Saturday, April 12, 2008

MEMPERTIMBANGKAN FAKTOR-FAKTOR SOSIAL-POLITIK DAN BUDAYA DALAM SISTEM TATAKELOLA LIMBAH RADIO AKTIF (STLR)

Secara umum dapat dikatakan bahwa keperluan tentang adanya suatu sistem tatakelola limbah radioaktif (STLR) di Indonesia sebenarnya merupakan salah satu konsekuensi logis dari proses pembangunan dan/atau industrialisasi yang terjadi selama beberapa dasawarsa terakhir. Dalam hal ini masalah-masalah yang berkaitan dengan pemahaman tentang radioaktif, termasuk pengenalan terhadap potensi kemanfaatan dan bahaya yang dikandungnya, serta pengelolaan limbah yang bertujuan untuk menjamin keamanannya bagi kepentingan manusia dan lingkungan hidup, tentu saja terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya, dan juga ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang dimilikinya. Semakin berkembang masyarakat kita, semakin kompleks pula masalah yang dihadapi oleh para pengelola, apakah itu dari kalangan pemerintah, industri, dan juga oleh masyarakat pada umumnya yang kesemuanya, pada hakekatnya, adalah para pemangku kepentingan (stakeholders) utama dengan berbagai variasi dan perbedaan tujuan dan target-targetnya.

Pada saat masyarakat masih dalam tahapan awal proses industrialisasi, pemahaman, pengenalan, dan pengelolaan limbah radioaktif tentu juga masih cukup sederhana, dan dampak yang ditimbulkan pada jangka waktu yang lama juga rendah. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kepedulian yang meningkat terhadap kualitas dan keamanan hidup manusia dan kelestarian lingkungan, maka tuntutan agar masalah limbah radioaktif dipahami secara lebih baik, dikenali dengan pendekatan terpadu (comprehensive approaches), dan dikelola secara cangggih dengan tingkat keamanan yang tinggi, pun muncul dan berkembang. Terlebih lagi ketika masyarakat tersebut semakin beranjak menuju masyarakat modern, yang ditandai dengan adanya diferensiasi peran dan fungsi yang semakin kompleks, sistem pengelolaan pun diharuskan lebih jauh jangkauannya dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) yang makin luas dan bervariasi. Konsekuensinya adalah terjadinya suatu pergeseran paradigma (paradigm shift) secara terus menerus yang dapat menjadi landasan dibangunnya sebuah sistem tatakelola yang mampu untuk memberikan suatu peluang bagi kepentingan yang makin majemuk untuk dapat berinteraksi dan menghasilkan suatu solusi yang menguntungkan bagi semua pihak (win-win solution).

Berdasarkan pengamatan saya, yang cukup terbatas, terhadap perkembangan masalah STLR di negeri kita, maka secara umum dapat saya katakan bahwa baik paradigma yang menjadi landasan maupun sistem yang dikembangkan daripadanya masih belum mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Setidak-tidaknya, menurut hemat saya, STLR yang mampu untuk memberikan peluang bagi keterlibatan aktif para stakeholders masih belum cukup berkembang. Salah satu buktinya adalah bahwa sampai saat ini pemahaman dan pengenalan dari pihak masyarakat atau publik terhadap pentingnya pengelolaan limbah radioaktif pada umumnya masih sangat terbatas di samping kenyataan masih kuatnya kecenderungan elitisme dan penggunaan pendekatan dari atas (top-down approaches) yang gagal untuk menumbuh-kembangkan kesadaran dan pengetahuan, serta menggerakkan peran-serta mereka dalam bidang yang sejatinya mempunyai dampak serius bagi kehidupan mereka di samping bermanfaat bagi keberlangsungan dan pelestarian lingkungan hidup.

Disinilah, menurut hemat saya, pentingnya suatu upaya terus menerus untuk mengembangkan baik landasan paradigma maupun pendekatan-pendekatan atau model-model baru dalam STLR yang memiliki tingkat sensitivitas dan relevansi dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Jika tidak demikian halnya, maka yang akan kita hadapi adalah sebuah kondisi stagnasi yang diwarnai oleh elitisme di satu pihak dan keterasingan (alienation) di pihak lain. Kontroversi berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN yang muncul di media massa akhir-akhir ini (yang didalamnya termasuk juga dimensi pengelolaan limbah radioaktif) dapatlah kita jadikan sebagai salah satu contoh bahwa salah satu penyebab utama skeptisisme masyarakat adalah kemampuan para pengelola untuk memahami kepentingan rakyat. Padahal, dalam konteks masyarakat yang semakin berubah di Indonesia saat ini di mana keterbukaan untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan sedemikian terbuka, kepercayaan (trust) dari para pemangku kepentingan adalah suatu hal yang mutlak diperlukan.

Oleh sebab itu, saya menawarkan suatu paradigma dan STLR yang bersumber pada pemahaman holistik, yaitu bahwa permasalahan limbah radioaktif harus berkait dengan persoalan kemasyarakatan yang luas, termasuk politik, lingkungan hidup, keamanan, kesinambungan antar generasi, budaya (nasional dan lokal), dsb. STLR yang dibuat berdasarkan paradigma tersebut dengan demikian memiliki ciri khas tingkat kompatibilitas yang tinggi dan mampu untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan sosial yang terjadi di masa depan, serta dapat mengikuti kaedah-kaedah tatakelola yang baik (good governance), yaitu keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas, dan koherensi.

II
Landasan paradigma di atas sebenarnya tidak terlampau asing dengan kondisi kita sebagai bangsa yang sedang mengalami perubahan menuju modernitas dan keterbukaan. Jika kita lihat landasan normatif dan yuridis yang sudah ada sekarang, khususnya dalam UU Ketenaganukliran No.10 th 1997 dan PP No. 2, th 2002, maka sebenarnya telah dapat dipakai untuk mengembangkan sebuah paradigma berikut STLR yang cukup komprehensif dan holistik yang melibatkan secara aktif para pemangku kepentingan, yaitu pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup (Bab VI, ps. 22 (1); ps. 27 (1), UU no 10/1997). Demikian pula, dalam UU tersebut ditegaskan kemungkinan keterlibatan pihak non-state, termasuk koperasi dan/atau badan swasta dalam pelaksanaan tatakelola limbah radioaktif, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23(2). Sayangnya, sebagaimana acapkali terjadi di negeri ini, dalam kenyataan muncul kesenjangan antara gagasan dan praktik.

Berpijak dari landasan normatif dan yuridis tersebut, terbuka suatu kesempatan bagi pihak pemerintah sebagai pemegang otoritas menciptakan sebuah STLR yang menggunakan prinsip dialog antara pengambil keputusan dengan para pemangku kepentingan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Jika prinsip ini dipakai, maka sistem TLR yang ada akan menganggap bahwa kemampuan dan kepakaran teknis belaka tidaklah mencukupi untuk menjadi dasar bagi pemngambilan keputusan atau alat untuk memberikan solusi yang tuntas.

Sebagaimana dikatakan oleh para pakar STLR dari Badan Energi Nuklir Perancis (AEN), maka mekanisme, prosedur dan praktek-praktek dalam mengelola limbah radioaktif di suatu negara haruslah kompatibel dengan sistem politik dan budaya setempat. Tidak mungkin dibuat suatu model tunggal atau universal yang akan bisa dipergunakan untuk memecahkan semua persoalan, karena kompleksitas permasalahan kemasyarakatan, termasuk politik dan budaya di suatu negara (lihat Le Bars dan Pescatore, 2004). Kesadaran seperti inilah yang pada gilirannya membuat para pakar di negeri yang maju dalam teknologi nuklir seperti Perancis kemudian melakukan sebuah pergeseran paradigma dan sistem TLR mereka, dari top-down menjadi dialogis.
Di negeri kita sebelum reformasi, paradigma yang dominan dalam tatakelola kebijakan publik adalah state-centered atau berpusat pada negara (yg dilaksanakan sepenuhnya oleh eksekutif). Salah satu ciri dari pendekatan ini adalah apa yang disebut model “putuskan, umumkan, dan pertahankan” (decide, announce and defend), di mana pihak pengambil keputusan lebih mengutamakan kepakaran teknis dan tentu saja kemampuan untuk memaksakan suatu kebijakan ketimbang membuka kesempatan dialog kepada para pemangku kepentingan. Salah satu permasalahan terbesar dari kecenderungan tatakelola yang state-centered ini adalah, antara lain, menciptakan keterasingan dari para pemangku kepentingan dan ketertutupan yang pada gilirannya menimbulkan rendahnya pemahaman dan tingkat kepercayaan (trust). (Le Bars and Pescatore, 2004).

Kendati dalam hal yang berkaitan dengan nuklir membutuhkan tingkat kecanggihan teknis untuk mampu memahami dan mengapresiasinya, namun dalam masalah tatakelolanya, sudah sepantasnya masalah pertanggungjawaban sosial (social responsibility) merupakan bagian utama di dalamnya. Karena itu sosialisasi dan pelibatan intensif terhadap pihak pemangku kepentingan di luar pemerintah tentang segala sesuatu yang menyangkut masalah nuklir termasuk limbah radioaktif perlu mendapat prioritas. Perbedaan mencolok dapat kita lihat, misalnya, dalam kasus kecelakaan reaktor nuklir di Three Miles Island (AS) dengan Chernobyl (Russia) di mana pada yang pertama menggunakan paradigma yang lebih terbuka bagi masyarakat sedang yang kedua sangat state-oriented dan tertutup.

Dalam konteks Indonesia saat ini dan di masa datang seharusnya pendekatan state-oriented yang top down tersebut sudah ditinggalkan agar tidak terjadi kecarutmarutan yang tidak perlu seperti yang kita saksikan dalam kontroversi PLTN akhir-akhir ini. Pendekatan yang mestinya diterapkan adalah dialogis yang memberikan tekanan kepada “hadapi, interaksi dan kerjasama” (engage, interact and co-operate) dengan para pemangku kepentingan. Dari pendekatan seperti ini, model yang kemudian dikembangkan adalah penggabungan antara kemampuan teknis dan proses pengambilan keputusan yang berkualitas yang akan dapat menghasilkan output yang lebih baik.

Apabila pendekatan dialogis tersebut dapat diterapkan dalam STLR di negeri kita, maka baik pihak pemangku kepentingan maupun pengambil keputusan secara otomatis akan melakukan apa yang disebut sebagai proses pembelajaran sosial (social learning process) di mana pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang-bidang tertentu akan saling memberikan masukan yang dapat memperkecil potensi-potensi konflik kepentingan yang pasti akan muncul. Konflik kepentingan tentu saja akan tetap merupakan kenyataan yang harus dihadapi, namun dengan adanya proses pembelajaran sosial tersebut akan lebih mempermudah diupayakan resolusi karena adanya intensitas interaksi di antara para pihak yang berkepentingan.

III
Dalam sebuah negara yang masyarakatnya sangat majemuk atau plural seperti Indonesia, salah satu problem yang dihadapi dalam pembuatan kebijakan publik (public policy-making) adalah bagaimana suatu keputusan yang ditujukan untuk kepentingan umum dapat diterima dan diinternalisasikan dengan cepat dan sukarela dengan sekecil mungkin resistensi. Faktor budaya adalah salah satu yang sangat penting untuk diperhatikan. Dalam kaitannya dengan pengembangan STLR, semakin disadari bahwa faktor budaya yang ada dalam masyarakat menjadi bagian yang sangat penting apabila diinginkan sebuah proses sosialisasi dan internalisasi kebijakan yang benar-benar melibatkan para pemangku kepentingan.

Kepekaan terhadap faktor budaya tentulah tidak harus dimengerti sebagai keberpihakan kepada suatu sikap konservatisme budaya di dalam sebuah proses pengambilan keputusan. Justru dalam hal ini, kepekaan budaya dimengerti dalam pemahaman transformatif, yaitu proses saling belajar dan melakukan perubahan secara sukarela. Kebudayaan adalah suatu proses dan bukan benda yang tidak berubah. Semakin dinamis sebuah masyarakat, maka semakin dinamis pula budaya yang dimiliki dan semakin kuat pula kemampuan transformatif para pendukungnya. Dengan demikian, pendekatan yang memberi ruang bagi faktor budaya merupakan suatu keniscayaan dalam STLR yang komprehensif.

Beberapa tema yang cukup sentral dalam kaitan ini adalah, antara lain, pemahaman masyarakat dan para stakeholders mengenai: nuklir dan radioaktif; keamanan; kesinambungan generasi; kelestarian lingkungan hidup; kesejahteraan sosial dan ekonomi; dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh langsung bagi kehidupan mereka. Tentu masih ada lagi tema-tema yang bisa dipaparkan, tetapi saya hanya ingin memberikan ilustrasi dengan menampilkan beberapa tema di atas yang menurut hemat saya memiliki tingkat sensitivitas dan keterkaitan budaya yang kuat.

Tema-tema di atas, menurut hemat saya, sarat diwarnai oleh budaya setempat khususnya sejauh mana eksposure budaya masyarakat terhadap perkembangan Iptek, baik melalui lembaga pendidikan, media massa, maupun melalui interaksi antar-budaya. Pada masyarakat yang pengenalannya terhadap teknologi nuklir cukup intensif, misalnya di wilayah perkotaan, sudah barang tentu akan memiliki pemahaman dan sikap terhadap masalah radioaktif yang lebih memadai ketimbang mereka yang berada di wilayah pedesaan. Tingkat eskpose terhadap media massa yang kritis terhadap nuklir lebih tinggi di perkotaan ketimbang di pedesaan dan ini menyebabkan perbedaan tingkat resistensi mereka. Hal ini pada gilirannya mengharuskan adanya suatu model sosialisasi yang berbeda-beda mengenai nuklir dan masalah penanganan limbah radioaktif, termasuk cara penyimpanannya di kedua komunitas tersebut.

Apabila nuansa dan spesifikasi kultural tersebut dapat dipetakan secara tepat sasaran, maka pengembangan STLR yang memiliki tingkat relevansi dengan realitas Indonesia akan tercapai, dan ini membuka peluang bagi semakin berkurangnya penggunaan pendekatan top-down yang terbukti sangat rentan terhadap perlawanan dari para pemangku kepentingan, khususnya pada saat keterbukaan seperti sekarang. Kesempatan untuk melakukan transformasi dan pembelajaran kepada masyarakat pun menjadi terbuka, sehingga dapat mengurangi kecenderungan munculnya distorsi informasi yang sengaja atau tidak telah berkembang di antara anggota masyarakat sendiri.
Pemahaman, pengenalan dan sensitivitas yang baik terhadap budaya bahkan dapat mengarahkan kepada apropriasi pengetahuan atau kebijaksanaan lokal (local knowledge and wisdom) yang barangkali dapat meningkatkan efektifitas STLR. Khususnya dalam program-program sosialisasi mengenai penanganan limbah radioaktif yang memerlukan penyimpanan di daerah-daerah tertentu, sangatlah penting apabila diperhatikan dimensi local knowledge and wisdom ini. Bukan saja kemampuan memberikan berbagai penjelasan teknis-ilmiah berkaitan dengan keamanan bagi manusia dan kelestarian lingkungan sangat diperlukan, tetapi tak kalah pentingnya adalah kemampuan menggunakan argumen-argumen yang sesuai dengan pandangan kehidupan yang dipegang oleh anggota komunitas.

IV
Dari paparan singkat di atas, maka faktor-faktor sosial, politik dan budaya sudah jelas merupakan bagian penting dalam SLTR yang sesuai dengan perkembangan masyarakat di negeri kita saat ini dan masa depan. Pendekatan yang berlandaskan paradigma lama yang cenderung menekankan pada penyelesaian teknis, kini memerlukan reorientasi dan modifikasi secara menyeluruh. Masyarakat yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang utama harus dianggap sebagai pemegang peran serta pelaku aktif dalam pembuatan dan pengambilan keputusan. Kebiasaan proses pengambilan keputusan yang top-down dan satu arah, sudah harus digantikan dengan proses yang mengutamakan dialog. Masalah-masalah teknis dalam hubunganya dengan proses penanganan limbah radioaktif pun harus dapat disinergikan dengan realitas sosial yang ada di luar.

Selanjutnya, dalam STLR yang akan dikembangkan sesuai dengan paradigma baru ini faktor budaya juga menduduki posisi sentral, khususnya ketika diperlukan adanya dukungan yang kuat terhadap suatu kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan komunitas serta resistensi yang minimal baik yang bernuansa sosial maupun politik. Faktor budaya, termasuk pengetahuan dan kebijakan lokal (local knowledge and wisdom), harus diketahui dan diakses secara komprehensif dan dapat diterapkan dengan tepat agar didalam proses dialog antar para pemangku kepentingan dapat lebih produktif dan mendalam, bukan hanya formal dan artifisial.

Akhirnya, dapatlah dikatakan bahwa STLR yang memiliki tingkat kepekaan sosial dan budaya (social and cultural sensitivity) yang tinggi akan menjadikan dialog antar para pemangku kepentingan sebagai wahana pembelajaran sosial (social learning) yang berjalan terus menerus dan akumulatif sifatnya. Dengan adanya akumulasi pengetahuan dan pemahaman sosial dan budaya, maka setiap langkah dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan akan memiliki landasan dan akar kemasyarakatan. Hal ini sangat penting artinya, karena sebuah keputusan public yang mendapat dukungan dari masyarakat, sebagai pemangku kepentingan utama, tentu saja akan lebih mudah untuk disosialisasikan serta dipertanggungjawabkan.

m.a.s.h

Jakarta, 24 Maret 2008
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS