Tuesday, April 20, 2021

VAKSINASI & KELAS SOSIAL


Vaksinasi yang sedang digeber Pemerintah untuk mengatasi Covid-19 perlu diapresiasi, didukung, dan tentu saja, disosialisasikan dengan baik. Nah bagian yg terakhir itulah yang belakangan  menjadi perkara penting untuk diperhatikan. Segala macam informasi, baik yang bagus, setengah bagus, agak bagus, maupun yang tidak bagus, tentang vaksinasi tsb bertebaran terutama di jagad maya. Dan saya yakin, penyebaran informasi itu tidak semua berdampak positif bagi upaya Pemerintah di atas atau upaya penaggulangan pandemi Covid-19 secara keseluruhan.

Saya termasuk manula yang sudah mendapat vaksinasi dua kali dan tentunya harus bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada Negara dan Pemerintah. Tetapi saya juga warganegara yang merasa bertanggungjawab terhadap suksesnya program vaksinasi tsb melampaui kepentingan saya pribadi dan keluarga. Sebab pada akhirnya harus disadari bahwa virus Covid-19 dan pandemi yang ditimbulkannya adalah sebuah bencana yg bukan pilih-pilih; ia adalah sebuah peristiwa global yang berdampak sistemik dan mampu mengubah seluruh pola kehidupan dan tatanan masyarakat.

Karenanya, soal vaksinansi bukan hanya urusan Pemerintah doang atau aparat-aparatnya yang terkait dalam ihwal pemberantasan dan penanggulangan pandemi ini. Ia juga masalah kita bersama, pribadi maupun kolektif. Dengan demikian wacana dan praksis vaksinasi juga mesti melibatkan seluruh aspek kehidupan; dan yang ingin saya singgung dalam status ini adalah kaitannya dengan kelas sosial.

Ini bukan sebuah renungan atau analisis akademis, tetapi pengalaman hidup sehari-hari. Yakni bahwa kendati vaksinasi adalah upaya penting, mulia, dan sangat terpuji, namun dalam kenyataannya ia harus dilaksankan dan diterapkan dengan tetap menyadari kondisi masyarakat yang menjadi sasaran. Dengan kata lain, program vaksinasi hanya akan efektif jika para petugas dan penerima memiliki kesepahaman dan saling percaya. Target "Herd immunity", yang disepakati akan terjadi jika 70% penduduk sebuah negara telah tervaksinasi, hanya mungkin tercapai jika para peserta juga memiliki rasa percaya (trust) terhadap program tsb., di samping adanya ketersediaan vaksin yang cukup.

Kita umumnya  terbiasa menganggap bahwa jika vaksinasi Covid-19 akan diberikan kepada kita, maka kita akan merasa lega dan berharap segera mendapat jadwal atau giliran disuntik di Puskesmas atau di manapun tempat yang disediakan. Jarang atau tak lazim kita menyadari bahwa soalnya tak sesederhana itu. Sebab ternyata tidak semua orang dalam kelas sosial yang berbeda akan bersikap antisipatif dan bahkan gembira seperti yang, misalnya, saya alami.

Pengalaman isteri saya (I) yang sering ngobrol dengan para tetangga menjadi pelajaran penting dalam hal ini. Suatu hari ia bertemu salah sorang tetangga (sebutlah Empok B) yang kebetulan seorang penjual sayur-sayuran. Sambil memilih-milih sayuran yang akan dibeli, istri saya mengajak ngobrol beliau:

I : "Mpok sudah dapat panggilan giliran divaksin?"
B: "Sudah Bu"
I: "Asyik, udah yang kedua kali atau baru sekali, kayak saya?"
B: "Enggak Bu, saya gak mau datang divaksin."
I (heran): "Lho kok, kan mPok sangat beruntung bisa dapat panggilan vaksinasi? Banyak yang belum dapat lho."
B: "Biarin Bu, saya gak mau. Kalau dipaksa vaksinasi ya lari aja nanti.."
I (makin heran): "Kenapa? Wong gak sakit ini. Saya baru kemarin sama Bapak juga divaksinasi yang pertama."
B: "Beda Bu."
I (kaget): "Beda bagaimana wong saya juga ke Puskesmas dan dapat panggilan lewat daring dari kantor Pak RT."
B: "Ah Ibu kayak gak tahu saja. Itu vaksinnya yang dikasi ke Ibu dan Bapak beda dengan yang akan dikasi ke saya. Resikonya beda Bu. Saya kan masih menanggung anak-anak dan gak punya uang banyak. Kalau malah sakit gimana? Siapa yang tanggung jawab?"
I: "Siapa bilang vaksinnya beda-beda Mpok?"
B: "Saya takut aja Bu, kalau kabar-kabar itu benar bahwa vaksin yg diberikan ada yang untuk orang atas dan orang bawah kayak saya. Mendingan saya gak datang aja lah.. Ogah..!"

Tentu saja ini hanya satu kasus di antara para tetangga saya (yang kebetulan memang kelas sosialnya bervariasi). Tetapi jangan-jangan kasus yang mirip juga ada di masyarakat lain di Indonesia. Dan ini adalah fakta yang perlu dicermati. Yaitu bahwa vaksinasi yang sangat penting dan mulia tsb ternyata dimakmai berbeda secara sosial, termasuk secara kelas sosial. Inilah pentingnya sosialisasi, penerangan dan penyebarluasan informasi yang benar dan efektif.

Saya khawatir model Mpok B yang enggan, menolak, dan kalau perlu lari dari vaksinasi ini berjumlah cukup besar dan, pada gilirannya, akan memengaruhi target "herd immunity" yang dipatok oleh Pemerintah. Dan ini baru salah satu kasus yang berkaitan dengan kelas sosial, yaitu kepercayaan (trust) dan informasi yang tepat. Bagi anggota masyarakat seperti saya, barangkali aneh kalau ada orang menolak vaksinasi. Tetapi bagi Mpok B, menolak vaksinasi juga sebuah pilihan "rasional", karena soal trust yang rendah dan ditambah informasi yang tak jelas. Bagi beliau melanjutkan aktivitas keseharian seperti biasa adalah pilihan yang lebih penting ketimbang ikut vaksinasi tapi diiringi keragu-raguan.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS