Sunday, April 23, 2017

JEAN BAUDRILLARD DAN EKSTRIMISME

"Dunia kini bukanlah (bersifat) dialektis lagi; ia dibagi-2 dalam berbagai ekstremitas; ia diusahakan menjadi antagonisme radikal. Dunia bukan lagi terbuka bagi rekonsiliasi atau sintesa. Dan yang seperti itu sejatinya adalah prinsip kejahatan."
(Jean Baudrillard, filsuf pasca-modernisme, pengamat politik, dan budayawan asal Perancis, 1929-2007)

Kita hidup di era pasca-modernisme yang salah satu cirinya adalah ketidakpedulian terhadap berbagai narasi besar yg sebelumnya dianggap menjadi fondasi kemodernan, kemajuan, keberadaban, dan kemanusiaan. Era pasca-modern menyaksikan berbagai penbolakan thd prinsip-2 dialektika, keseimbangan, keteraturan, dan (tentu) saja prinsip kesalingtergantungan. Semua itu dicampakkan dan digantikan dengan prinsip ekstrimitas, biner, antagonisme. Itulah yg kemudian mengilhami, menginspirasi, dan memotivasi pikiran-pikiran dan praksis yang menihilkan dialektika tetapi menonjolkan antagonisme. Ideologi-ideologi radikal yg mereduksi relasi manusia menjadi 'hitam vs putih', 'benar vs sesat', 'beriman vs kafir', merupakan ekses pemahaman dunia yg ekstrem dan antagonistik itu.

Ekstrimisme menafikan rekonsiliasi, karena yg disebut terakhir itu menyiratkan dialektika, dialog, trust, dan tentu saja kemauan utk saling berbagi dan membantu. Yg dirayakan oleh pemikiran dan praksis ekstremisme adalah bagaimana menguasai, mengontrol, menaklukkan dan/ atau membinasakan liyan. Celakanya, ekstremisme menjadi sangat menarik ketika kondisi struktural masyarakat pasca-modern sarat dengan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidak adilan ekonomi dan sosial pada tataran global. Ideologi-2 ekstrim, seperti yg ditawarkan oleh kelompok teroris dari segala macam versinya, berkembang dan laku keras dala kondisi seperti itu. Dan ekstrimisme pun menawarkan utopia kehidupan yg seragam, tanpa masalah, serta kebersamaan setelah semua musuhnya dibasmi. Sebuah skenario yang menyeramkan.


Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS