Monday, May 5, 2008

KABAR DARI LA JOLLA, CALIFORNIA (1)

 DSCN3210

1. La Jolla, CA. 27 April, 2008: Saya tiba di La Jolla, California, sekitar jam 18.00 waktu setempat. Udara menyengat, kendati tidak selembab di Jakarta. Kelelahan akibat perjalanan di pesawat selama lebih dari 20 jam, ditambah jet lag, menyebabkan badan saya lunglai setiba di Apartemen. Makan malam terpaksa harus dilewati saja karena sudah tidak tahan untuk segera tidur. Harapan untuk lelap sampai pagi ternyata kandas karena jam 12.00 malam saya sudah bangun dan tidak bisa tidur lagi sampai esok hari!

La Jolla adalah kota di sebelah barat laut San Diego, kawasan yang terletak di bagian perbukitan dan berhawa sejuk. Perkembangan La Jolla tidak terlepas dari perkembangan San Diego secara keseluruhan.  Menurut pengamatan saya, kota San Diego dan sekitarnya telah sangat berubah dibanding ketika pertama kali saya berkunjung pada 1985, saat saya "mampir" sebulan dalam perjalanan menuju ke Honolulu untuk melanjutkan studi paska sarjana di Universitas Hawaii. Kurun waktu duapuluh tiga tahun telah merubah total lansekap kota yang menjadi salah satu pangkalan utama Angkatan Laut (US Navy) dan Marinir (US Marine Corps, USMC) Amerika Serikat ini. Topografinya yang terdiri atas gabungan pantai panjang dan perbukitan, dengan cuaca yang sejuk karena hembusan angin dari samudera Pasifik, menjadikan San Diego sangat ideal untuk bisnis, wisata, dan juga tempat pendidikan  yang berskala internasional. Tak heran apabila kota ini menjadi rumah dari dua universitas terkemuka di negara bagian California, yaitu Universitas San Diego (San Diego State University) dan Universitas California di San Diego (University of California, San Diego). Dapat dikatakan, setelah Silicon Valley, yang terletak di sebelah Timur kota San Francisco, San Diego menjadi tempat kedua pusat pengembangan teknologi telematika di negara bagian yang dikomandani oleh Gubernur Arnold Schwazenegger ini. Dua universitas terkemuka ini, khususnya UC San Diego  (UCSD) yang kampusnya berada di La Jolla, menjadi pusat unggulan bagi litbang iptek (science and technological R&D) dan menangguk trilyunan dollar investasi berasal dari pemerintah federal, pemerintah negara bagian, dan swasta dari dalam maupun luar negeri. Selama dua dasawarsa terakhir, San Diego melesat cepat melebihi kota-kota sekelilingnya seperti Santa Barbara, San Luis Obispo, Palm Spring dsb. berkat keterlibatannya dalam bisnis dan perdagangan global di belahan barat AS.

Kecenderungan untuk memandang ke depan dan terlibat intensif mengarungi gelombang globalisasi tampak nyata dalam geliat kota dan penduduknya. Lihat misalnya, kisah IR/PS-UCSD sendiri sebagai contoh. Duapuluh tiga tahun lalu, saat saya mengunjungi kota pantai barat AS ini, Universitas tersebut belum memiliki Jurusan Hubungan Internasional dan Kajian Wilayah Pasifik di kampusnya. Jurusan tersebut baru didirikan pada 1988. Namun dan pada perayaan ulang tahunnya yang ke 20 pada Mei 2008, ia telah menghasilkan tak kurang dari 1700 lulusan dan alumni!, sebuah capaian yang bisa dibilang luar biasa. Jarang kota besar di Amerika yang begitu majemuk penduduknya dan outward looking visinya seperti San Diego. Hampir 40% mahasiswa di UCSD, misalnya, berasal dari Asia. Belum lagi kalau dilihat letak geografisnya yang bersebelahan dengan Mexico dengan kota Tijuana menjadi tetangga terdekat San Diego. Masyarakat Latino jelas merupakan bagian yang sangat besar dalam komposisi demografi kota ini. Kegiatan ekonominya yang didominasi oleh bisnis internasional dan teknologi tinggi menjadikan kota ini telah bersiap menjadi garda depan bagi kawasan Barat AS, sebagaimana New York dan Boston di kawasan Timur. Tak pelak lagi, wilayah teluk (Bay Area), di mana kota San Diego berada, menjadi salah satu pintu gerbang utama AS untuk memasuki abad 21 dikukuhkan sebagai abad Pasifk (Pacific Century), karena ia adalah pusat strategis, perdagangan, budaya/pendidikan, dan wisata. Kalau pun Hawaii juga disebut sebagai pusat pengembangan strategis AS di Pasifik, namun karena letaknya yang jauh dari daratan (mainland) Amerika maka San Diego jelas memiliki keunggulan tersendiri. Ia lebih dekat dengan pusat-pusat unggulan iptek dan perdagangan serta pemerintahan ketimbang Honolulu sehingga dari segi biaya dan ekonomi akan lebih bersaing.

2. Senin tgl 28 April 2008: Hari pertama saya di kampus UC San Diego, La Jolla. Pihak pengundang, yaitu Program untuk Tamu Pimpinan Kawasan Pasifik (Pacific Leadership Fellows) menempatkan saya di kondominium Regents La Jolla di dekat kampus. Kompleks kondominium dan hotel yang permai dengan arsitek khas wilayah perbatasan AS-Meksiko (campuran antara arsitek modern dan mediteranian) itu memiliki kurang-lebih dari seratus kamar dan dikelola oleh Oakwood Corporate Housing. Saya mendapat kamar di lantai 4 sayap bagian utara dengan kamar besar dilengkapi ruang makan dan dapur lengkap (fully furnished) serta perangkat telematika mutakhir. Seandainya saya masih menjadi mahasiswa paska sarjana seperti saat di Honolulu atau sebagai peneliti di LIPI, tempat seperti ini tentulah seperti mimpi menjadi kenyataan. Betapa tidak, seluruh kenyamanan yang bisa dibayangkan seorang scholar tersedia lengkap. Bukan saja peralatan yang menunjang kegiatan akademis, tetapi kenyamanan lingkungan serta ketenangan suasana kampus membuat oarang bisa konsentrasi penuh untuk berolah pikir di atas menara gading. Sayangnya, saya sekarang bukanlah seorang scholar, par excellence, lagi. Saya merasa seperti mengunjungi sebuah kampung yang selalu teringat (a remembered village) namun ketika berada di sana ternyata tak sebagaimana yang dibayangkan. Tentu saja saya masih menikmati suasana kampus Amerika yang khas: bangunan-bangunan anggun di tengah pertamanan asri dan pepohonan rindang, bau buku-buku di perpustakaan yang khas, aroma kopi yang menyebar dari kafe-kafe, toko buku  milik universitas yang penuh sesak tetapi tidak gemuruh, dan pasti, teriakan dan senda gurau mahasiswa undergrads memecah kesenyapan dan mengingatkan kita bahwa dunia di luar masih terus berjalan.

Toh, kenangan-kenangan lama semasa jadi mahasiswa masih agak sukar membuat saya merasa sebagai "bagian" dunia akademis, setidaknya sampai dua-tiga hari ini. Ada kecanggungan tersendiri ketika pagi itu saya diperkenalkan kepada Dekan Sekolah Paska Sarjana Hubungan Internasional dan Kajian Pasifik (Graduate School of International Relations and Pacific Studies atau IR/PS), Prof. Peter F.Cowhey dan Direktur Pusat Ekonomi Pasifik (Center on Pacific Economies, atau CPE), Prof. Gordon H. Hanson. Dean Cowhey, begitu panggilan populer beliau, boleh jadi adalah sosok akademisi dan profesional yang utuh. Bukan saja beliau telah mengabdikan diri sebagai pengajar di UCSD lebih dari dua dasawarsa amanya dan menjadi Anggota Vice Chancellor (semacam Wakil Rektor) UCSD bidang Masalah Internasional, tetapi juga pernah menjadi staff di White House pada masa Bill Clinton menjabat Presiden. Selain itu, pengalaman lapangan sebagai pakar dalam bidang telekomunikasi dan kebijakan informasi, telah membuatnya dikelnal luas di kalangan corporate maupun peneliti telekomnikasi dan informatika. Itu pula yang menyebabkan beliau menyandang titel Qualcomm Professor di bidang Communication and Technology, selain Professor di bidang Hubungan Internasional di UCSD, dan pernah menjabat Kepala Divisi Kebijakan dan Peraturan Internasional di FCC. Lulusan dari dua Universitas kondang di AS (BA di Georgetown Univ dalam Foreign Services; M.A dan Ph.D. dari UC Berkeley dalam ilmu politik) ini juga dipercaya oleh University of California sebagai Direktur Lembaga Konflik dan Kerjasama Global (Institute on Global Conflict and Cooperation) dari 1999 sampai 2006. Sedangkan Prof Hanson adalah ekonom muda yang sangat cemerlang dan, karenanya, diserahi untuk mendirikan Pusat penelitian ekonomi di kawasan Pasifik (CPE). Ditangannya juga program Pacific Leadership Fellows dikelola selama lebih dari dua tahun belakangan ini. Program ini dimaksudkan untuk mengundang para pemimpin yang sedang menanjak reputasinya dari negara-negara Asdia dan Pasifik agar mereka melakukan dialog, penelitian, dan mengajar mengenai permasalahan terkini berkaitan dengan issue-issue strattegis di bidang keamnana, politik, ekonomi, dan kebijakan-kebijakan publik. Para fellows program ini akan dimnta berinteraksi dengan dosen-dosen, pebisnis, pemimpin masyarakat di San Diego dan California, serta organisasi-organisasi masyarakat sipil.

3. Selasa, 29 April 2008: Acara makan pagi di Hotel Estancia dengan Dean Cowhey berlangsung sangat menyenangkan. Bukan saja karena hotel di kampus ini sangat menawan, dengan arsitek tradisional "Hacienda style" dan taman-taman bunga yang sedang mekar, tetapi juga karena keakraban beliau terhadap tamunya. Perbincangan selama sarapan berkisar tentang perpolitikan Indonesia dan program-program IR/PS serta kemungkinan pengembangan dan networking ke negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia. Dari obrolan santai itu saya baru tahu bahwa Dean Cowhey sudah beberapa kali datang ke Jakarta dalam kapasitasnya sebagai penasehat Qualcomm, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di AS yang bermarkas di San Diego, juga sebagai anggota Komisaris sebuah perusahaan IT di Jepang. Beliau menaruh perhatian serius terhadap aplikasi IT untuk pertanian di kawasan Asia dan Pasifik, khususnya bagaimana agar inovasi yang sangat pesat dalam bidang interface software yang terjadi pada HP, Internet, dsb juga bisa diterapkan untuk kepentingan para petani, nelayan dsb. Beliau juga ternyata tahu bahwa ketika saya menjabat sebagai Meneg Ristek pada 1999-2001, salah satu yang paling saya prioritaskan adalahpengembangan iptek, khususnya pengembangan IT dan aplikasinya, untuk daerah-daerah, seperti program Iptekda, Warintek, insentif HaKI, dst. Terus terang saya agak terkejut karena saya tidak pernah menyangka bahwa beliau mengundang saya ke Universitas ini antara lain didasari atas pengalaman saya  sebagai menteri Ristek, bukan hanya karena saya sorang akademisi cum politisi!

Siang harinya, sambil makan siang saya diminta memberi ceramah di depan para mahasiswa paskasarjana IR/PS mengenai minat akademis dan non akademis yang saat ini saya geluti. Bagi saya, hal ini sangat menarik karena dari sana saya bisa menetahui sejauhmana minat para mahasiswa terhadap wilayah ASEAN, khususnya Indonesia. Tampaknya mahasiswa IR/PS cenderung memfokuskan diri ke Cina, Jepang dan Korea, atau ke wilayah Amerika Latin seperti Mexico, Guatemala, Panama, dsb. Kendati demikian, ada juga beberapa mahasiswa yang menanyakan masalah Indonesia, khususnya kebijakan-kebijakan publik berkaitan dengan penanaman modal asing. Selain itu, dalam acara yang dipandu oleh Prof. Barbara Walter itu, pertanyaan sekitar demokratisasi dan reformasi di indonesia juga mengemuka, khususnya bagaimana mengatasi politik identitas dan peran media di dalamnya. Prof. Hanson yang juga hadir pada acara makan siang dengan para mahasiswa tersebut juga mengemukakan pandangannya mengenai masalah konflik yang berdasarkan politik identitas tersebut. Acara yang sedianya hanya satu jam itu, ternyata harus berkembang menjadi lebih lama karena perbicangan yang menarik.

4. Rabu, 30 April 2008: Hari ini saya harus mengikuti kegiatan wajib bagi para tamu ilmuan dari luar yang baru datang, yaitu  "orientasi" oleh pihak Universitas yang diselenggarakan oleh International Student and Scholar Office (ISSO). Dalam kegiatan selama dua jam ini, bersama-sama para pemegang visa J-I, saya diberi berbagai penjelasan mengenai aturan yang harus diikuti oleh para pemegang visa tersebut selama di kampus dan tinggal di AS. Banyak peraturan keimigrasian yang berubah dari masa saya masih kuliah di tahun sembilanpuluhan, terutama dengan terjadinya serangan teroris pada 11 September 2001. Peran dan fungsi HSD (Homeland Security Department, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS) sangat menonjol, khususnya dalam memantau para migran dan non migran yang berada di negeri ini. Salah satu lembaga yang dulu tidak ada untuk memantau para pemegang visa pertukaran adalah SEVIS (Student Exchanges Visitor Information, Informasi Pengunjung Pertukaran Mahasiswa), sebuah data base yang mengumpulkan dan memantau seluruh kegiatan program pertukaran mahasiswa dan ilmuwan yang datang ke AS. Kendati SEVIS sudah ada semenjak 1996, tetapi menjadi baru menjadi prioritas utama sejak berlakunya apa yang disebut UU Patriot Amerika (USA PATRIOT ACT). Nama UU ini sebenarnya adalah singkatan dari "Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism" (menyatukan dan memperkuat Amerika dengan memberikan alat yang tepat untuk menangkap dan menangkal tindak terorisme). Dengan UU inilah HSD menyimpan seluruh informasi para pendatang dari luar AS, khususnya pemegang visa pertukaran (F, J, dan M). Akibatnya, biaya pembuatan vis-visa pertukaran menjadi dobel dibanding dengan visa lain, seperti vis B (kunjungan), kendatipu jangka waktunya bisa lebih pendek! Visa J-I saya, misalnya yang hanya berlaku1 bulan (ditambah grace period 30 hari setelah habis masa berlakunya), biayanya sekitar Rp 2. 500.000 karena harus membayar bea di Konsuler Jakarta (Rp 1.200.000) ditambah dengan bea SEVIS (US $ 130). padahal visa B yang berlaku 5 tahun lamanya hanya dibebani biaya Konsuler saja.

3. Kamis, 1 Mei 2008: Entah kenapa cuaca dua hari ini menjadi dingin dan berangin. Kata orang-orang yang kebetulan saya tanya, ini sangat tidak biasa terjadi di musim Spring. Walaupun langit terang benderang dan matahari menyengat, tetap saja saya harus memakai sweater untuk menolak dingin. Saya lebih banyak di ruangan kantor untuk menyelesaikan masakah administrasi dan mengenali komputer dan internet yang akan saya pakai selama berada di La Jolla. Bagi saya yang sudah lama memakai jaringan internet yang lambat dan byar pet di Jakarta, kali ini benar-benar membuat saya bisa menikmati rasanya berselancar di dunia maya. Melihat YouTube dan film-film lewat internet dengan real time, sangat menyenangkan. Laptop saya yang sudah agak "jadul" itupun ternyata masih lebih dari lumayan untuk melayani keperluan saya. Tak terasa waktu merambat cepat dan makan siang menjadi molor dua jam dari biasanya! Jam 14.00 persis saya baru makan siang.

Hari ini, program officer saya. Carlet Altamirano Sanz, mengajak saya bersama suaminya untuk ke kantin Universitas yang khusus menyediakan pizza. Suami Carlet, Vincente Sanz, adalah orang Spanyol yang benar-benar gila bola (dia mengatakan "soccer is the real football"). Hari ini ada tayangan pertandingan langsung antara Liverpool vs Chelsea di ESPN3 dan bisa ditonton di kantin Pizza di kampus. Sambil menikmati pizza ukuran extra large, kami bertiga ikut menyoraki Liverpol bersama pengunjung kantin yang lebih dari lima puluh orang dan mendukung tim berkostum oranye itu. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa dari Asia atau Eropa. Sayang Liverpool harus menerima kekalahan dari Chelsea. Vincente pun rada kecewa, karena dia sangat menjagoi Liverpoool yang memiliki beberapa pemain Spanyol seperti Vieira.  Dia juga mengatakan, bola membuatnya  ingin pulang ke Sevilla di mana dia bisa menyoraki tim kotanya, Real Betis, yang musim ini cukup lumayan di pertarungan Liga Spanyol. Ketika dia bertanya tentang sepakbola di Indonesia, saya hanya bisa mengatakan bahwa orang Idonesia juga banyak yang gila bola, tetapi tim sepak bola Indonesia paling ahli dalam soal kalah bertanding, bahkan di wilayah ASEAN sekalipun! Tentu saja Vincente hanya bisa termangu-mangu kenapa hal itu bisa terjadi, padahal penduduk negeri saya begitu besar. Saya jawab, Singapura juga negeri kecil, tapi ekonominya jauh melebihi Indonesia. Jadi ukuran negara dan jumlah penduduk kurang relevan untuk soal mutu manusianya.

(bersambung)

 

m.a.s.h

Share:

1 comments:

  1. I am very proud of and so happy for you! Keep up the good work so we can always hope for the better tomorrow. As it says, one act of random kindness at a time. Congratulations!

    ReplyDelete

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS