Tuesday, November 20, 2018

PERDA SYARIAH & FENOMENA POLITIK IDENTITAS


Isu 'Perda Syariah' (PS) tampaknya akan bergulir dan makin menarik untuk dicermati, karena sangat terkait dengan keberlangsungan kehiduan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di masa depan. Pada saat ini di ranah politik elektoral, parpol, mayoritas parpol SETUJU thd eksistensi PS dan kesinambungannya. Hanya PDIP, Demokrat, dan PSI yang tegas tidak setuju.

Di ranah masyarakat sipil, Ketum PBNU, Said Aqil Siradj (SAS) setuju, asalkan PS sesuai kondisi dan kepentingan lokal. Sebaliknya, Ketum Muhammadiyah, Haedar Nasir (HN), walaupun tidak secara eksplisit menolak PS, tetapi beliau mengkritisi praktiknya selama ini. Mantan Ketua MK, Prof. Mahfud MD, menolak dengan tegas. Beliau menyatakan bahwa pembentukan Perda-perda Syariah adalah kesia-siaan.

Pandangan Ketum Muhammadiyah, HN, bagi saya sangat menarik. Beliau mengatakan pada 2013 bahwa "ada banyak kebijakan yang tertuang dalam bentuk peraturan-peraturan daerah (perda) syariah yang mengandung unsur-unsur diskriminatif bahkan mendorong terciptanya kekerasan di wilayah publik." Selanjutnya, masih menurut HN, "yang menjadi keprihatinan, perda-perda tersebut telah memunculkan diskriminasi, intoleransi, dan bahkan kekerasan yang semakin menjadi-jadi dalam kehidupan sosial-politik, yang lambat laun merobek rajutan kebhinekaan yang telah teranyam rapi selama ini." (Lihat tautan di bawah)

Sebagai seorang Gusdurian, saya lebih menyetujui pandangan dan sikap HN dalam soal keberadaan PS tsb. Ini ironis, karena seharusnya SAS, yang notabene berlatarbelakang NU dan dikenal dekat dengan almaghfurlah GD, justru malah menyetujui PS. Tetapi hal seperti itu bukan mustahil, karena adanya kepentingan atau agenda tertentu.

Bagaimana dengan PKB? Saya mengutip pernyataan salah seorang Ketuanya, Abdul Kadir Karding (AAK), yang menyebut bahwa pihaknya "tak ambil pusing" dengan polemik tentang PS. AAK juga menyatakan, "semua peraturan atau kebijakan sah, selama tidak bertentangan dengan mekanisme yang ada." Masih menurut beliau, "mencantumkan embel-embel Syariah atau tidak, tak jadi soal."
Dan dari sisi agama, "yang dibutuhkan itu bukan formalitas, misalnya, harus negara Islam, atau Perda harus disebut Perda Syariah misalnya, tidak perlu,"

Hemat saya, melihat masalah Perda Syariah hanya dari kepentingan dan kondisi lokal, seperti yang dikatakan SAS, sangat tidak cukup dan menunjukkan kegagalan memahami persoalan yang sangat fundamental terkait relasi agama dan Negara di Indonesia. Sebab apa yang disebut SAS dg "kepentingan lokal" itu, bisa saja bertabrakan secara fundamental dengan kepentingan yang lebih mendasar secara nasional dan strategis dan terkait dengan keberlangsungan sistem demokrasi di negeri ini.

Fenomen PS ini menunjukkan bahwa bangkitnya politik identitas, sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, bukan hal yang sepele. PS adalah salah satu ekspressi dan perwujudan dari aspirasi primordialisme dan sektarianisme dalam pepolitikan nasional pasca-reformasi. Kegagalan memahami adanya persoalan fundamental oleh sebagian elit politik dan parpol serta organisasi masyarakat sipil di negeri ini adalah sebuah indikasi bahwa demokrasi kia masih sangat ringkih fondasinya.

PS jelas akan menjadi salah satu "dagangan" politik utk mendulang suara pada Pileg dan Pilpres 2019. Parpol2 dan organisasi masyarakat sipil pendukungnya akan menangguk suara dengan menjajakannya dalam kampanye. Dalam konstelasi masyarakat dan politik saat ini, dagangan ini bisa jadi akan laku. Di negara-negara maju seperti AS dan Eropa pun politik berbasis identitas tsb kini menjadi tren. Namun implikasinya akan sangat serius (dalam arti negatif), bukan saja bagi proses konsolidasi demokrasi ke depan di negeri kita, tetapi juga keberlangsungan negara kita.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS