Friday, April 18, 2008

KONSOLIDASI DEMOKRASI, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SIPIL DAN POLITIK ANTI-KEKERASAN

I

Proses reformasi yang sedang bergulir selama kurun waktu beberapa tahun terakhir ini ditengarai masih belum menunjukkan tanda-tanda akan terjadinya konsolidasi demokrasi sebagaimana yang dikehendaki oleh para pekerja dan pendamba demokrasi. Bahkan jika dilihat dari dinamika politik nasional setelah hampir satu dasawarsa, ada kecenderungan akan kembalinya kekuatan anti demokrasi yang ternyata berhasil melakukan pemulihan dan pemberdayaan kembali. Ironisnya, dalam proses tersebut kekuatan anti demokrasi tadi justru dengan lihay telah menggunakan berbagai wahana dan lembaga demokrasi yang tekah dihasilkan oleh kelompok pro-reformasi. Berbagai indikasi dapat disebutkan di sini. Yang paling mencolok, umpamanya, adalah gejala pulihnya politisasi militer dan militerisasi politik dalam wacana dan kiprah politik yang mencapai puncaknya ketika pergolakan elit politik meledak yang salah satu hasilny adalah kejatuhan pemerintahan Gus Dur pada 2001. Adalah suatu hal yang lumrah jika elite politik militer (kendati setelah reformasi berlangsung)mendapat perolehan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan baru sebagai trade-off politik. Namun masalahnya bukanlah cuma berhenti sampai di situ. Yang lebih signifikan lagi, dalam wacana dan praktik politik beberapa tahun terakhir, kehadiran kembali militer dalam politik bukan saja dianggap sebagai sesuatu yang "normal," bahkan seakan-akan sine qua non. Lihat saja bagaimana partai-partai besar berlomba mengajukan calon-calon untuk memperebutkan kusri Gubernur, Bupati, dan Walikota dari kaum militer (manatan atau pun aktif). Dalam dunia kecendekiawanan, cukup banyak para pengamat politik yang dulu dikenal oleh publik sebagai pengeritik politisasi militer tetapi, entah kenapa, lantas berubah seratus delapanpuluh derajat menjadi pendukung tesis perlunya militer masuk kembali dalam kancah perpolitikan seperti sebelumnya!

Secara gradual namun substantif, dinamika politik negeri ini juga menyaksikan adanya pembalikan arah dari demokratisasi menuju otoritarianisme baru (new authoritarianism). Indikasinya bisa dilihat dari, misalnya, peringkat Indonesia dalam perkara perlindungan terhadap pers. Kalau pada masa Presiden-Presiden Habibie dan Gus Dur Indonesia berada dalam peringkat atas dalam soal kebebasan pers (malah dianggap sebagai negara paling bebas di dunia), maka pada kurun waktu lima tahun terakhir peringkat Indonesia menurun. Th 2004 Indonesia berada pada peringkat 117 dari 167 negara, dan tahun 2007 ke 100 dari 169 negara, menurut Reporters sans Frontiers. Demikian pula, salah satu gejala dari kembalinya militerisme dalam politik yang segera tampak adalah digunakannya tindakan-tindakan represif dan maraknya kekerasan yang ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang mengarah pada konsolidasi demokrasi, termasuk di antaranya mulai diberlakukannya pengekangan hak untuk berbicara di berbagai daerah, dan tindakan kekerasan aparat terhadap warganegara yang ingin menyampaikan aspirasi mereka. Kasus oknum-oknum Marinir yang melakukan kekrasan terhadap penduduk Alas Tlogo, Pasuruan dan kejadian yang menimpa para penarik beca di Jakarta beberapa waktu lalu hanyalah beberapa contoh yang dapat diajukan.

Pemunculan kembali politisasi militer dan militerisasi politik dalam blantika politik paska reformasi tentu akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan konsolidasi demokrasi yang masih dalam tahapan awal setelah jatuhnya Orba. Fenomena ini mengandung suatu ancaman terhadap kelanjutan proses pemberdayaan masyarakat sipil (civil society empowerment) yang merupakan sebuah elemen terpenting di dalam proses tersebut. Bila kita cermati pengalaman negara-negara yang pernah menjalani hal yang serupa, maka salah satu indikator yang sangat menentukan sukses atau tidaknya konsolidasi demokrasi adalah sejauhmana masyarakat sipil di negara tersebut mampu melakukan pemberdayaan atas dirinya. Hal ini wajar saja karena di bawah rezim otoriter, masyarakat sipil adalah menjadi target utama dan sekaligus korban utama penindasan negara yang menganggapnya menjadi pesaing bagi survival dan mobilisasi kekuatannya. Dalam varian negara otoriter korporatis seperti Indonesia di bawah Orba, kendatipun masyarakat sipil tidak sampai mengalami nasib sebagaimana di negara-negara komunis totaliter, tetapi setidaknya ia telah menjadi sangat lemah akibat politik pembonsaian pada tataran kelembagaan dan hegemoni pada tingkat ideologis.

Oleh sebab itu, konsolidasi demokrasi di negara-negara paska otoriter pada umumnya dapat dikatakan sebagai proses panjang revitalisasi dan pemberdayaan masyarakat sipil. Mengapa demikian? Sebab hanya dengan munculnya masyarakat sipil yang kuat dan otonom lah dapat diharapkan pemunculan sebuah sistem politik demokratis yang kinerjanya dapat diandalkan. Dari sebuah masyarakat sipil yang sehat itulah maka proses-proses politik yang sejati (genuine) dan bermakna (meaningful), yaitu suatu politik yang berbasis pada kewarganegaraan (citizenship politics) dapat terlaksana secara optimal. Pemberdayaan yang saya maksud di sini mengandung suatu proses demokratisasi internal di dalam organisasi masyarakat sipil (OMS), bukan hanya pemberdayaan fisik dan jumlah belaka. Hanya  suatu masyarakat sipil yang memiliki komitmen demokrasi baik dalam gagasan maupun praksis saja yang bisa menjadi soko guru sebuah sistem politik demokratis yang efektif.

Suatu proses konsolidasi demokrasi tidak mungkin berjalan dengan baik manakala masyarakat sipil tetap stagnan atau tidak menunjukkan tanda-tanda adanya pemberdayaan (empowerment) secara optimal setelah tumbangnya sebuah rezim otoriter. Malahan apabila kekuatan-kekuatan pendukung otoriterisme ternyata muncul kembali, maka pemberdayaan masyarakat sipil akan mengalami suatu tantangan yang berat. Umumnya ketika eforia politik setelah jatuhnya rezim otoriter mulai mengendur dan padam, kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat, tak terkecuali anggota kelas menengah, cenderung mudah terkooptasi kembali oleh kekuasaan atau, sekurang-kurangnya, mudah tergoda oleh status quo atas nama stabilitas. Godaan untuk menengok ke belakang terhadap "kesuksesan" masa lalu mudah sekali muncul. Kalau toh kemudian terdapat elemen-elemen dalam masyarakat sipil yang tetap “ngotot” memperjuangkan konsolidasi demokrasi, mereka harus berhadapan dengan ancaman represi sehingga boleh jadi mereka dipaksa untuk retreat (mundur) atau berjuang kembali dari titik awal. Apa yang kita lihat saat ini di kalangan aktifis pro demokrasi, LSM, dan sebagian politisi adalah terjadi kelesuan dalam meneruskan konsolidasi demokrasi disebabkan oleh telah mengaburnya momentum dan semakin banyaknya komponen-komponen pro demokrasi yang terkooptasi atau telah mengalami semacam kejenuhan atau kelelahan politik (political fatigue)!.

II

Jika kita cermati secara seksama apa yang terjadi dalam arena politik di Indonesia selama kurun waktu hampir sepuluh tahun terakhir dikaitkan dengan momentum bagi konsolidasi demnokrasi, maka sejatinya terdapat peluang cukup besar bagi komponen-komponen masyarakat sipil untuk dengan segera melakukan pemberdayaan. Jatuhnya Orba telah mengakibatkan terbukanya ruang-ruang publik yang bebas, dihilangkannya pembatasan-pembatasan atas hak-hak dasar seperti untuk berbicara, berkumpul dan berserikat. Sementara itu, maraknya kegairahan terhadap penggunaan kebebasan (walaupun kadang-kadang berlebihan dan cenderung menjadi histeria politik) sejatinya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong upaya pemberdayaan tersebut. Masyarakat sipil di negeri ini juga seharusnya dapat mempergunakan situasi transisi selama kurun waktu ini untuk mempercepat dan memerkuat diri melalui pengembangan modal sosial (social capital building) yang merupakan prasyarat utama untuk revitalisasi masyarakat sipil secara menyeluruh. Sebab, dengan tumbangnya rezim otoriter, elemen-elemen dalam masyarakat sipil lantas memiliki kesempatan untuk menjalin kembali hubungan-hubungan dan jejaring sosial baru yang lebih terbuka dan transparan berdasarkan kepercayaan (trust), baik antar OMS maupun dengan masyarakat politik (MP) seperti parpol. Keterbukaan yang tersedia juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan konsensus-konsesus baru, termasuk dalam bidang politik, melalui wacana publik yang bebas dan substantif.

Sayang sekali, alih-alih momentum seperti itu dimanfaatkan justru yang kita saksikan adalah sebuah gejala pemubadziran yang luar biasa. Adalah menyedihkan jika kita harus menyaksikan bagaimana bangsa ini untuk kesekian kalinya telah menyia-nyiakan momentum emas yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh para pahlawan reformasi. Berbeda dengan Jerman (Timur), Ceko, Polandia, Rusia, Korsel, dan Taiwan di penghujung delapanpuluhan ketika kaum pro demokrasi di negara-negara tersebut menumbangkan rezim totaliter dan otoriter dan disusul dengan memanfaatkan momentum yang tersedia bagi sebuah proses konsolidasi demokrasi melalui pemberdayaan masyarakat sipil secara optimal. Di negeri kita yang justru terjadi adalah keasyikan kaum elit dalam mengejar kepentingan sesaat yang kemudian dilengkapi dengan maraknya konflik-konflik horizontal dan tindak kekerasan dalam skala massif. Kekerasan yang dipergunakan dalam konflik-konflik tersebut begitu dahsyat sehingga ada yang menganggap Indonesia merupakan salah satu pusat penggelaran kekerasan di dunia.

Intensitas dan kualitas kekerasan yang terjadi pada konflik-konflik mulai dari Aceh (sebelum Tsunami), Ambon, Sambas, Sampit, Papua sampai Poso, menurut para pakar barangkali sejajar, kalau tak lebih dahsyat, dari intensitas dan kualitas kekerasan yang pernah terjadi di Kamboja, Bosnia, Serbia, dll. Kendatipun pemerintah dengan dibantu oleh pasukan TNI dan Polri telah mencoba melakukan upaya peredaman dan penjeraan, dengan korban di pihak mereka yang juga tidak sedikit, tetapi eskalasi konflik dan kekerasan masih belum dapat di kontrol dengan baik sampai sekarang. Kendati masalah Aceh, Maluku dan Poso bisa dikatakan telah berhasil dikendalikan, namun kita masih belum bisa terlalu yakin bahwa suatu backlash tidak mungkin terjadi di daerah-daerah itu. Tindak kekerasan seperti terorisme di kota-kota (urban terrorism) yang pernah marak pada 2001 sampai 2003 masih terbuka seperti yang kita saksikan dalam berbagai kasus ancaman terorisme di beberapa kota.

Maka herankah kita jika bangsa-bangsa lain pada hari-hari ini sedang sibuk melaksanakan revitalisasi dan recovery di segala bidang, termasuk konsolidasi demokrasi, maka bangsa Indonesia jangan-jangan malah sedang melangkah menuju konsolidasi rezim otoriter baru!. Bukti-bukti dari kesimpulan ini bisa dilihat, misalnya, pada kenyataan bahwa upaya-upaya untuk menata ulang negara agar menjadikan dirinya sebagai fasilitator dan promotor bagi kiprah masyarakat, kini terancam bubar. Ada gejala kembalinya negara dominan (dominant state) seperti sebalum reformasi. Langkah ke arah ini tampak pada konsolidasi dan mobilisasi kekuasaan yang dilakukan oleh birokrasi negara. Dengan penuh percaya diri, sang manajer birokrat mengatakan bahwa kantornya akan dibuat sangat kuat sambil menolak tuduhan bahwa kantor tersebut selama ini adalah negara dalam negara. Demikian juga, dihidupkannya kementerian yang akan memiliki fungsi kontrol terhadap arus informasi dalam masyarakat juga bisa mengarah kepada dominasi dan hegemoni negara. Belum lagi beberapa UU yang dikritisi oleh pihak masyarakat sipil karena memiliki potensi mendorong reformasi ke belakang (seperti UU ITE dan UU KPI akhir-akhir ini). Oleh sebab itu, bukan suatu hal yang tidak mungkin pula di masa yang akan datang, lembaga-lembaga kontrol politik sebagaimana pernah dibuat oleh rezim Orba akan dihidupkan, kendati dengan nama yang berbeda-beda.

Jika di negara-negara lain masyarakat sipil telah mengalami pemberdayaan, maka sebaliknya kondisi masyarakat sipil di Indonesia sampai saat ini masih tetap relatif ringkih karena kebanyakan OMS belum dapat menghilangkan permasalahan fundamental yang sama dengan sebelum reformasi, yaitu problem struktural dan kuatnya politik identitas. Yang pertama adalah masih bercokolnya warisan rezim otoriter berupa sistem politik yang sentralistik dan keterpurukan di bidang ekonomi yang menyebabkan munculnya disparitas yang sangat tajam dalam masyarakat. Bagaimanapun juga masyarakat sipil yang kuat memerlukan suatu basis ekonomi yang cukup memadai dan kelas menengah yang mandiri. Selain itu, sistem politik yang belum lepas dari kecenderungan sentralistik, masih berpeluang menghalangi kemandirian masyarakat sipil. Proses reformasi baru berhasil pada tahapan membuka "daftar cucian" masalah struktural ini, belum memecahkannya secara signifikan. Yang paling menonjol dan mendasar, antara lain, adalah masih belum terjadinya reformasi parpol sebagai penyangga dan motor sistem demokrasi dan masih lemahnya pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia  pada ketiga cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan judikatif); kesenjangan antara pusat dan daerah, Jawa dan luar Jawa, Indonesia bagian Timur dan bagian Barat. Seterusnya, kelemahan manajemen pemerintahan baik di pusat maupun di daerah di era reformasi ditambah lagi dengan eforia politik di masyarakat, telah membuka peluang bagi anggota masyarakat yang selama ini merasa tertindas untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan-tuntutannya. Akumulasi persoalan yang terpendam dan langkanya saluran yang efektif serta tersendatnya penyelesaian permasalahan yang mendesak telah memicu timbulnya kemarahan kolektif dan konflik-konflik horizontal.

Kondisi struktural tersebut di atas diperburuk dengan gejala kembalinya primordialisme dalam wacana dan praksis sosial dan politik paska reformasi. Lenyapnya hegemoni negara sebagaimana yang terjadi pada rezim Orba memang telah membuka belenggu yang selama ini menelikung rakyat. Tapi ia juga membuka peluang bagi berbagai identitas (etnis, agama, dan ras) untuk mengambil peran sebagai menjadi acuan terpenting serta pemberi keabsahan maknawi bagi artikulasi kepentingan. Hal ini disebabkan karena primordialisme menawarkan diri menjadi menjadi alat mobilisasi sumberdaya, baik politik maupun massa, yang lumayan ampuh, sekurang-kuranya dalam jangka pendek. Mobilisasi politik tampaknya dapat dilakukan dengan sangat cepat dan dalam skala massif oleh loyalitas pada identitas ketimbang ideologi-ideologi formal yang pada kenyataannya sudah dihabisi oleh Orba sendiri. Khususnya etnisitas dan agama kini menjadi semacam ideologi-ideologi pengganti (surrogate ideologies) yang menjadi referensi atau rujukan bagi mereka yang merasa tak terwakili selama ini. Dengan memakai "ideologi pengganti" ini maka batas-batas antara "mereka" dan "kita" kembali dipertegas, musuh dan kawan diidentifikasikan, solidaritas dijalin dan diperkokoh, tuntutan-tuntutan diartikulasikan. Salah satu dampak negatif yang dihasilkan oleh politik berbasis identitas adalah diabaikannya konsensus-konsensus nasional yang bersifat lintas batas etnis, agama, dan ras. Indonesia sebagai sebuah entitas negara-bangsa yang dibentuk mengatasi identitas primordial lantas terancam eksistensinya ketika kesepakatan-kesepakatan yang mendasarinya dikesampingkan oleh kepentingan dan solidaritas primordial. Pemberian otonomi terhadap Profinsi NAD dengan aksentuasi pemberlakuan terhadap Syari'at islam, menurut hemat saya, merupakan salah satu buah dari kembalinya politik identitas di era paska reformasi.

Dengan masih kuatnya kendala-kendala tersebut, proses pemberdayaan masyarakat sipil di Indonesia pun menghadapi ganjalan-ganjalan struktural dan kultural yang serius, khususnya manakala mereka berupaya membangun sinergi yang solid antar elemen-elemen yang terpenting antar anggauta-anggautanya. Terlebih lagi ketika kesetiaan primordial dan self-interest kelompok menjadi panglima, maka harapan untuk membangun kekuatan masyarakat sipil makin lama makin sukar terpenuhi dan diupayakan sebab basis yang berupa kepercayaan (trust) tak kunjung terbangun. Sebaliknya, komunalisme dalam berbagai bentuk perwujudannya menjadi makin kuat dan berkembang bukan saja di ruang-ruang pribadi (private spaces), tetapi merasuki ranah publik dan politik! Maka maraklah wacana dan kiprah politik identitas yang mirip dengan wacana dan kiprah politik di era "politik aliran" di tahun limapuluhan. Bedanya, pada kondisi saat ini, masyarakat dan negara RI telah berada pada suatu lingkungan yang sangat terbuka akibat globalisasi sehingga kontrol makin sulit dilakukan. Dalam lingkungan yang seperti ini upaya melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat sipil tentu menghadapi berbagai benturan dan membuat para pelakunya mudah dijangkiti rasa frustrasi dan fatigue. Akibatnya, eksponen utama organisasi masyarakat sipil seperti LSM, ormas sosial keagamaan, lembaga pendidikan, pers, dan kaum professional mudah sekali mengalami keterpecahan. Godaan untuk memprioritaskan permasalahan mendesak yang dihadapi sehari-hari dan menyangkut kepentingan mereka sendiri menjadi sangat besar sehingga permasalahan jangka panjang tak terlampau dipedulikan. Manakala akselerasi perkembangan politik semakin meningkat, sebagai akibat dari pertarungan elite politik, sebagian dari eksponen utama masyarakat sipil pun mudah terseret ke dalamnya. Hasilnya, tak pelak lagi, adalah makin terpuruknya masyarakat sipil karena kontaminasi oleh limbah politik tak kunjung dapat dikurangi.

III

Lemahnya masyarakat sipil yang sama artinya dengan terhentinya konsolidasi demokrasi di atas tentulah merupakan lahan paling subur bagi kembalinya otoriterisme baru, kendati dalam sebuah bentuk yang beda dengan sebelumnya. Perbedaannya barangkali hanta pada tataran basis legitimasi rezim baru ini, karena konstelasi kekuatan politik yang berbeda. Namun, tak peduli lama maupun yang baru, setiap rezim otoriter akan membawa masyarakat dan bangsa Indonesia menuju keterpurukan di masa yang akan datang. Sebab sifat asli dari rezim otoriter adalah tidak menginginkan terciptanya sebuah sistem politik yang demokratis dan tunduk pada hukum (rule of law) di mana warganegara dapat melaksanakan hak-hak dasarnya secara normal dan terbuka sementara pemerintahannya dapat dikontrol dan transparan. Baik rezim otoriter lama maupun baru akan menghalangi terwujudnya cita-cita para pendiri negara sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam rangka melakukan konsolidasi dan mempertahankan kekuasaan, baik rezim otoriter yang lama maupun baru keduanya akan cenderung menggunakan prinsip yang sama yaitu: dengan mengatasnamakan hukum (rule by law), ia menghalalkan ketertutupan dan pemakaian kekerasan. Ketertutupan menafikan akuntabilitas dan transparansi, sementara kekerasan menutup kemungkinan kontrol dari rakyat. Kekerasan di sini tidaklah harus dilihat dalam bentuknya yang fisik semata. Melainkan, dan lebih sering, kekerasan yang dipergunakan mencakup juga kekerasan dalam bentuk non-fisik seperti menciptakan rasa tidak aman dan rasa terasing dari individu atau kelompok terutama mereka yang berseberangan dengan penguasa. Kalau kita mau jujur, bentuk-bentuk kekerasan (violence) yang tidak kasatmata inilah yang sejatinya seringkali merupakan senjata ampuh dari rezim otoriter dalam rangka eksklusi warganegara. Kita masih belum jauh dari pengalaman di era Orba, bagaimana mereka yang dikategorikan sebagai tidak bersih lingkungan telah mengalami stigma dalam kehidupan politik dan sosial selama hidup, termasuk bagi anak-cucu mereka!. Ini adalah tindak kekerasan yang sangat dahsyat namun sangat sedikit di antara kita yang merasakan, alih-alih melakukan pembelaan terhadap para korbannya.

Otoriterisme dan kekerasan, jadinya, adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, dan saling melengkapi. Keduanya adalah anti tesis dari sistem demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat hanya akan timbul apabila masing-masing pelakunya menitikberatkan pada kekuatan argumen dan rasionalitas ketimbang pemaksaan atau kekerasan manakala mereka sedang memperjuangkan kepentingan. Oleh sebab itu tidak terlalu berkelebihan apabila salah satu landasan etik terpenting dalam sistem demokrasi adalah adanya suatu kebiasaan hidup yang tercerahkan (enlightened habits) dan sikap anti-kekerasan. Sia-sia saja upaya kita dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi apabila dalam proses tersebut penggunaan kekerasan masih dominan di dalamnya. Bahkan ketika kekerasan dipakai secara legitimate pun, misalnya dalam kondisi mempertahankan diri (self-defense), orang masih harus berupaya menghindarinya. Sebab kekerasan akan melahirkan lebih banyak lagi kekerasan (violence begets violence), sebagaimana juga kebohongan akan melahirkan lebih banyak lagi kebohongan. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh para pendekar pro-demokrasi seperti Vaclav Havel dan Adam Michnik, bahwa inti demokrasi adalah hidup dalam kejujuran (living in the truth), bukan hidup dalam kebohongan (living in the lies). Demikian pula inti dari kehidupan demokrasi adalah sikap anti kekerasan, sebagaimana yang menjadi inti dari ajaran Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela, dan para raksasa seperti mereka.

Pada akhirnya para pemimpin dan seluruh komponen masyarakat sipil diharapkan tetap konsisten dalam memperjuangkan konsolidasi demokrasi, apalagi ketika ancaman kembalinya otoriterisme nyata ada di depan mata. Pemberdayaan masyarakat sipil harus terus diupayakan melalui berbagai cara dan jalan, yang paling mendesak adalah menciptakan sinergi melalui pembangunan modal sosial antar elemennya. Baru setelah itu, pemajuan elemen-elemen masyarakat sipil yang selama ini telah memperkuat sendi-sendi demokrasi dilakukan secara berkesinambungan dan sistematik. Strategi pengembangan masyarakat dengan fokus peningkatan otonomi pada kelompok-kelompok (clusters), baik ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan, tampaknya akan menjadi alternatif kendatipun memerlukan ketelatenan dan waktu lama. Namun apapun juga alasannya, proses itu harus dimulai. Kita sekarang sedang berlomba dengan waktu, karena konsolidasi kekuatan negara juga sedang berlangsung dengan lebih sistematis. Adalah ironis, umpamanya, setelah hampir sepuluh tahun menjalankan demokrasi, tak kurang dari Wapres Jusuf Kalla sendiri yang mengatakan bahwa demokrasi adalah nomor dua. Juga seorang Sultan Hamengku Buwono X, konon, mengatakan bahwa rakyat tidak butuh demokrasi! Pertanda-pertanda zaman belakangan ini tentulah harus dicermati dengan baik sehingga reformasi dan demokratisasi di negeri ini tidak bernasib seperti Sysiphus yang, dalam khazanah mitologi Yuniani kuno, dikutuk oleh Dewa Zeus. Ia harus mendorong batu besar ke atas puncak bukit tetapi sesampai di sana batu tersebut menggelinding ke bawah dan Sysiphus pun harus mendorong ke atas lagi. Begitu seterusnya, ad nauseam!

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS