Thursday, September 2, 2021

VAKSIN NUSANTARA DAN KONTROVERSINYA: SEBUAH PENJELASAN

Oleh Lily Hikam*)

Dalam sebuah artikel berjudul “WHO Jadikan Terbitnya Jurnal Vaskin [Sic] Nusantara di Cliniccaltrialis.gov [Sic] sebagai Rujukan,” [1] terdapat kritik atas tulisan yang pernah saya posting sebelumnya, berjudul “Vaksin Nusantara: A Look from a Concerned Scientist”.[2] Tulisan saya pada intinya berpandangan bahwa VN BUKAN vaksin
terbaik
untuk tujuan Indonesia mencapai herd immunity (imunitas kelompok) terhadap Covid-19. Dalam artikel berbahasa Inggris itu, saya mencoba menjelaskan berbagai argumen dari perspektif keilmuan. Saya semula menganggap argumentasi saya, dan sebagai sebuah opini dari seorang saintis, sudah cukup jelas. Tetapi tampaknya saya keliru.
Akhir-akhir ini bermunculan komentar miring yang ditujukan kepada pihak-pihak yang kritis terhadap VN. Perbedaan pendapat dan kritik tentu saja tak masalah, apalagi jika pendapat dan kritik tersebut memiliki argumentasi yang valid dan berdasar fakta yang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan. Dalam konteks berpikir itulah saya merasa terpanggil untuk menjawab kritik yang distortif yang, pada hemat saya, bisa menciptakan pemahaman publik yang keliru.
Setidaknya ada tiga hal yang dikemukakan dalam artikel tsb: Pertama, VN telah membuktikan nilai dan kemanjurannya karena terdaftar di situs web publik clinicaltrials.gov. Kedua, menurut narsum artikel tsb, kita tidak boleh terlalu kritis (dan ini khusus merujuk pada artikel saya) tentang karya ilmiah sesama warganegara. Ketiga, narsum artikel tsb berpendapat bahwa karena sudah banyak figur publik yang menggunakan VN dan tampaknya baik-baik saja, maka hal itu dianggapnya sebagai BUKTI bahwa VN lebih baik daripada vaksin COVID-19 lainnya, yang banyak efek sampingnya.
Dalam tulisan ini saya akan memberikan tanggapan balik dan penjelasan, khususnya terhadap 3 (tiga) hal di atas:
1. Pendapat bahwa VN sudah terbukti khasiatnya karena telah terdaftar di situs publik clinicaltrials.gov
Situs clinicaltrials.gov adalah sebuah situs web publik yang dikelola oleh Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika Serikat (The US National Library of Medicine, NLM) dan hanya berfungsi sebagai sumber dan basis data bagi para pasien dan peneliti untuk menelusuri dan mencari uji klinis apa pun yang tersedia. (“… provides patients, their family members, health care professionals, researchers, and the public with easy access to information on publicly and privately supported clinical studies on a wide range of diseases and conditions.”) [3] Siapa pun dapat membuat akun dan mendaftar uji klinis mereka yang dilakukan dari mana saja di dunia di situs web tsb.
Karena itu sangat penting untuk dicatat bahwa walaupun sebuah uji klinis telah terdaftar di sana, tidak berarti bahwa uji klinis tersebut TELAH DIEVALUASI atau DIDUKUNG oleh badan pengawas seperti FDA (Federal Drug Administration, AS), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan, Indonesia), EMA (European Medicines Agency), dll. Pendaftaran dan pengumuman tentang adanya uji klinis di clinicaltrials.gov itu, statusnya kira-kira mirip dengan jika Anda mendaftarkan barang untuk dijual di grup Facebook atau memposting sesuatu di situs web Kaskus. Artinya, memiliki studi klinis yang terdaftar di clinicaltrials.gov BUKAN berarti uji coba itu sudah disetujui, didukung, atau bahkan masuk akal secara ilmiah. Pendaftaran di situs tsb, tak lebih dan tak kurang, adalah cara untuk memberi tahu publik tentang penelitian yang Anda lakukan.
2. Pendapat bahwa kita tidak boleh terlalu kritis tentang karya ilmiah sesama warganegara.
Pandangan ini, hemat saya, bisa menjadi salah satu indikasi bahwa si narsum tsb mungkin belum pernah mencoba menerbitkan makalah peer-review. Mengapa demikian? Sederhana saja: Para ilmuwan yang memang layak menyandang sebutan demikian, rasanya malah tidak TAHU bagaimana caranya untuk bersikap tidak kritis, termasuk terhadap studi mereka sendiri. Sikap kritis pada dasarnya sudah menjadi “asam dan garam” atau dalam istilah lain “bread and butter” bagi profesi akademik. Pandangan dan kritik saya terhadap VN sama sekali tidak ada hubungannya dengan bagaimana VN dibuat atau dikembangkan orang dari Indonesia (walaupun nyatanya kemudian terungkap bahwa teknologi di balik VN dipelopori oleh perusahaan bioteknologi di Amerika).
Argumentasi kritik saya lebih berkaitan dengan prosedur dan proses pembuatan vaksin yang TIDAK mengikuti standar internasional. Misalnya, saya menganggap bahwa hampir tidak ada data pra-klinis, apalagi data klinis, yang menunjukkan keamanan dan kemanjuran vaksin tsb. Yang ada adalah fakta bahwa VN telah diberikan kepada beberapa individu (terkenal). Menurut pendapat saya, praktik seperti itu berpotensi merusak seluruh metode ilmiah pengembangan obat dan uji klinis, serta penelitian yang dirancang dan dikembangkan untuk memastikan bahwa obat yang akan digunakan oleh masyarakat tsb aman dan berkhasiat.
Nah, alih-alih menanggapi kritik atas lemahnya validitas ilmiah VN dengan argumentasi ilmiah, artikel tsb justru cenderung menuduh pihak-pihak yang mempertanyakan VN seakan menentang karya-karya ilmiah ilmuwan Indonesia. Menurut pandangan saya, sikap tsb telah memolitisasi masalah. Ini pada gilirannya telah mengalihkan semua diskusi dari sains menjadi debat yang bernuansa chauvinisme nasionalistik!.
Sampai tingkat tertentu saya sangat memahami adanya keinginan untuk memiliki vaksin buatan dan dikembangkan oleh para ilmuwan Indonesia sendiri. Di negara-negara seperti China, India, dan Iran telah berhasil atau sedang mengembangkan vaksin buatan sendiri. Bahkan Kuba, negara yang telah mengalami lebih dari 60 tahun blokade ekonomi AS, berhasil memproduksi tidak kurang dari 5 (lima) kandidat vaksin COVID-19. Tetapi model jalan pintas bukanlah cara yang pas untuk digunakan.
Belum lagi kita juga tahu bahwa Indonesia sedang mengembangkan vaksin Covid-19 buatan sendiri yang diberi nama Vaksin Merah Putih (VMP). Karena VMP masih dalam fase uji klinis, maka ia belum tersedia untuk digunakan dan, karenanya, mungkin banyak orang lupa bahwa satu kandidat vaksin yang dikembangkan anak bangsa Indonesia itu benar-benar nyata adanya!. Dan VMP adalah vaksin yang sedang dikembangkan menggunakan metode penelitian yang ketat dan ilmiah. VMP juga akan melalui fase pra-klinis dan studi klinis yang tepat untuk memastikannya aman digunakan dan punya evikasi tinggi melawan COVID-19. Bukan lewat jalan pintas!
Lalu mengapa VMP mengalami kelambatan dalam proses pengembangan? Jawabnya: Karena kondisi keterbelakangan (underdevelopment) penelitian dan pengembangan ilmiah di negara kita. Penelitian kita kekurangan dana, sangat bergantung pada importasi reagen, peralatan dan bahan serta terkendala pada birokrasi yang berbelit-belit. Dalam pandangan pribadi saya, seandainya ada perkara yang pantas membuat kita marah, itu adalah pengabaian terhadap penelitian dan pengembangan biomedis di negara kita, sehingga dalam situasi sulit seperti pandemi kita tidak dapat mengembangkan vaksin secara mandiri dan membuat kita terpuruk dalam situasi saat ini.
3. Pendapat bahwa sudah banyak figur publik yang menggunakan VN dan sepertinya baik-baik saja. Jadi bisa dijadikan bukti bahwa VN lebih baik dari vaksin COVID-19 lainnya yang banyak efek sampingnya.
Bagian ini adalah “favorit” (!) saya dari artikel tsb, karena klaim bahwa testimoni dan anekdot diangkat statusnya seolah-olah sama derajatnya dengan data ilmiah. Jika asumsi itu dianggap valid, maka semua obat atau ramuan akan dengan gampang disetujui Lembaga-lembaga pegawas obat-obatan seperti BPOM, FDA dan EMA!. Saya hanya ingin menekankan bahwa testimoni tentang terapi yang belum terbukti, terlepas apakah dinyatakan oleh mantan Menteri, seorang Jenderal, anggota boyband favorit Anda, dsb., tidak sama status ilmiahnya dengan pengamatan yang diperoleh melalui observasi yang dikontrol secara klinis, yang telah dirancang untuk mengurangi bias dan faktor perancu. Testimonial, umumnya, tidak diterima sebagai titik data.
Masih terkait dengan ini adalah klaim bahwa VN tidak memberikan efek samping sehingga dianggap sebagai bukti bahwa ia lebih baik daripada vaksin COVID-19 lainnya. Secara imunologi, efek samping yang Anda alami setelah vaksinasi adalah salah satu indikasi atau tanda bahwa vaksin tersebut menimbulkan respons imun dari tubuh Anda, yang berarti tubuh Anda juga membangun kekebalan terhadap patogen. Itu sebabnya pada vaksin COVID-19 terdapat tingkat keparahan efek samping yang bervariasi, mulai dari tidak ada efek sama sekali, hingga sakit kepala ringan, nyeri lengan, kelelahan dan demam, sampai efek samping paling parah biasanya diakibatkan oleh vaksin berbasis mRNA, seperti vaksin-vaksin Pfizer & Moderna. Oleh karena itu, vaksin-vaksin tersebut terbukti memiliki tingkat evikasi tinggi melawan COVID-19.
Pertanyaan yang mengusik adalah, jika menggunakan logika yang sama, karena VN tampaknya tidak memiliki efek samping apa pun, apakah itu berarti ia gagal mendapatkan respons imun dari pasien, dan tidak bekerja membangun kekebalan terhadap COVID-19? Saya kira hanya uji klinis yang akan mampu memberi tahu dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Dan bukan testimoni dan anekdot.
Sebenarnya masih banyak hal yang bisa saya bantah dalam artikel itu, seperti klaim dapat membuat 10 juta dosis pesanan VN. Klaim ini juga tidak masuk akal karena VN diberikan secara autologus (dari pasien ke pasien yang sama), sehingga tidak dapat diproduksi secara massal. Dengan lain perkataan, produksi massal bertentangan dengan seluruh konsep autologus.
Sambil lalu, salah satu Lembaga yang paling gencar dikritik adalah BPOM yang dituding sebagai penghalang atau penghambat VN. Saya kira kritik ini juga kurang bijak. Sebab, setahu saya, BPOM telah mencapai kesepakatan dengan Kemenkes RI untuk memberikan status “research-based service” yang berarti bahwa produksi dan penyelenggaraan VN tetap diizinkan di bawah pengawasan Kemenkes tetapi hanya jika ada permintaan dari pasien. [4] Jadi semacam layanan vaksin pribadi sesuai permintaan bagi mereka yang tertarik dan, tentu saja, mampu membayar. BPOM, menurut hemat saya, bukan jadi menghambat apalagi menghalangi riset dan pengembangan VN.
Semoga jawaban/ penjelasan ini adalah yang terakhir dari saya tentang kontoversi VN. Kalau bisa jangan sampai urusan ini malah menjadi “pekerjaan penuh waktu” saya. Soalnya saya sudah memiliki pekerjaan yang lebih saya sukai daripada mengomentari VN. Terimakasih.

Rujukan:

[1]. http://share.babe.news/al/TNYvRbpRTR

[2]. https://www.infid.org/news/read/vaksin-nusantara-look-concerned-scientistUntuk versi bahasa Indonesia artikel ini lihat: https://indonews.id/artikel/317275/Vaksin-Nusantara-Sebuah-Pencermatan-dari-Seorang-Saintis/

[3]. https://clinicaltrials.gov/ct2/about-site/background

[4]. https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenkes-tegaskan-vaksin-nusantara-bersifat-individual-tak-bisa-dikomersilkan.html

*) PhD in Biomedical Science, University of California at Irvine, USA; INFID Research Fellow, Jakarta.



Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS