Sepintas lalu kasus-kasus seperti himbauan MUI Jatim kepada para pejabat Muslim agar tidak mengucapkan salam lintas-agama (SAL) dan penghentian upacara Piodalan di Mangir, Bantul, Jogja, tidak ada kaitan sama sekali. Mereka adalah dua kasus yang berbeda baik konten/substansi maupun lokasinya. Tetapi jika dipahami dengan pemahaman 'intertekstualitas hermenutika,' kaitan itu sejatinya bisa ditemukan.
Keterkaitan yang bisa didapatkan adalah bahwa kedua kasus tsb merupakan representasi dari menguatnya intoleransi akibat suasana kekhawatiran, kecemasan (anxiety) dan ketakutan (fear) dalam jiwa dari kelompok tertentu di masyarakat kita. Kecemasan dan ketakutan tsb adlh akibat dari kegagalan mereka utk menjadi bagian dari komunitas yang bhineka.
Mereka menggunakan identitas dan klaim otentisitas serta kebenaran sebagai topeng utk menyembunyikan kecemasan & ketakutan. Dan karena mrk kebetulan dalam posisi sebagai pemilik sumberdaya, kadangkala sikap-sikap dan tindakan kekerasan dan atau pemaksaan pun dilakukan.
Tafsir agama menjadi sumberdaya yang mudah utk digunakan. Melalui tafsir ajaran agama, diciptakanlah manuver-manuver garang dan keras untuk melindungi identitas dan klaim otentisitas mereka. Padahal sejatinya yang ingin dicapai adalah melindungi diri dari kecemasan dan ketakutan mereka sendiri.
Tak pelak, pendidikan publik tentang kebhinekaan menjadi wahana penting untuk proses pemulihan dan penyembuhan kecemasan dan ketakutan sosial ini. Bukan saling ancam atau pembalasan dg kekerasan. Kita harus mengakui bahwa sebagian dari anggota masyarakat Indonesia sedang menderita sakit. Diperlukan penyembuhan dengan pendekatan budaya dan keadaban. IMHO
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment