “editing” terhadap terjemahan Al-Qur’an. Pasalnya, terjemahan resmi Al-Qur'an oleh Kemenag, edisi th 2002 tidak lagi mengalihbahasakan kata "Auliya" pada Surat Maidah: 51 dengan “pemimpin”, tetapi “teman setia”.

Alasan resmi pihak Kemenag adalah, karena Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) yg berwenang telah melakukan revisi thd terjemahan kata “Auliya”, yg disebut sampai 42 kali di dalam Al-Qur’an, sesuai dengan konteks ayat-ayat yang memuatnya. Oleh sebab itu dalam Surat-surat tertentu, terjemahan kata “Auliya” masih tetap "pemimpin," misalnya pada Surat-surat Ali Imran: 28, Al-Nisa: 139 dan 144, serta Al-Maidah: 57. Namun pada ayat-ayat lain, seperti dalam Surat Al-Maidah: 51, kata “Auliya” diterjemahkan dengan “teman setia.”

Saya kira, seandainya tidak ada kasus Ahok, soal terjemahan yg sudah dilakukan sejak tahun 2002 itu tak akan menjadi bahan polemik dan kehebohan. Keribetan soal terjemahan yg terjadi 14 tahun kemudian itu karena salah satu alat justifikasi para penuntut Ahok adalah terjemahan kata “Auliya” dengan “pemimpin” itu mengalami perubahan. Sementara kubu yg berseberangan menyatakan terjemahan kata tsb bukan hanya “pemimpin” tetapi bisa juga kata lain, seperti “teman” atau “wakil” atau “orang yang diberi kepercayaan,” seakan-akan kini mendapat “dukungan” baru. Maka pihak Kemenag pun, secara politik, lantas diposisikan oleh kubu penuntut Ahok sebagai pihak yg berada dalam kubu “lawan.”

Padahal jika orang mau berfikir dan mau membandingkan terjemahan-2 Kitab Suci (apa saja), perbedaan versi terjemahan bukan suatu hil yang mustahal. Bukan hanya terjemahan Al-Qur'an saja yg berbeda-2 versinya, dalam Alkitab pun ada beberapa versi yg bisa saja terjemahan mereka saling berbeda. Demikian pula dengan penafsiran terhadap Kitab-kitab suci tersebut. Namun seperti biasa, pihak-pihak yang mengklaim monopoli tafsir cenderung untuk menafikan adanya tafsir, pemahaman, dan terjemahan lain. Siapa yang berbeda, maka berarti lawan. Implikasinya, ketika terjemahan Kemenag terhadap kata “Auliya” adalah “pemimpin” maka ia tak diprotes, tetapi ketika direvisi menjadi “teman dekat”, maka lantas dipersoalkan karena tak lagi sesuai dengan kepentingannya.

Persoalan utama, yaitu tuduhan bhw statemen Ahok adalah penistaan thd Kitab Suci Al-Qur'an dan thd Islam, kemudian bergulir dan melebar. Setelah kontroversi mengenai istilah "pemimpin," kini soal "teman dekat." Berbagai jurus “silat lidah” pun sudah mulai disiapkan. Di beberapa akun twitter, misalnya, saya membaca cuitan "kalau teman dekat saja tidak boleh, apalagi pemimpin." Pengembangan pembentukan subyek dan obyek “siapa kawan dan siapa lawan” pun akan terjadi, Hari ini bisa Kemenag yang jadi sasaran, besuk bisa yang lain. Fenomen semacam paranoia politik muncul sebagai salah satu produk ikutan dari perluasan politisasi kasus Ahok.

Walhasil, kehebohan yang merembet dan beranak-pinak itu, hemat saya, sudah di luar nalar sehat serta berpotensi gangguan terhadap kohesivitas masyarakat, dan khususnya jelang pelaksanaan Pilkada, di DKI. Solusinya tak bisa lain kecuali meredam upaya-2 politisasi agama di dalam kasus Ahok. Silakan kasus tsb diselesaikan melalui proses hukum dengan tetap berpijak pada asas keadilan, transparansi, dan imparsialitas. Bukan melalui politisasi yang mengeksploitasi primordialisme melalui manipulasi informasi dan propaganda.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS