I. Pendahuluan
Reformasi menyeluruh dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan yang telah menjadi suatu kesepakatan nasional, menyusul berakhirnya kekuasaan Orde Baru (Orba) pada akhir dasawarsa sembilanpuluhan, pada saat ini usianya telah hampir menginjak satu dasawarsa. Salah satu bagian terpenting dalam reformasi tersebut adalah reformasi internal TNI yang dianggap merupakan pilar dari kekuatan bangsa dan negara namun telah mengalami distorsi fungsi dan peran (functional and role distortions) selama lebih dari tiga dasawarsa. Tidaklah terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa reformasi internal dalam batang tubuh TNI merupakan langkah pembenahan terpenting setelah amandemen UUD 1945 yang akan menentukan berhasil atau gagalnya proses reformasi sebagaimana digagas dan diperjuangkan oleh para pendukungnya.
Sejarah menunjukkan bahwa pengejawantahan cita-cita Proklamasi dalam bentuk pembangunan sebuah negara-bangsa sebagaimana dikehendaki oleh para pendirinya (founders) selama kurun waktu lebih dari enam dasawarsa ini selalu mengalami pasang surut, khususnya dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan. Pemerintahan-pemerintahan yang silih berganti sejak 1945 sampai hari ini telah melakukan berbagai eksperimentasi dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan serta dampak-dampaknya bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Dari perjalanan beberapa pemerintahan tersebut, salah satu garis merah yang bisa ditarik adalah pentingnya faktor TNI, baik dalam bentuknya sebagai lembaga an sich maupun sebagai salah satu komponen subsistem dalam dinamika sistem politik dan kenegaraan RI.
Oleh karena itu ketika reformasi berlangsung, keniscayaan adanya perubahan yang mendasar dalam tubuh TNI pun menjadi salah satu bagian yang harus dijalankan agar penataan ulang sistem politik dan kenegaraan yang demokratis dapat terwujud. TNI pun menyambut dan melaksanakan amanat tersebut dan suatu proses reformasi internal pun kemudian berlangsung secara berkesinambungan, sistemik, dan gradual selama hampir satu dasawarsa. Makalah pendek ini mencoba iikut memberikan evaluasi terhadap upaya-upaya TNI dan sejauhmana ia telah dapat menghasilkan berbagai perubahan mendasar yang memperkuat konsolidasi menuju demokrasi.
Mengingat reformasi internal TNI terjadi dalam sebuah konjungtur historis dan struktural tertentu, maka pendekatan yang saya pergunakan adalah menempatkan proses tersebut bukan dari sisi internal TNI, tetapi juga melibatkan faktor eksternalitas yang mempengaruhi proses tersebut. Bahkan, seperti yang akan saya paparkan nanti, faktor eksternalitas itu justru memiliki pengaruh lebih besar bagi keberlangsungan serta kualitas reformasi TNI. Harapan dan kehendak masyarakat pada umumnya serta pendukung demokratisasi khususnya akan keberhasilan reformasi internal TNI akan sangat ditentukan oleh kapasitas dari eksternalitas tersebut dalam mendukung dan mendorongnya.
II. Reformasi Internal TNI Sebagai Keniscayaan Reformasi
Jika reformasi TNI merupakan bagian penting dari reformasi fundamental dan menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka bukan saja ia harus dikaji dari sisi intrinsik atau internalitas TNI sebagai subyek dan obyeknya, tetapi juga harus dikaji dari sisi ekstrinsik atau eksternalitasnya, yaitu TNI dalam kontek sistem politik makro dan sub2-sistem yang lain di dalamnya. Sebab pada hakikatnya, keberhasilan reformasi internal TNI selain tergantung pada intensitas, kapasitas, dan efektivitas dalam kinerjanya, juga sangat ditentukan oleh pengaruh dari dinamika eksternal. Sebagaimana kita ketahui bersama, pada waktu TNI berada di bawah rezim Orba ia bukan saja tumbuh dan berkembang sebagai sebuah organisasi yang berfungsi sebagai kekuatan utama pertahanan negara semata, tetapi juga sebagai lembaga yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk memiliki kekuatan tawar (bargaining power) dalam politik, ekonomi, maupun sosial sesuai dengan logika sistem korporatis-otoritarian yang dianut oleh rezim tersebut. Salah satu inti (core) paradigma tersebut adalah doktrin dwi fungsi, melalui mana keabsahan TNI untuk menjadi aktor politik riil dan dominan di Indonesia diperoleh dan dikembangkan.
Karena itu, setelah Orba kehilangan baik legitimasi maupun keberlangsungannya diperlukanlah sebuah reformasi yang mendasar dalam tatanan politik dan kenegaraan, khususnya paradigma korporatis-otoritarian, menuju demokrasi yang dikehendaki oleh Konstitusi. Salah satu derivasinya yang terpenting adalah bahwa TNI harus melepas doktrin dwi fungsi agar ia dapat mengembalikan relevansi dan khittahnya yaitu kekuatan utama dalam sistem pertahanan nasional yang bebas dari politik praktis. Melalui landasan UUD 1945 yang diamandemen dan TAP MPR No. VI dan VII Th 2000 dibuatlah berbagai perundang-undangan yang dianggap dapat dipergunakan sebagai landasan hukum bagi reformasi internal TNI tersebut, seperti UU No. No. 3/2002 dan UU No. 34/2004. Berpijak pada landasan perundang-undangan tersebut kemudian diharapkan akan dapat dibentuk, disusun, dan dikembangkan suatu cetak biru TNI sebagai alat pertahanan negara, termasuk struktur, doktrin, dan kultur di dalamnya.
Harus dicatat bahwa sebelum perangkat hukum dan keputusan politik pada tataran nasional tentang reformasi interal TNI dibuat, sesungguhnya TNI (melalui para petingginya) telah melakukan berbagai antisipasi terhadap perubahan yang terjadi sebagai akibat tuntutan reformasi politik dan kenegaraan. Sebelum TAP MPR No. VI dan VII Th 2000 disahkan pun, umpamanya, gagasan-gagasan dan kiprah reformasi internal sejatinya telah mulai digulirkan di lingkungan TNI yang salah satu tema terpentingnya adalah peninjauan ulang terhadap doktrin dwi fungsi ABRI, khususnya keterlibatan TNI dalam politik praktis termasuk konsep dan program-program kekaryaan ABRI. Salah satu hasil dari sikap antisipatif tersebut adalah percepatan pengakhiran keterlibatan TNI sebagai anggota dalam lembaga-lembaga legislatif di pusat dan daerah yang dilaksanakan tahun 2004 dari rencana resmi pada 2009. Demikian pula konsep kekaryaan ABRI dengan segera dihapuskan dan memuluskan jalan bagi proses transisi bagi TNI untuk meninggalkan kancah politik praktis.
Dalam perjalanannya selama hampir satu dasawarsa, tampaknya proses reformasi internal TNI dari sisi internalitasnya tidak menghadapi gangguan atau kendala yang berarti. Kendatipun pada awalnya terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan resistensi yang cukup kuat dari kalangan internal TNI, khsususnya mereka yang memiliki kedekatan politik dengan rezim Orba, tetapi secara pasti proses reformasi internal TNI berjalan mengikuti tahapan-tahapan yang direncanakan. Pelaksanaan kebijakan-kebijakan strategis yang memiliki tingkat sensitifitas politik tinggi, seperti pemisahan TNI dengan Polri dan penarikan TNI dari kancah politik praktis, penghapusan Bakorstranas dan Bakorstranasda, dsb., ternyata berjalan tanpa gejolak. Setelah disahkannya UU No.34 Th 2004 yang memiliki implikasi internal mendasar bagi TNI, proses perubahan yang terjadi masih dapat dikatakan berjalan dengan lancar. Sampai saat ini, tidak kurang dari 26 perubahan telah berhasil dilakukan, mulai dari landasan normatif sampai bidang-bidang yang berkaitan dengan manajemen dan organisasi TNI.
Memang sampai saat ini ada beberapa tema reformasi internal TNI yang masih dianggap belum lancar dan memiliki potensi kontroversi dalam wacana publik. Yang paling mengemuka dan berpotensi politis adalah masalah komando teritorial/komando kewilayahan, penghapusan aktivitas bisnis TNI, dan masalah peradilan militer. Urutan selanjutnya adalah permasalahan yang berkaitan dengan postur TNI, modernisasi alutsista, peningkatan kesejahteraan prajurit, dll., yang pada umumnya memiliki pengaruh langsung maupun tak langsung terhadap faktor anggaran belanja negara dan perekonomian negara. Menurut hemat saya, beberapa permasalahan diatas memiliki kaitan sangat erat dengan dimensi eksternalitas dan, karenanya, tidak mungkin hanya diletakkan kepada kapasitas TNI semata. Bahkan, untuk beberapa permasalahan tertentu, sumber persoalan dan kendala berada pada dinamika sistem makro, termasuk politik, ekonomi dan sosial yang telah, sedang, dan akan berjalan di tanah air.
Reformasi internal TNI yang telah berlangsung selama hampir satu dasawarsa ini, memang belum dapat dikatakan mencapai tujuan secara paripurna, namun jelas dia telah berada pada arah yang benar dan melalui jalan yang cukup mulus, sejauh menyangkut dinamika internal TNI sendiri. Yang masih menjadi tantangan adalah masalah perubahan kultur dalam TNI sendiri apakah telah cukup sesuai (compatible) dengan gagasan dan cita-cita reformasi yang sedang berjalan. Sebab, perubahan pada tataran organisasi dan kapasitas sumberdaya manusia, pada hakekatnya memerlukan kemampuan melakukan adopsi dan internalisasi budaya tertentu sehingga akan dapat tercapai optimalisasi kinerja. Dalam hal ini, keberhasilan reformasi internal TNI akan dipengaruhi oleh kemampuannya melakukan tranformasi budaya berdasarkan paradigma baru yang menjadi landasan sistem politik dan ketatanegaraan yang ingin ditumbuh-kembangkan setelah berakhirnya rezim Orba. Paradigma tersebut berpijak pada nilai dasar demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak dasar warganegara dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan menempatkan pemerintah sebagai alat untuk mencapai cita-cita Proklamasi sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. TNI memiliki posisi kunci sebagai kekuatan utama alat pertahanan negara yang netral dari pengaruh kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi, serta menjunjung tinggi professionalisme serta akuntabilitas kepada rakyat.
Hal ini bertolak belakang dengan paradigma integralistik yang dianut Orba dimana pemerintah mengatasnamakan diri sebagai representasi negara yang menjadi pusat kekuasaan. Dengan paradigma inilah sebuah sistem politik dan ketatanegaraan korporatis-otoritarian dikembangkan dan, di dalamnya, TNI menjadi alat kekuasaan pemerintah. Doktrin yang dibuat untuk TNI bukannya menjadikan diriya sebagai kekuatan utama bagi pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil (civilian supremacy), tetapi lebih kepada alat penguasa yang memiliki jangkauan otoritas sangat jauh, bukan saja menyangkut masalah pertahanan dan keamanan, tetapi juga politik, ekonomi, dan sosial-budaya! Tak heran jika kemudian TNI menjadi bagian dalam struktur kekuatan politik riil, yaitu Golkar; menjadi bagian integral dari struktur pemerintahan di daerah melalui konsep komando teritorial dan kekaryaan; dan melibatkan diri dalam kegiatan bisnis baik dalam skala kecil-menengah maupun raksasa.
Perubahan dan reformasi kultural dalam diri TNI sangat esensial, walaupun membutuhkan waktu dan kerja keras yang lama. Salah satunya adalah dengan melakukan perubahan kurikulum dalam kependidikan militer di setiap jenis dan jenjang dengan memberikan muatan mengenai perubahan paradigma tersebut. Perubahan kultural tidak akan terjadi secara tiba-tiba karena ia menyangkut dimensi-dimensi orientasi nilai, orientasi kepentingan, orientasi psikologis, dan juga historisitas TNI. Salah satu agenda yang paling penting di masa depan bagi TNI adalah di bidang reformasi kultural ini.
III. Problem Eksternalitas dalam Reformasi Internal TNI
Reformasi internal TNI yang telah berjalan sukses selama satu dasawarsa ini akan sangat dipengaruhi dan tergantung kepada faktor-faktor eksternal, khususnya dari dimensi politik ekonomi makro, dimensi hukum/peraturan perundang-undangan, dan dimensi hubungan institusional dengan pihak/lembaga di luar TNI. Hubungan dialektis antara TNI sebagai sebuah organisasi dan lembaga an sich dan sebagai lembaga yang menjadi sub-sistem dari suatu sistem nasional harus menjadi salah satu pertimbangan utama apabila diinginkan adanya suatu analisis yang cukup berbobot dan memadai untuk keperluan optimalisasi reformasi internal.
Hemat saya, masalah eksternalitas memiliki saham besar terhadap berbagai permasalahan reformasi TNI, khususnya dalam beberapa tema yang memiliki potensi politisasi tinggi dan kontroversial dalam wacana publik, sebagaimana saya sebutkan di depan. Oleh karena itu, pemahaman atas, dan penyelesaian terhadap masalah eksternalitas ini mutlak diperlukan karena dapat membantu kesimpang-siuran dalam memetakan persoalan yang pada gilirannya mempersulit perumusan solusinya. Apabila kedua faktor internal dan eksternal selalu dalam kondisi tidak harmonis atau tidak sinkron, saya khawatir bukan saja apa yang telah dilaksanakan secara sukses dan lancar oleh TNI dalam rangka benah dirinya menjadi sia-sia, tetapi yang lebih parah adalah apabila terjadi semacam moral hazard berupa ketidakpedulian dan kemandekan proses ke depan. Lebih jauh, jika moral hazard ini makin akut ia bisa menjadi pemicu dari sebuah bahaya yang lebih serius, yaitu krisis sistemik (systemic crises). Mengingat militer adalah sebuah organisasi milik negara yang memiliki monopoli terhadap alat-alat kekerasan dan mengingat TNI adalah kekuatan utama pertahanan negara, maka sangat mahal harga yang harus dibayar apabila krisis tersebut menjadi tak dapat diredam, yaitu terancamnya keberlanjutan dan keberadaan NKRI.
a. Dimensi Politik Ekonomi Makro
Walaupun reformasi dalam kehidupan politik telah berjalan hampir satu dasawarsa, kondisi dan situasi transisi tampaknya masih dominan sementara konsolidasi sistem demokrasi masih tetap ringkih. Indikasi yang paling menonjol adalah belum kuatnya rasa percaya diri pemerintah Presiden SBY yang, lebih dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, merupakan hasil dari sebuah pemilihan langsung dari 60% lebih rakyat yang berhak memilih. Capaian yang semestinya dapat menjadi sendi adari sebuah tatanan pemerintahan yang populer dan tinggi tingkat legitimasinya, namun ternyata berhasil dilakukan. Malahan semakin hari semakin tampak bahwa pemerintahan SBY tidak mampu/berdaya menjalankan agenda-agenda yang direncanakannya sendiri sebelum pemilu. Dengan demikian, sama halnya dengan pemerintahan-pemerintahan paska Soeharto sebelumnya, pemerintahan SBY masih meneruskan sifat transisi menuju demokrasi yang berciri ketidak-pastian serta belum terkikisnya kecenderungan dan pengaruh praktik politik sebelumnya.
Kondisi transisi dalam arena politik ini juga merembet dan diperparah oleh kehidupan ekonomi yang belum kunjung stabil serta membawa kepada tingkat kesejahteraan minimal yang penting untuk berkembangnya sistem demokrasi. Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil ditambah dengan semakin lemahnya daya tawar masyarakat lapis bawah (karena kemiskinan, pengangguran, ketertinggalan, kualitas hidup yang menurun), maka tatanan politik makro pun sejatinya sangat rentan terhadap upaya-upaya destabilisasi, baik dari dalam maupun dari luar. Apatisme terhadap sistem politik demokratis cenderung meluas, bukan saja karena kapasitas lembaga politik yang belum juga membaik, tetapi juga kekecewaan yang makin besar kepada politisi yang belum mampu membuktikan kemampuan dan komitmennya untuk meningkatkan pemberdayaan rakyat.
Dalam kondisi makro politik ekonomi seperti ini, jelas proses reformasi dalam tatanan politik formal mengalami erosi legitimasi dan pendangkalan makna. Institusi-institusi politik seperti parpol, DPR, DPD, dan DPRD menyaksikan diri mereka berada pada titik nadir kepercayaan publik sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hasil polling di media massa maupun lembaga-lembaga survei. Ditambah lagi dengan penampilan (performance) dan kinerja para politisinya yang semakin cenderung self-centered dan berpandangan jangka pendek serta mengutamakan isu-isu populis tapi instant, maka semakin pudarlah elan reformasi dan kepercayaan publik (public trust) kepadanya. Terjadilah semacam keterputusan komunikatif (communicative disjunction) dari para pekerja reformasi dan pendukungnya, terutama di tingkat massa bawah. Kalau toh masih tersisa, maka kesinambungan komunikatif antara keduanya saat ini cenderung tereduksi pada kesetiaan berbasis identitas, sehingga, tak terelakkan lagi, terjadilah suatu proses parokialisasi politik dalam skala massif di tanah air.
Lingkungan politik ekonomi makro seperti ini jelas sangat tidak kondusif bagi suatu kegiatan reformasi lembaga yang sangat strategis namun sedang memiliki masalah psikologis dalam perpolitikan di era reformasi, seperti TNI. Kalaupun tingkat kesungguhan dan political will dari para petinggi TNI cukup tinggi serta kapasitas dari lembaga-lembaga di dalam batang tubuh TNI cukup besar untuk melakukan proses tersebut, namun apabila TNI merasa dalam posisi “sendirian” dalam lingkungan makro politik ekonomi yang penuh ketidakpastian ini, maka akan sulit diharapkan agar terjadi optimalisasi dan gerak full speed sebagaimana diharapkan oleh para politisi sipil dan publik pada umumnya. Akan ada semacam “kegamangan”, atau dengan eufemisme, “kehati-hatian” yang sangat tinggi dari TNI dalam merealisasikan apa yang sudah dirancangkan, karena ia harus menjaga keharmonisan antara internalitas dan eksternalitas.
Gejala kehati-hatian dan kewaspadaan ini terlihat jelas manakala masalah-masalah sensitif seperti komando teritorial (Koter/kowil), hak pilih anggota TNI, penutupan bisnis TNI, dan RUU Peradilan Militer, dijadikan wacana publik baik di ruang publik formal seperti di DPR maupun di ruang publik bebas seperti media massa, forum seminar terbuka, dll. Sikap untuk lebih memilih low profile dan berhati-hati tersebut cukup beralasan manakala dikaitkan dengan belum tercapainya suatu bentuk harmonisasi dan sinergi dalam pemahaman-pemahaman masalah dasar dan strategis antara TNI dan para politisi, pengamat, LSM, dan kalangan masyarakat sipil lainnya yang memiliki concern terhadap reformasi internal TNI. Ditambah lagi dengan kondisi partai-partai politik yang penuh pertikaian internal serta kualitas wakil-wakil rakyat di DPR/D dan DPD yang kurang memadai menyebabkan komunikasi politik yang terjadi sering mengalami hambatan-hambatan, baik dari segi konseptual maupun teknis. Hasilnya adalah suatu wacana yang kendati berjalan cukup transparan dan membahas masalah substansial, namun hasilnya sering tidak signifikan. Wacana-wacana yang memiliki bobot politis berat dengan isu-isu yang sensitivitasnya tinggi terkesan ditanggapi secara defensif oleh pihak TNI. Hemat saya, trust building masih perlu terus menerus dilakukan ketimbang hanya saling menuduh bahwa salah satu pihak tidak serius atau memiliki motif ingin menyudutkan pihak lain.
b. Dimensi Hukum/Perundang-undangan
Dimensi hukum dan peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi proses reformasi internal TNI bersumber pada persoalan konseptual yang ada dalam Tap MPR maupun beberapa UU yang dipakai sebagai landasannya, misalnya:
b.1. Tugas Pertahanan dan Keamanan
Sebagaimana disebutkan di bagian depan, salah satu landasan utama yang dipakai untuk reformasi internal TNI adalah Tap No. VI/2000, yang menyatakan dibuatnya pemisahan antara fungsi “pertahanan” dan “keamanan” dimana yang pertama adalah tugas dari TNI dan yang kedua adalah tugas Polri. Bifurkasi atau pemilahan ini menyebabkan adanya kesimpangsiuran pemahaman mengenai konsep keamanan nasional (national security) itu sendiri yang sejatinya memiliki pengertian yang lebih luas. Keamanan nasional dalam pemahaman yang luas, adalah keamanan yang bukan saja bersifat fisik dan non fisik berupa pelanggaran hukum dan kejahatan di dalam masyarakat, tetapi juga yang menyangkut pula aspek pertahanan dari gangguan dan ancaman yang datang dari luar.
Dengan adanya konseptualisasi seperti ini, dimungkinkan adanya penafsiran yang salah seolah-olah tugas Polri jauh lebih besar dan melingkupi tugas TNI yang, sebaliknya, hanya mengurusi salah satu dari bagian keamanan nasional tersebut. Dengan adanya kesalahpahaman konseptual tersebut, terbuka pula kemungkinan munculnya wilayah “abu-abu” antara TNI dan Polri yang dapat memicu konflik antara keduanya karena penafsiran yang keliru. Padahal, semestinya masalah konseptual yang mendasar seperti ini tidak boleh terjadi, sehingga dapat mengganggu proses di tengah jalan. Keamanan nasional adalah perwujudan keamanan menyeluruh (comprehensive security) yang... multidimensional, termasuk keselamatan negara, masyarakat, dan individu (Prihatono, 2006: 192).
Adanya kesalahan konseptual ini merupakan eksternalitas yang dapat menjadi kendala bagi kelancaran reformasi TNI, karena akan memunculkan potensi ketidak jelasan yurisdiksi dan peran serta tugas antara TNI dan Polri. Suatu UU yang lebih mampu mengatur masalah keamanan nasional (kamnas) secara komprehensif harus dibentuk agar masalah ini bisa diselesaikan.
b.2. Kesimpangsiuran dan Tumpang Tindih Aturan
Dalam peraturan perundangan yang dipergunakan saat ini, baik UU No 3/2003 dan UU No. 34/2004 ditengarai masih adanya kesimpangsiuran, ketidak-jelasan, dan ketumpang-tindihan yang dapat menyebabkan interpretasi hukum yang saling bertentangan dan bahkan menciptakan suasana kevakuman hukum. Salah satu kesimpangsiuran misalnya terjadi pada pengaturan keikutsertaan anggota TNI aktif dalam Pilkada. Kendatipun dalam UU no. 3/2003 dan UU no. 34/2004 dinyatakan larangan bagi anggota TNI aktif untuk berpolitik praktis, namun ternyata keterlibatan menjadi calon dalam Pilkada masih dapat dilakukan, yakni dengan menggunakan UU no. 32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kendati pada akhir-akhir ini telah dikeluarkan surat edaran Panglima TNI yang mengharuskan agar calon dari TNI lebih dahulu berhenti dari dinas (bukan hanya cuti), namun tetap saja ada celah undang-undang yang senantiasa mambuka kontroversi.
Ketidak-jelasan dalam perundangan juga terjadi pada masalah hubungan antara Depertemen Pertahanan dengan TNI, khususnya kewenangan pihak yang pertama atas pihak yang kedua. Pasal 3 UU no. 3/2002, umpamanya, dapat menimbulkan suatu kesan seolah-olah koordinasi yang menjadi wewenang Dephan tidak memiliki aspek kewenangan pengawasan politik dan operasional terhadap TNI, karena hubungan langsung kepada Presiden. Padahal Dephan seharusnya memegang akuntabilitas politik atas masalah-masalah pertahanan, termasuk wewenang mengontrol TNI, sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 (3) UU yang sama. Dephan bukan hanya merumuskan kebijakan pertahanan negara, tetapi juga “kebijakan mengenai arah pengembangan kekuatan TNI,” seperti masalah-masalah procurement, pembinaan potensi pertahanan, pengelolaan sumberdaya nasional untuk pertahanan, industri pertahanan, dan anggaran pertahanan. (Prihatono 2006:36)
Tugas TNI dalam kerangka konseptual ini adalah melakukan elaborasi dalam bentuk pengembangan doktrin, penggunaan TNI, strategi militer dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tugas-tugas operasional dan pembinaan kekuatannya. Jadi potensi tumpang tindih tugas dapat diantisipasi dengan suatu deskripsi tugas yang makin transparan dan jelas, sehingga publik juga dapat ikut aktif melakukan pengawasan, baik melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif maupun secara langsung. Namun karena adanya ketidakjelasan tugas, maka ketentuan UU no 3/2003 bahwa TNI akan berada dibawah Dephan masih belum menemukan perwujudannya sebagaimana dikehendaki oleh reformasi.
Masalah lain yang muncul karena ketidakjelasan peraturan perundangan adalah mengenai apa yang disebut tugas-tugas perang dan non-perang dari TNI. Pasal-pasal yang mengatur hal ini dalam UU no 34/2004, khususnya pasal 7,8,9, dan 10 dapat menimbukan multitafsir sehingga masalah pemberdayaan wilayah pertahanan, yang merupakan tugas non perang, misalnya, dipahami sebagai bagian dari pembinaan teritorial yang dilakukan oleh struktur teritorial TNI/AD dan pemberdayaan wilayah pertahanan di masing-masing matra. Padahal dalam penjelasan pasal 7 dinyatakan bahwa tugas pemberdayaan wilayah pertahanan adalah membantu pemerintah menyiapkan potensi pertahanan, menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran, dan memberdayakan rakyat sebagai kekuatan pendukung. (Prihatono, 2006:35).
b. 3. Dukungan Perundang-undangan Lain
Selain permasalahan di atas, masih ada lagi hal yang menjadi kendala bagi reformasi internal TNI, yaitu masih diperlukannya beberapa perundangan lain yang akan lebih memperjelas dan mempercepat proses. Antara lain, diperlukannya UU Keamanan Nasional (Kamnas) sebagaimana disebutkan di depan, yang akan semakin mempertegas konsep pertahanan dan peran TNI di dalamnya. Selain itu juga diperlukan UU tentang Peradilan Militer yang akan lebih memberi kejelasan bagi refomasi hukum dalam kaitannya dengan TNI. UU yang akan mendukung bagi reformasi TNI yang lain adalah RUU tentang Komponen Cadangan dan Pendukung Pertahanan Negara, UU tentang Bela Negara, RUU tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, dan UU tentang Tata Ruang Wilayah Pertahanan.
Di luar itu, ada beberapa UU yang sekalipun tidak langsung berkaitan dengan masalah internal TNI, tetapi memiliki relevansi yang cukup besar terhadap proses reformas internal TNI, yaitu UU tentang Intelijen Negara, UU tentang Rahasia Negara, dan UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). Berbagai UU tersebut akan dapat dipergunakan untuk pegangan bagi kiprah TNI vis-a-vis publik pada umumnya di samping juga memposisikan TNI secara lebih jelas dalam konjungtur politik dan ketatanegaran RI di era reformasi
c. Dimensi Hubungan dengan Lembaga di Luar TNI
Akselerasi reformasi internal TNI pasti akan berkaitan erat dengan sejauhmana interaksi antara TNI dengan lembaga/organisasi di luarnya baik yang langsung terkait dengan kepentingannya maupun yang tidak langsung. Bagaimanapun juga, keberadaan TNI bukan dalam suatu kevakuman, dan ia adalah salah satu sub-sistem dalam sistem pertahanan negara, walaupun ia menempati posisi yang terutama di dalamnya. Dalam hal ini saya melihat reformasi internal TNI akan dipengaruhi oleh interaksinya dengan Departemen Pertahanan, Kepolisian RI, partai-partai politik, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil strategis seperti LSM, mahasiswa, ormas keagamaan, dan media.
c.1. Hubungan Dephan dengan TNI
Hubungan yang integratif-koordinatif dengan Dephan adalah sine qua non bagi percepatan dan keberhasilan reformasi TNI. Sampai saat ini, setelah hampir satu dasawarsa pemisahan tegas antara jabatan Menhan dengan Panglima TNI maka proses penyesuaian masih berlangsung, khususnya manakala jabatan politik Menhan diejawantahkan dalam sosok sipil dan diupayakan agar birokrasi Dephan juga diisi para professional dari kalangan sipil. Dengan demikian, upaya tata kelola lembaga yang memegang kendali kebijakan dalam pertahanan yang sebelumnya menjadi monopoli militer bergeser kepada kaum professional, khususnya dari kalangan sipil sesuai dengan semangat demokrasi dan civilian supremacy yang ingin ditumbuhkembangkan.
Pada kenyataannya, hingga sekarang masih ada kesan gamang di pihak Pemerintah, dalam hal ini Dephan untuk mempercepat proses tersebut dengan alasan kelemahan dalam sumberdaya manusia professional di kalangan sipil. Terlepas dari benar atau tidaknya alasan di atas, kelambanan dalam perubahan internal Dephan juga akan mempunyai dampak psikologis bagi TNI yang, pada gilirannya, mempengaruhi pula sense of urgency untuk melakukan percepatan perubahan. Dengan kondisi Dephan yang masih memiliki birokrasi di mana personel militer dominan pada jabatan-jabatan strategis di dalamnya, maka insentif untuk melakukan percepatan perubahan dari pihak TNI tidak cukup besar. Dephan kemudian akan berperan bukan sebagai pihak yang menjadi pemegang wewenang kontrol terhadap TNI sebagaimana dimaksudkan oleh UU, namun akan cenderung dikesankan sebagai perpanjangan tangan TNI, suatu hal yang sama sekali berbeda dengan semangat reformasi itu sendiri.
Keniscayaan adanya distansiasi antara Dephan dan TNI ini pada hakekatnya sudah diharapkan realisasinya baik dalam Tap MPR No VI/2000 maupun dalam UU no. 3/2002; namun karena adanya ketidak-jelasan dan mungkin juga suatu realitas politik yang dihadapi oleh Pemerintah paska Orba, tampaknya belum akan berubah banyak. Kendati Dephan telah berusaha menunjukkan komitmen politiknya melalui serangkaian perubahan kebijakan seperti procurement alutsista dan penghapusan bisnis TNI, namun dalam realisasinya masih menimbulkan banyak tanda tanya publik, khususnya di DPR dan kalangan LSM yang memiliki kepedulian terhadap reformasi TNI. Demikian pula dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan penyelewengan, seperti penimbunan senjata oleh (alm) Koesmayadi, pembelian Heli, dll., menunjukkan lemahnya kontrol politik dan akuntabilitas Dephan.
c. 2. Hubungan TNI dengan Polri
Tak dapat disangkal bahwa pemisahan Polri dari TNI sebagaimana dikehendaki dalam reformasi bidang pertahanan dan keamanan telah membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap kondisi internal TNI. Dari suatu organisasi yang memiliki cakupan pertahanan dan keamanan dan wilayah pengaruh (sphere of influence) yang luas, kini berubah dan terfokus kepada bidang pertahanan serta lingkup yang tidak seperti sebelumnya. Sedangkan bagi Polri, kemandiriannya dari TNI tentu bukan hanya memiliki pengaruh psikologis baginya, tetapi juga bertambahnya kapasitas dan perannya sebagai aparat keamanan dan penegak hukum di negeri ini.
Perubahan struktural tersebut tentu menghendaki proses adaptasi dan penyesuaian keduanya dan ini tentu tidak bisa serta merta dituntaskan dalam tempo sekejap. Pergelutan antara eforia di satu pihak dengan keharusan sikap menahan diri di pihak lain tentu tak terhindarkan, baik dari kalangan TNI maupun Polri. Perasaan yang muncul karena menemukan kondisi mandiri di kalangan Polri tentu juga memerlukan penyesuaian psikologis yang tidak gampang. Apalagi keharusan untuk melakukan transformasi kultural dan orientasi kerja sebagai akibat terjadinya perubahan paradigma dalam politik dan ketatanegaraan, sudah barang tentu menyebabkan munculnya berbagai gejala “cultural shock” atau kejutan budaya.
Karena itu diperlukan waktu cukup untuk menciptakan hubungan dan keseimbangan baru antara TNI dan Polri, khususnya di daerah-daerah dimana relasi antara keduanya sering kurang harmonis, misalnya di wilayah-wilayah rawan dan sering mengalami konflik yang bersifat horizontal. Segera harus dicatat bahwa proses penyesuaian ini pun tidak sedang terjadi pada sebuah konteks kemasyarakatan yang lebih-kurang normal, tetapi justru ketika masyarakat sedang menghadapi guncangan-guncangan. Maka cukup wajar apabila relasi TNI dan Polri harus melewati sebuah dinamika penyesuaian yang kadang tidak mulus dan diwarnai oleh pergesekan-pergesekan.
Diperlukan adanya suatu kemauan dan kemampuan untuk melakukan sebuah proses dari kedua pihak karena resiko yang harus ditanggung akan sangat besar apabila kecenderungan rivalitas menjadi tak terkontrol. Apalagi jika kemudian tatanan politik dan hukum tidak kondusif untuk mendukung penyesuaian tersebut secara institusional. Baik reformasi yang sedang dipacu oleh TNI maupun oleh Polri niscaya akan mengalami hambatan dan, bukan tidak mungkin, bahkan mengalami setback.
c. 3. Hubungan dengan Organisasi Masyarakat Sipil
Reformasi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari adanya kehendak yang kuat agar terjadi suatu pemberdayaan masyarakat sipil (civil societyvis-a-vis negara. Kecenderungan untuk melakukan konsolidasi yang serba cepat mengakibatkan sering terjadinya miskomunikasi dan kesalahan pengertian antara aktor-aktor politik, baik dari organisasi masyarakat sipil, maupun dari negara, termasuk di dalamnya TNI.
Di situlah kemudian muncul berbagai tuntutan yang kendati memiliki keinginan atau niat yang baik namun dalam pelaksanaannya sering menggunakan cara atau metode yang tidak compatible dengan realitas sosiologis dan psikologis yang ada di depan mata. Organisasi masyarakat sipil, khususnya kalangan mahasiswa, pemuda dan LSM, memiliki keinginan sangat kuat agar reformasi TNI sebagai salah satu amanat reformasi dijalankan secara cepat dan fundamental. Bahkan acap kali terjadi bahwa kehendak reformasi tersebut terbaca secara negatif oleh TNI sebagai upaya untuk delegitimasi atau mengintervensi terlalu dalam urusan internnya atau penampilan sikap yang dianggap pencerminan pandangan anti terhadap TNI. Kasus-kasus tuntutan pengadilan HAM kasus tanjung Priok, Timtim, Trisakti, Semanggi I dan II, penghilangan para pekerja demokrasi, dst., bukan saja hanya bisa dipahami sebagai salah satu bentuk koreksi terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh Orba dengan menggunakan TNI, tetapi sebaliknya juga dapat dimaknai sebagai upaya delegitimasi dan sikap antipati terhadap TNI.
Oleh sebab itu, hubungan TNI dengan organisasi masyarakat sipil menjadi masalah eksternalitas yang sangat penting untuk dipahami jika ingin diperoleh sebuah penilaian yang utuh mengenai proses reformasi internal. Selama hampir satu dasawarsa belakangan ini, saya khawatir bahwa persepsi yang dimiliki oleh sebagian besar organisasi masyarakat sipil mengenai TNI masih belum beranjak dari kecenderungan menilai secara negatif atau sekurang-kurangnya skeptis dan ambigu. Jika persepsi seperti ini tidak segera mengalami pergeseran kearah yang lebih positif, maka ia akan mempersulit tumbuhnya kepercayaan (trust) antara kedua belah pihak.
Salah satu upaya yang harus dilakukan oleh TNI adalah suatu dialog terbuka yang terus menerus dengan organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil yang memiliki posisi strategis dalam kancah reformasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Dugaan sementara saya adalah banyak diantara organisasi tersebut yang sebenarnya belum memahami atau menerima kenyataan bahwa TNI secara tulus dan cukup konsisten telah melakukan reformasi internal dengan capaian-capaian yang signifikan dan, tentu saja, berikut kendala-kendala yang masih dan akan harus dihadapinya. Dialog seperti ini akan dapat mengurangi miskomunikasi dan kesalah-pahaman dan pada gilirannya memberikan dorongan kepada TNI untuk semakin memiliki kedekatan kepada masyarakat sipil. Pendekatan-pendekatan dialogis dengan para pemimpin ormas keagamaan, mahasiswa dan pemuda serta LSM-LSM berpengaruh di wilayah-wilayah strategis di tanah air akan sangat membantu pulihnya trust terhadap TNI serta memantapkan langkah TNI dalam melaksanakan reformasi internalnya.
IV. Kesimpulan
Selama hampir sepuluh tahun belakangan ini, TNI dengan cukup konsisten telah menjalankan amanat reformasi dengan melakukan reformasi internal secara sistematis, gradual dan dengan sasaran yang jelas. Keberhasilan TNI dalam hal ini harus mendapatkan apresiasi dari masyarakat serta menjadi salah satu barometer bagi keberlangsungan konsolidasi demokrasi sebagai kelanjutan dari suatu masa transisi dari suatu tatanan politik otoriter menuju tatanan demokratis.
Dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja TNI melakukan reformasi internal, maka tidak cukup apabila ukuran keberhasilan dan kegagalan hanya dilihat dari kapasitas internalnya tanpa mengaitkan dengan eksternalitas yang turut menentukannya. Pada hemat saya, eksternalitas yang dihadapi oleh TNI justru lebih cenderung menjadi kendala ketimbang faktor pendukung proses reformasi internal tersebut. Faktor internal yang menurut hemat saya masih memerlukan perhatian besar dari TNI adalah transformasi kultural dan psikologis yang memerlukan penyesuaian cukup lama. Perubahan dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan yang lebih mencerminkan tuntutan zaman dan alam demokrasi, tampaknya merupakan keniscayaan dan prioritas utama bagi TNI ke depan, selain pengembangan doktrin, postur dan strategi pertahanan yang baru sesuai dengan amanat reformasi.
Di sisi lain, eksternalitas yang ada dan mempengaruhi TNI tampaknya masih belum berubah menjadi faktor pendorong yang positif bagi akselerasi reformasi internal TNI di masa-masa yang akan datang. Bahkan jika tidak dilakukan antisipasi dengan tepat dan efektif, reformasi internal yang sudah berjalan baik tersbut akan mengalami setback dalam berbagai bentuknya, mulai dari melemahnya semangat melakukan reformasi sampai pada ekstremitas penolakan dan keinginan untuk kembali kepada kiblat dan paradigma lama.
Oleh sebab itu, perubahan-perubahan mendasar dalam eksternalitas tersebut akan sangat menentukan perjalanan proses reformasi internal TNI. Stabilisasi politik dan pemulihan ekonomi yang mampu memberikan kepastian dan kesejahteraan minimum kepada rakyat, perubahan dalam payung perundangan yang lebih mampu memberi kejelasan dan keteraturan bagi reformasi bidang pertahanan dan keamanan, keberhasilan reformasi Polri, serta pulihnya trust diantara masyarakat sipil dan TNI adalah prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi jika diinginkan terjadinya akselerasi reformasi TNI. Sebaliknya, apabila eksternalitas tersebut tidak mengalami perubahan menuju kearah yang positif maka apa yang dicapai oleh TNI selama sepuluh tahun ini mungkin taka akan dapat dianjutkan atau diulangi lagi. TNI sebagai pilar utama dalam sistem pertahanan negara akan mengalami kemunduran yang akibatnya sangat fatal bagi keberlanjutan dan keberadaan NKRI.
Jakarta- Bangkok, 31 Maret-1 April 2007 m.a.s.h
0 comments:
Post a Comment