Tuesday, April 15, 2008

SANDHYAKALA NING PKB? (I)

It's a deja vu all over again. Or is it?

Gonjang-ganjing kembali melanda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Untuk ketiga kalinya, publik di negeri ini disuguhi drama kemelut partai yang didirikan oleh para ulama NU tersebut. Apalagi, kalau bukan  pertikaian internal di tataran elit Dewan Pengurus Pusat (DPP) yang berujung pada pemecatan Ketua Dewan Tanfidz (KDT). Bagi banyak orang, kemelut ini adalah semacam deja vu  yang berulang. Pasalnya, hal yang serupa - berikut modus operandi yang tak jauh berbeda -  telah pernah menimpa Mathori Abdul Djalil (MAD) (alm.) dan Alwi Shihab (AS). Belum lagi kalau kasus yang menimpa Syaifullah Yusuf (SY),  walaupun jabatannya adalah  Sekjen DPP PKB, ikut dihitung. Mantan Meneg PDT itu juga diberhentikan oleh Gus Dur (GD) sebelum waktunya dengan alasan yang kurang lebih sama dengan dua nama sebelumnya: bahwa GD sebagai Ketua dewan Syuro (KDS) DPP PKB sudah tidak lagi mempercayai yang bersangkutan dan, oleh sebab itu, ia harus dimakzulkan dari jabatan.

Kini giliran Muhaimin Iskandar pun tiba. Imin, panggilan akrabnya, yang adalah KDT DPP hasil Muktamar di Semarang pada 2005 dan nota bene keponakan GD sendiri, harus menghadapi nasib na'as: dia dipecat (dalam nomenklatur resmi partai "diminta berhenti") dari kedudukannya oleh rapat gabungan DS dan DT tgl 26 Maret lalu. Alasannya? ya itu tadi: KDS sudah tidak percaya lagi terhadap dirinya. Selebihnya adalah masalah "akademis" belaka. Seperti dua orang KDT sebelumnya, Imin bergeming. Minggu-minggu ini, ia dan sekutu-sekutu dekatnya seperti Helmy Faishal (HF), Kadir Karding (KK), dan Lukman Edy (LE), untuk menyebut beberapa nama, berupaya keras melakukan counter-attact terhadap keputusan DPP cum DS yang mereka anggap tidak sah itu. Segera setelah keputusan rapat diumumkan kepada publik, perlawanan pun mereka gelar melalui berbagai jurus: pembuatan opini publik, investigasi dan, tak ketinggalan pula, langkah-langkah politik dan hukum. Publik yang setidaknya untuk sementara cenderung untuk "bersimpati" kepada kubu Imin menjadi sasaran utama dari kampanye melalui media untuk mendiskreditkan posisi GD dan putrinya, Yenni Wahid (YW). Agar tampak lebih seru, penyelidikan terhadap adanya kemungkinan konspirasi mendongkel Imin pun serta merta dilakukan. Nursyahbani Katjasungkana (NK), yang pernah menjabat Ketua (sementara) DPW PKB di DKI Jakarta diberi tugas oleh sang KDT sebagai ketua tim investigasi tersebut. Hasilnya sudah bisa diduga: konspirasi tersebut memang benar adanya dan tudingan pun dialamatkan kepada YW sebagai pemimpin persekongkolan jahat tersebut. Beberapa nama pun ikut terseret, seperti Aris Junaidi (AJ), Sigit Haryo Wibisono (SHW), Ikhsan Abdullah (IA), Moeslim Abdurrahman (MA), dan Hermawi Taslim (HT).  Surat pemecatan terhadap mereka  langsung diteken oleh Imin atas nama KDT. Berikutnya, blietzkrieg politik dilancarkan oleh Imin dkk dengan mendaftarkan PKB sebagai peserta Pemilu 2009 di KPU atas namanya sebagai KDT yang sah. Tak berhenti sampai di situ, mereka juga melayangkan tuntutan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap GD dan DPP. Pertama tuntutan Lukman Edy atas pemberhentiannya sebagai Sekjen DPP PKB sesudah ia menggantikan posisi SY sebagai Meneg PDT. Tuntutan hukum berikutnya adalah terhadap GD selaku KDS dan beberapa fungsionaris DS dan DT seperti Muyiddin Arubusman (Sekretaris DS), Yenni Wahid (Sekjen DT) dan Ali Masykur Musa (Plt KDT) yang dianggap menyalahi aturan partai.

Tak pelak, genderang perang bharatayudha telah ditabuh oleh GD dan sang keponakan. Tinggallah kini para pengamat dan pemerhati PKB bersama warga partai yang mencoba menelisik apa gerangan yang terjadi dan apa dampaknya bagi perjalanan partai ini ke depan. Banyak sudah yang mencoba menawarkan penjelasan tentang peristiwa ini, mulai dari yang paling abstrak dan "metafisik" sampai yang analitis, dan ilmiah-rasional. Tentu masing-masing memiliki bobot dan tingkat plausibilitas nya. Dalam Forum ini, saya pun akan memberikan analisa melalui beberapa seri artikel yang diusahakan sejauh mungkin berpegang pada prinsip fairness.  Sebagai caveat, saya harus mengatakan bahwa karena saya pernah duduk dalam jajaran fungsionaris DPP PKB dan menjadi bagian dari elite partai dalam kurun waktu yang cukup lama (2001-2007), tak mungkin saya menghilangkan seluruh subyektifitas dan bias yang ada pada diri saya. Oleh karena itu, sebagai imbangan, pembaca seyogianya  membandingkan dan mencari rujukan analisa pihak lain agar lebih fair menyikapi analisa saya dan, syukur-syukur, dapat lebih komprehensif. Pandangan saya dalam tulisan ini berangkat dari keprihatinan dan refleksi pribadi terhadap perkembangan PKB, khususnya konflik internal yang membayanginya.

Sejauh yang saya ketahui, setidaknya ada tiga perspektif yang dipergunakan dalam melihat pertikaian internal PKB selama ini. Pertama, dan yang paling banyak dijumpai, adalah perspektif yang menekankan pada pribadi GD dan peran sentralnya dalam kiprah partai berlambang sembilan bintang dan bola dunia itu. Perspektif ini cukup populer dan diminati oleh para analis dan publik, bukan saja karena mudah dicerna dan memiliki sensasionalitas tinggi, tetapi juga memakai landasan ilmiah khususnya dari ilmu-ilmu psikologi dan budaya. Menurut perspektif ini, sebab utama konflik internal PKB adalah pribadi GD. Dialah yang menciptakan kekisruhan tersebut dengan sengaja untuk kepentingannya sendiri. Dalam kerja tersebut GD memanfaatkan sepenuhnya semua sumberdaya yang dia miliki dan ditopang sepenuhnya oleh budaya yang ada di kalangan warga NU dan PKB sendiri. Dalam versi yang paling vulgar, sebagaimana dikemukakan oleh pengamat politik Fachry Ali, maka GD dan PKB adalah sama dan sebangun, karena partai itu adalah "milik"nya dan, karenanya, tidak mungkin bisa lepas atau ada jarak darinya. Apapun kehendak GD terhadap PKB dan seluruh isinya, pasti akan terjadi dan perlawanan terhadapnya sama sekali tak bisa diharapkan akan berhasil. Cengkeraman kekuasaan GD yang absolut ini  berlaku bagi para elite yang ada dalam seluruh jajaran PKB, termasuk para Kyai dan tokoh-tokoh teras fungsionarisnya. Mereka tidak akan mampu untuk menyimpang dari dan melakukan perlawanan terhadap GD tanpa resiko akan dikalahkan dan ditendang keluar dari PKB. Sosok GD, dalam perspektif kulturalis ini, tentu saja mirip sang Leviathan sebagaimana digambarkan oleh Thomas Hobbes atau seorang Tiran. Minimum sosok GD adalah seorang diktator yang memiliki kekuasaan tanpa batas dan sewenang-wenang. Selama GD masih ada di PKB, maka setiap penyimpangan dan perlawanan terhadapnya akan kandas dan berakhir pada kemenangan GD serta kekalahan sang penentang. Ruang untuk kompromi dan manuver tidak mungkin ada selama GD tidak menghendakinya.

Tak dapat diragukan bahwa posisi GD sangat kuat dan dapat dikatakan hegemonik (dalam arti Gramscian) sejak partai ini berdiri pada 1998. Begitu kuatnya, sehingga PKB identik dengan GD dan bukan sebaliknya. Hal yang sama juga pernah dikatakan ketika NU selama limabelas tahun di bawah kepemimpinanya: bahwa GD identik dengan NU dan bukan sebaliknya. Dominannya pengaruh GD bukan saja karena posisi fromalnya sebagai KDS yang nota bene adalah pimpinan tertinggi partai, tetapi juga karena ia adalah pencetus, penggagas, deklarator, dan sekaligus sumber kekuatan (power) dan pengaruh (influence) riil partai dalam kancah perpolitikan nasional paska Orba. Kekuatan dominan dan hegemoni GD pada waktu memimpin NU dibuktikan dalam beberapa kali Muktamar NU sejak 1984 hingga 1994 di mana seluruh upaya untuk mengganjal posisinya sebagai Ketua PBNU gagal total. Tak kurang upaya Presiden Suharto sendiri mengalami kegagalan pada saat terjadi Muktamar NU di Cipasung pada 1994. Inilah  Muktamar  yang memilih GD untuk kali ketiga sebagai ketua PBNU sebelum gerakan Reformasi menggusur kekuasaan Orba dan Suharto pada 1998 dan mengantarkan GD sebagai Presiden RI ke IV pada 1999. PKB yang dibidani para Kyai, tak urung, juga menjadi cepat besar dan pengaruh politiknya melesat cepat di panggung nasional karena peran sentral GD yang mengalahkan seluruh tokoh yang ada pada jajaran elitenya. Maka anggapan bahwa PKB adalah identik dengan GD seolah mendapatkan pembenarannya, manakala dalam perkembangan partai tersebut ternyata posisi GD "terbukti" masih tetap kokoh kendati  berseteru dengan 3 orang KDT DPP selama satu dasawarsa tearkhir.

Namun demikian, terdapat kelemahan mendasar dari perspektif diatas. Bukan saja ia sangat reduksionis, tetapi yang lebih payah lagi ia menihilkan sumbangan dari faktor dinamika yang terjadi di dalam dan di luar PKB sebagai sumber konflik. Dinamika  yang berasal baik dari dialektika antar aktor maupun antara mereka dengan kekuatan lain di luarnya sama sekali terabaikan. Posisi GD, sekuat apapun, haruslah selalu diletakkan dalam konteks dinamis antar aktor-aktor dan partai. Disinilah lalu muncul perspektif kedua yang lebih menekankan pada dialektika internal elite PKB, di mana GD tetap menjadi poros utama, namun tidak selalu menjadi penentu utama bagi muncul dan resolusi konflik. Justru dalam perspektif ini, konflik elite PKB dipandang sebagai resultante  pertarungan antara pihak-pihak yang memperebutkan sumberdaya dan akses  kekuasaan di sekitar GD, yang pada gilirannya menempatkan GD sebagai lapangan pertarungan dan sekaligus bahan perebutan mereka. Karena para pihak ini memahami sekali kakuatan simbolis maupun riil dari GD, maka sedapat mungkin mereka akan mendekati dan mencoba mempengaruhi sang KDS dalam upaya menghancurkan saingan mereka. Teori konspirasi menjadi sangat pekat dalam perspektif ini. Konflik elite PKB lantas digambarkan sebagai permainan faksi-faksi yang ada dalam elite PKB baik sendiri-sendiri maupun berkolaborasi dengan kekuatan dari luar partai, termasuk pemerintah dan kekuatan politik lain. Munculnya faksi-faksi Mathori, Alwi, Syaifullah, Muhaimin dan, yang paling gres, Yenni menjadi bukti perspektif ini. Demikian pula saling serang antar faksi dan tokoh-tokohnya dalam konflik-konflik yang terjadi di PKB selama ini, menunjukkan bahwa GD tidak selalu dalam kontrol absolut terhadap partai dan para elitenya. Fakta bahwa GD selalu menang, tidak otomatis berarti bahwa pengaruh dan hegemoni GD tetap sama dengan sebelumnya. Bahkan bukan tidak mungkin sebaliknya yang terjadi: terjadi defisit pengaruh GD dan dia dipaksa melakukan manuver untuk tetap bertahan dalam posisinya. Bersamaan dengan itu, pertarungan antar elite makin tak terkontrol dan merebaklah faksi-faksi yang berebut pengaruh dan kontrol terhadap partai. Kekuatan dan pengaruh GD di DPP PKB, pelan tapi pasti, menjadi makin ringkih sebagaimana dibuktikan dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, PKB telah kehilangan banyak kader dan tokoh handalnya baik dalam tataran ulama (Kyai)maupun fungsionaris di semua level; maraknya kekisruhan pengurus partai  di tingkat wilayah (DPW) dan cabang (DPC)nya; menurunnya perolehan suara PKB dalam Pemilu nasional; kekalahan beruntun calon-calon yang didukung PKB dalam berbagai pilkada, dan last but not least, lemahnya posisi tawar politik PKB vis-a-vis pemerintah paska lengsernya GD (Megawati dan SBY). Contoh-contoh tersebut jelas membatalkan asumsi dasar pandangan yang menempatkan GD sebagai satu-satunya penentu dalam PKB dan bahwa GD adalah  satu-satunya sumber konflik internal elite partai ini.

Dengan demikian, perspektif kedua, yang digemari media massa ini, lebih memiliki nuansa dan lebih dinamis ketimbang yang pertama tadi sehingga memberi peluang bagi suatu analisis yang tidak reduksionis apalagi statis. Ia menolak asumsi dasar perspektif pertama bahwa seolah-olah aktor/agensi apapun di luar GD adalah pasif dan bahwa figur GD adalah sosok yang sewenang-wenang tanpa mempedulikan kepentingan dan kekuatan pihak lain (dan artinya GD juga tidak memiliki perhitungan). Lebih jauh, perspektif kedua juga memberi tempat bagi perlawanan dari aktor-aktor dalam elit PKB terhadap manuver GD serta kiprah mereka, baik melalui faksi-faksi maupun pribadi, dalam memperebutkan sumberdaya partai, termasuk kontrol atasnya. Begitupun, pada hemat saya, perspektif kedua ini masih memiliki beberapa keterbatasan serius. Pertama, ia masih tetap memperlakukan konflik internal PKB semata-mata dari perspektif prilaku elit partai dan tidak melibatkan variabel kelembagaan serta, yang penting juga, aspirasi para pendukung PKB. Kedua, konteks struktural yang menjadi latar keberadaan dan kiprah partai (termasuk konflik di dalamnya) tidak atau kurang mendapat perhatian. Bagaimanapun juga keberadaan dan kiprah PKB tak terlepas dari konstelasi politik nasional termasuk perubahan dalam sektor-sektor pemerintahan, masyarakat politik dan masyarakat sipil. Dalam hal ini, harus diperhatikan posisi politik PKB sebagai kekuatan pro reformasi tentu mendapat pantauan serius dari pihak penguasa dan berbagai kekuatan politik lain (parpol, militer, korporasi, dsb). Pada gilirannya perkembangan internal partai ini pun menjadi bagian dari pemantauan mereka karena dapat membawa dampak bagi konstelasi dan kepentingan-kepentingan politik yang cukup signifikan bagi mereka. Pada tataran masyarakat sipil, keberadaan dan dinamika dalam PKB tak akan dapat dilepaskan dari NU, salah satu komponen masyarakat sipil terbesar di negeri ini. Pihak ormas keagamaan ini, khususnya para Kyai dan fungsionaris organisasi, mau tidak mau akan memiliki rasa keterikatan psikologis dan kulural terhadap PKB dan tidak mungkin membiarkan konflik terjadi tanpa ikut berusaha mencegahnya. Fakta bahwa konstituen utama PKB adalah warga nahdliyyin mengharuskan para elite NU sekurang-kurangnya akan merasa "prihatin dan "perhatian" akan keberlangsungan hidup PKB dan stabilitasnya. Kendatipun di permukaan para elite NU menunjukkan sikap relatif diam dan imparsial, namun di bawah permukaan mereka tak dapat menolak untuk ikut terlibat sampai pada tingkat tertentu dalam ontran-ontran partai ini.

Dengan adanya kelemahan tersebut diperlukan suatu perspektif ketiga, yang akan memberikan cara pandang yang komprehensif terhadap konflik dalam elite DPP PKB. Perspektif  ini memahami fenomena PKB dan pertarungan antar elite di dalamnya dengan cara menempatkan aktor-aktor dalam suatu konteks struktural serta perkembangan pelembagaan partai. Suatu pendekatan yang oleh Anthony Giddens disebut  teori strukturasi, barangkali, akan dapat menghidarkan kita dari analisa reduksionis, statis, dan elitis, tetapi pada saat yang sama memberi porsi kepada kekuatan eksternal di dalam proses. Tak dapat dipungkiri bahwa aktor-aktor utama dalam konflik PKB memiliki peran penting, terutama GD dan posisinya sebagai KDT dan pendiri PKB. Namun perlu juga dicermati bagaimana aktor-aktor tersebut harus menghadapi realitas struktural di luarnya serta bagaimana organisasi yang mereka buat memiliki kemampuan untuk menjamin kelangsungan serta mendukung kiprahnya. Dialektika aktor dan struktur yang dinamis dan bertujuan akan memungkinkan kita melihat gonjang-ganjing di PKB bukan saja sebagai sebuah proses perebutan kekuasaan antar aktor, tetapi juga melihat dampak-dampaknya baik bag partai sendiri maupun pihak di luarnya, khususnya warga pendukung PKB. Bisa jadi bahwa trigger konflik PKB berada pada beberapa aktor, tetapi mereka tidak mungkin sepenuhnya dapat melakukan kontrol terhadap apa yang disebut konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan (unintended consequences). Bisa jadi, apa yang telah dipikirkan dan direncanakan para aktor untuk mengeliminir saingan mereka dan menguasai partai sepenuhnya di tangan mereka, justru malah menjadi senjata makan tuan. Marx pernah mengatakan "men make history, but not as they pleased," manusia memang membuat sejarah, tetapi tidak bisa sesuka mereka. GD, Imin, Yenni, Ali Masykur dll elite PKB boleh saja berharap dapat menangguk keuntungan bagi kepentingan mereka melalui berbagai manuver dalam perseteruan dengan para saingan mereka, tetapi hasil akhirnya bisa saja justru jauh di luar harapan mereka. Yang jelas, sampai saat ini secara empiris konflik-konflik internal PKB sangat kontraproduktif terhadap citra dan kekuatannya. Bukan saja partai ini telah pecah (munculnya PKNU dan sebelumnya PEKADE) dan kehilangan para tokoh yang memiliki kapasitas atau bobot nasional, tetapi ia juga   mengalami defisit dukungan konstituennya. Dalam percaturan politik, PKB juga menghadapi kenyataan bahwa kekuatan dan pengaruh politiknya semakin berkurang baik pada tataran nasional maupun daerah. Yang paling ironis, popularitas figur GD baik sebagai ikon partai maupun pelopor gerakan reformasi pun telah dan sedang mengalami erosi yang belum pernah terjadi pada figur nasional lain sebelumnya sebagaimana tampak pada reaksi publik di media massa terhadapnya menyusul gonjang-ganjing yang sedang berlangsung di PKB. Apakah dengan demikian saat ini kita sedang menyaksikan babak pamungkas dari sebuah drama Sandhyakalaning PKB? Ataukah, sekecil apapun,  masih ada secercah harapan bagi kebangkitannya?

Saya akan mencoba memberikan analisa dalam artikel-artikel di Forum ini selanjutnya. Ikuti saja..

 

m.a.s.h

 

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS