Wednesday, October 1, 2008

MENYAMBUT "HARI KEMENANGAN" DENGAN MENJADIKAN AHLAQUL KARIMAH SEBAGAI LANDASAN UTAMA DALAM HIDUP:

KHUTBAH IEDUL FITRI 1429H DI MASJID AL-MUHAJIRIN, PAMULANG, TANGERANG

Allahu Akbar x3..Walillahil Hamdu.

Para Jama’ah Iedul Fitri Yang Berbahagia,

Pertama-tama, marilah kita mengucapkan puji syukur ke Hadirat Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah memberikan rahmat, karunia dan nikmatNya kepada kita semua, sehingga pada pagi yang cerah ini kita dapat bersama-sama menjalankan ibadah sholat Iedul Fitri untuk melengkapi kesempurnaan ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan yang diberkati (Ramadhan al Mubarak).

Seluruh ummat Islam di dunia pada hari-hari ini sedang merayakan Iedul Fitri sebagai Hari Kemenangan mereka, yaitu kemenangan perjuangan spiritual yang dalam rangka mengembalikan jatidiri mereka kepada Fitrahnya. Pada saat yang sama ummat Islam di seluruh penjuru dunia juga merayakan Iedul Fitri sebagai ekspressi kepatuhan terhadap perintah Allah dalam Al Qur’an:

“Dan hendaknya engkau sempurnakan puasamu dan bertakbirlah untuk mengagungkan NamaNya karena petunjuk yang telah diberikanNya kepadamu, agar supaya kamu sekalian bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).

Shalat Iedul Fitri yang kita tegakkan, Takbir dan Tahmid yang kita kumandangkan adalah pernyataan syukur dan sekaligus peneguhan ketakwaan kita kepada Allah swt. yang telah memerintahkan ummat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa fardhu yang memiliki arti sangat penting bukan saja bagi kita sendiri, tetapi sejatinya juga bernmanfaat bagi seluruh ummat manusia. Puasa, menurut Firman Allah, adalah ibadah yang juga dilakukan dan diwajibkan kepada ummat-ummat sebelum kita :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu menjalankan puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)

Mengapa ibadah puasa sedemikian penting dalam siklus kehidupan manusia? Tak lain adalah karena melalui puasa nilai kita sebagai mahluk Allah yang paling baik mendapatkan momentumnya, sehingga membuat kita secara eksistensial lebih unggul dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lain (fii ahsani taqwiim). Dengan berpuasa kita sejatinya sedang menjalani sebuah proses pembersihan diri secara rokhaniah agar kita benar-benar menjadi sosok yang sempurna, atau Insanul Kamil. Bukanlah suatu kebetulan apabila puasa wajib itu dilaksanakan dalam bulan yang bernama Ramadhan yang secara harfiah bermakna “pembakaran,” karena memang puasa adalah sebuah proses “pembakaran” atas semua kotoran-kotoran yang masih menempel dalam jiwa kita agar supaya kita kembali kepada suatu kondisi bersih dan suci. Manakala kita telah meyelesaikan proses pensucian diri tersebut, maka kita berhak untuk merayakan “kemenangan” tersebut dengan bertakbir dan tahmid dan menegakkan sholat Iedul Fitri. Kemenangan yang dimaksud adalah kembalinya kondisi kemanusiaan kita kepada keaslian (al-fitr). Dengan bermodalkan kondisi rokhani yang telah suci tersebut kita memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas amal dan perbuatan dalam kehidupan nyata.

Allahu Akbar x3..

M’asyiral Muslimin wal Muslimat Rahimakumullah!

Jika kita renungkan secara mendalam, ibadah puasa Ramadhan adalah salah satu diantara bukti-bukti utama bahwa Islam yang diturunkan oleh Allah melalui junjungan kita Rasulullah saw bertujuan mengangkat derajat manusia sebagai ciptaan Allah yang mulia, baik pada dimensi jasmani maupun juga rokhani. Setiap tahun, manusia-manusia yang menerima petunjuk Allah tersebut diberi kesempatan olehNya utuk melakukan sebuah proses pencucian rokhani, yang bisa kita ibaratkan dengan suatu proses “turun mesin”, agar supaya terjadi pembaharuan kembali (renewal) sehingga pada saat menjalani kehidupan sebagai hamba Allah dan mahluk sosial selalu dalam kondisi prima baik lahir maupun bathin. Karena manusia pada hakekatnya terdiri atas komponen fisik dan non-fisik yang memerlukan keseimbangan atau harmoni antara keduanya. Bukan saja kita memerlukan jasmani yang sehat dan kuat, tetapi tak kalah pentingnya adalah rohani yang sehat dan kuat pula. Puasa Ramdhan berfungsi sebagai proses penguatan dan penyehatan rokhani seperti sabda Nabi Muhammad saw :

“Wahai ummat manusia, sesungguhnya engkau sekalian telah dinaungi oleh bulan yang agung dan penuh keberkahan. Bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang (nilainya) lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang di dalamnya Allah mewajibkan engkau berpuasa di siang harinya dan qiyam di malam harinya adalah sunnah. Maka barangsiapa mendekatkan dirinya kepada Allah dengan sebuah kebajikan, (nilainya) sama dengan mengerjakan kewajiban di bulan lain. Dan barangsiapa yang melaksanakan sebuah kewajiban di bulan Ramadhan, maka (nilainya) sama dengan melaksanakan 70 kewajiban pada bulan yang lain. Bulan Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran pahalanya adalah surga.” (HR. Ibnu Khuzaimah RA).

Bertolak dari Hadits tersebut, kita dapat memahami bahwa bulan Ramadhan adalah sebuah momentum penyempurnaan rohani manusia yang tiada taranya. Bulan Ramadhanlah yang memiliki keistimewaan dimana “sepertiga awalnya adalah penuh rahmah, sepertiga di tengahnya adalah lautan ampunan dari Allah, dan sepertiga akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” Bukan itu saja. Ramadhan adalah bulan dimana Al Qur’an mula-mula diturunkan kepada Rasulullah, sebagaimana di nayatakan dalam Al Qur'an:

Haa Miim! Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan! Sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. Dan sesungguhnya Kami (Allah) lah yang memberikan peringatan . Pada malam tersebut dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Ad Dukhan: 1-4)

Demikian juga Allah menyatakan :

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan ) Al Qur’an sebagai petunjuk manusia.” (Al Baqarah: 185).

Kemuliaan dan keistimewaan Ramadhan juga dinyatakan Allah sebagai bulan di mana nilai ibadah kita ditingkatkan dengan sangat tinggi sebagaiman firmanNya dalam Surah Al Qadar:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam Qadar (kemuliaan). Dan tahukan kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (Al Qadar: 1-4).

Belum lagi berbagai “bonus” pahala yang diberikan oleh Allah kepada kita manakala kita menjalankan pula ibadah-ibadah sunnah seperti qiyamullail, tarawih, tadaarus, dan i’tikaf selama bulan Ramadhan. Kemudian ditambah lagi dengan menunaikan kewajiban membayar zakat fitrah, dan menegakkan sholat sunnah Iedul Fitri berikut takbir dan tahmid. Maka, Subhanallah, Ramadhan adalah betul betul “permata” dalam setahun kehidupan manusia yang beriman dan bertakwa. Tak heran jika dalam sebuah Hadits dinyatakan oleh Rasulullah yang artinya kurang lebih: ”Seandainya ummatku tahu betapa besarnya kemuliaan berpuasa, niscaya mereka akan mengharap bahwa puasa diwajibkan selama setahun penuh!”

Jama’ah Iedul Fitri yang berbahagia,

Oleh sebab itu, adalah suatu ironi apabila ada sebagian manusia (dan bahkan di dalam kalangan ummat Islam sendiri) yang masih meragukan keutamaan ajaran Islam dan bahkan mempertanyakan relevansi ibadah seperti Ramadhan dalam kehidupan mereka, khususnya kehidupan modern yang rumit (sophisticated) dan serba maju ini. Padahal, jika direnungkan dan dihayati dengan mendalam serta diamalkan secara benar dan konsisten, maka ibadah puasa jelas akan membuat manusia (baik sebagai pribadi maupun kolektifitas) menjadi lebih utuh, mampu bertahan dari segala badai cobaan hidup dengan tegar, dan membuatnya mampu menjalani hidup dengan optimisme dan gairah yang tinggi. Bagaimana tidak? Ibadah puasa mempersiapkan seorang Muslim/Muslimah menjadi manusia yang berkualitas baik lahir dan batin. Ia adalah proses katarsis (penyaringan) spiritual, disamping sebuah proses latihan jasmani dari godaan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang temporer sehingga pelakunya akan menjadi individu yang senantiasa siap berhadapan dengan segala kemungkinan yang pahit dalam hidupnya. Jika dikaitkan dengan kehidupan kolektif sebagai anggota masyarakat, puasa juga merupakan proses merajut kembali solidaritas sosial yang setiap saat dapat terganggu dan berpotensi negatif bagi kohesivitas atau keutuhan masyarakat. Khususnya pada masa-masa krisis seperti yang kita alami saat ini, kohesivitas sosial benar-benar menjadi kebutuhan utama agar bangsa kita tidak semakin terpuruk dan terjerumus dalam bahaya anarki dan disintegrasi.  

Allahu Akbar x3..

Dengan berpuasa yang benar dan terefleksikan dalam perikehidupan yang nyata, maka sebenarnya ummat Islam, baik secara individual maupun kelompok, dapat menunjukkan diri sebagai asset penting bagi kejayaan bangsa di Indonesia. Ummat Islam akan mampu tampil ke depan sebagai “contoh yang baik” atau uswatun hasanah bagi komponen bangsa yang lain dalam hal “mengajak kepada kebajikan dan mencegah kerusakan,” menghadapi segala gangguan dan cobaan, dan ikut bersaham bagi kemajuan dan keunggulan dalam pergaulan antar-bangsa. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang kita alami dan saksikan pada hari-hari ini, di mana ummat Islam justru menjadi bagian dari masalah bangsa yang harus diselesaikan karena masih meruyaknya kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan diantara mereka. Ummat Islam sebagai bagian integral pada saat ini bukannya menjadi pelopor dalam “mengurus” bangsa Indonesia, tetapi malahan selalu menjadi “urusan” bangsa. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah manakala ummat Islam di Indonesia juga sudah menjadi urusan bangsa-bangsa yang lain.

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat yang berbahagia,

Oleh karena itu, berbekal dengan semangat baru dan kesucian diri pasca Ramadhan sesudah selama sebulan kita dilatih dan digembleng rukhani dan jasmani kita, marilah kita menjalankan kehidupan kita ke depan dengan lebih baik, penuh optimisme, dan disertai dengan tujuan yang luhur dan diridloi oleh Allah swt. Kita sebagai bangsa pada saat ini sedang diuji oleh Allah dengan berbagai cobaan baik yang berupa berbagai bencana alam maupun permasalahan mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan kesejahteraan, korupsi yang tak kunjung terselesaikan dst dsb… Tentu saja sebagai orang yang beriman kita percaya bahwa ujian Allah tersebut pada saatnya akan berkurang (fa inna maa’l ‘usri yusra). Namun agar hal itu menjadi kenyataan, kita sebagai manusia diwajibkan untuk berikhtiar sekeras-kerasnya, karena pada hakekatnya semua ujian tersebut berawal dari perbuatan manusia juga, baik sebagai pribadi-pribadi maupun kelompok. Kesalahan dan kekeliruan tersebut bisa jadi secara tak sengaja dan tak terencana, tetapi mungkin juga dilakukan secara sistematis dan terencana. Allah memerintahkan agar kita belajar dari kisah Fir’aun di dalam al Qur’an yang menunjukkan bahwa kerusakan dan kebinasaan suatu kaum adalah bersumber pada perbuatan mereka sendiri:

“Keadaan mereka (kaum musyrikin dan munafiqin) serupa dengan keadaan Fir’aun dan para pengikutnya serta mereka yang mendahuluinya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah pun menyiksa mereka disebabkan dos-dosa yang mereka perbuat. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan K eras SiksaNya. Karena Allah sama sekali tidak akan merubah suat nikmat yang telah Dia berikan kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada dirinya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha mengetahui.” (Al Anfal:52-3)

Dalam Surah lain dinyatakan pula:

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah (nasib) suatu kaum, sampai kaum itu sendiri berusaha merubah (nasib)nya. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tiada yang dapat menolaknya. Sekali-kali tiada pelindung bagi mereka kecuali Dia (Allah).” (Ar Ra’d: 11)

Dari Firman-firman tersebut nyatalah bahwa Allah menghendaki agar manusia terus berikhtiar, bekerja dan berusaha untuk menghindarkan diri dari kerusakan dan bencana, sambil tak lupa memohon kepadaNya agar dilimpahkan pertolonganNya. Dalam konteks ujian dan cobaan yang sedang kita hadapi sebagai bangsa sekarang inipun, kita tidak boleh menyerah tetapi harus mengupayakan perubahan menuju kepada perbaikan. Marilah kita mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah berupa kebebasan dan kemerdekaan, di mana tidak seluruh ummat Islam di belahan bumi lain dapat menikmatinya itu, dengan mengoptimalkan ikhtiar berupa kiprah positif (amal saleh) serta menghindarkan sejauh mungkin kiprah yang merusak (fasad). Baik pada tataran pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bangsa, marilah kita bekerja bagaimana caranya ummat Islam menampilkan diri sebagai pelopor dalam “amar ma’ruf nahi munkar” dengan tujuan melepaskan diri dari belenggu kesengsaraan dan menuju kebesaran bangsa yang diridloi oleh Allah swt.  

Allahu Akbar 3x…

Salah satu titik tolak dan fondasi utama dalam melakukan ikhtiar diatas adalah dengan memperkokoh landasan Akhlaqul Karimah (budipekerti yang mulia) dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bukan saja dalam kehidupan dan pergaulan antar pribadi, tetapi juga ber akhlaqul karimah dalam pergaulan keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bahkan dengan lingkungan alam di mana kita hidup. Sesungguhnyalah Ahlaqul Karimah adalah fondasi utama dari seluruh pesan-pesan kerasulan (Prophetic messages) yang dibawa oleh Rasulullah saw, sebagaimana sabda beliau:

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”

Jika kita pelajari sejarah perkembangan ummat manusia, maka salah satu sebab utama kenapa suatu kaum terpuruk dalam lembah kegelapan adalah kemerosotan di bidang akhlaq. Kemerosotan ini pulalah yang dapat membawa kepada kemusyrikan, sehingga ketika Allah mengutus Rasulullah untuk mengembalikan nilai kemanusiaan dan kalimatut Tauhid pun, proses tersebut didasari oleh, dan berangkat dari penyempurnaan akhlaq yang mulia. Dengan demikian akhlaq yang dimaksudkan di sini tidak hanya menyangkut kepada hubungan subjektif antar manusia belaka, tetapi juga hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, serta antara manusia dengan ciptaan Allah yang lain.

Jika kita memahami konsep Akhlaqul Karimah seperti ini, maka segera menjadi jelas bahwa yang diperlukan dalam kehidupan kita pada dasarnya adalah apa yang dikatakan oleh para filsuf dengan istilah “hidup secara etis.” Sebagai ummat Islam, hidup secara etis adalah hidup mengikuti contoh yang diberikan oleh Rasululullah dalam segala peran dan fungsinya, mencakup pribadi, pemimpin masyarakat, pemimpin spiritual, pemimpin keluarga, dst. Hal ini disebabkan karena seluruh kehidupan Rasulullah atau siirah Rasulullah adalah semacam "manual" bagi kehidupan etis ummat Islam dari masa lalu sampai akhir zaman, karena memang Rasulullah adalah “uswatun hasanah’ atau contoh utama bagi mereka yang mengharapkan Ridla Allah swt baik di dunia maupun di hari akhir nanti.

Oleh karena itu, dalam pendidikan agama kita, semenjak dini selalu diingatkan agar kita mencontoh sifat-sifat para Nabi dengan sekuat tenaga dan berusaha untuk terus menerus meningkatkan mutunya dalam kehidupan nyata. Sifat-sifat tersebut, yaitu As Shidqu (jujur), al- Amanah (terpercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Fathonah (cerdas), harus kita pakai sebagai referensi dan landasan dalam menapaki kehidupan dalam berbagai dimensi, skala, dan tingkatannya. Penyebab keterpurukan kita sebagai bangsa dan ummat tak lebih dan tak kurang adalah karena lemahnya fondasi akhlaqul karimah kita pada saat ini, khususnya dalam mengaktualisasikan keempat pokok tadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat Rakhimakumullah,

Jika kita renungkan dengan sungguh-sungguh, bangsa kita sebenarnya telah diberi nikmat oleh Allah dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, ibaratnya tongkat pun dapat tumbuh hanya dengan menancapkan di tanah karena kesuburannya, hasil hutan dan deposit tambang yang luar biasa volumenya, belum lagi keindahan alam yang nyaris tak ada duanya di dunia. Tapi kenapa pada saat yang sama, bangsa Indonesia dan ummat Islam yang mayoritas di dalamnya masih tetap konsisten berada pada kategori bangsa dan ummat yang miskin dan terkebelakang? Salah satu jawabnya adalah karena para pengelola negara dan pemerintahan bangsa kita masih belum benar-benar melaksanakan pokok-pokok Ahlaqul Karimah, terutama dalam hal kejujuran (as Shidqu) dan dapat dipercaya (al Amanatu). Para wakil rakyat kita belum mendasari kiprahnya dengan sifat dapat dipercaya dan cerdas dalam menyelesaikan masalah (al Fathonatu). Para cerdik cendekia, saintis kita masih belum secara kolektif mendasari kehidupan professionalnya dengan etika Fathonah dan Tabligh, sehingga mereka mampu memberi solusi yang cerdas dan berani menyampaikan kebenaran secara apa adanya disertai dengan tanggungjawab yang tinggi. Para agamawan, yang konon adalah “pewaris para Nabi” (Waratsatul Anbiya) itu pun masih belum mampu menjadi contoh serta tauladan yang benar-benar mampu mendorong terjadinya perubahan dari kehidupan hedonis, egois dan destruktif, menuju kepada kehidupan etis, altruis dan produktif di kalangan ummat. Justru akhir-akhir ini kita harus prihatin melihat kiprah mereka yang cenderung semakin sarat dengan kepentingan pribadi maupun kelompok sehingga dengan mudah ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan politis yang lebih menekankan pada pragmatisme dan tujuan-tujuan jangka pendek.

Maka janganlah kita heran jika sampai detik ini kemampuan kita sebagai bangsa dan ummat dalam melakukan perubahan-perubahan yang fundamental masih dapat dikatakan jauh panggang dari api. Selama para pemimpin, cendekiawan, agamawan, dan kita ummat Islam tidak secara sungguh-sungguh dan konsisten melandasi kiprah kehidupan mereka dengan Akhalaqul Karimah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw, jangan harap kita dalam waktu dekat akan mampu keluar dari keterpurukan. Malahan bukan tidak mungkin, apabila kecenderungan saat ini tak juga kunjung usai, maka sejarah Kaum ‘Aad, Kaum Tsamud, Kaum Luth, Kaum Nuh dan Kaum Bani Israel dapat terulang. Manakala para pemimpin dan ummat mereka menolak untuk mengikuti ajaran para Rasul yang diutus Allah kepada mereka agar hidup dalam garis yang ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta dan agar tidak melampaui batas, mereka akhirnya mendapat adzab yang besar yaitu kehancuran dan kepunahan, kendati mereka adalah bangsa-bangsa yang memiliki kemampuan yang luar biasa pada zamannya. Na’udzubillah min Dzalik!  

Allahu Akbar …x3 Walillahil Hamdu

Oleh karenanya, para hadirin jama’ah Iedul Fitri yang berbahagia, saya mengajak diri saya dan hadirin selepas sholat Ied yang kita laksanankan ini untuk meneguhkan kembali niat bersama  memulai langkah  kita dengan semangat dan visi yang baru. Yaitu semangat dan visi Iedul Fitri yang berarti kembali kepada keaslian sebagai manusia yang bersih dari segala dosa dan marilah kita gunakan sebagai modal dasar bagi perjalanan kita ke depan. Dengan modal tersebut dan dilandasi oleh Akhlaqul Karimah, niscaya hari-hari yang akan datang akan jauh lebih baik dan menjanjikan ketimbang sebelumnya.

Sebagai pamungkas, marilah kita berdo’a secara khusyuk dan tawadlu’ untuk memohon kepada Allah swt secara tulus agar dikabukan dan diberikan petunjuk olehNya:

“Ya Allah ya Tuhan kami, pada hari yang sangat mulia di sisiMu ini, kami semua memohon dan berdoa ke hadiratMU dengan segala kerendahan hati dan diri kami. Berikan dan kabulkanlah seluruh doa dan permohonan kami. Tambahkanlah apa yang ada pada kami dan janganlah Engkau kurangi, Ya Allah. Curahkanlah segenarp RidlaMu ya Allah, sebab tanpa RidlaMu sia-sia jualah amal dan perbuatan kami.”

“Ya Allah, jadikanlah hari ini lebih baik dari hari kemarin kami, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Berikanlah kemampuan kepada kami untuk senantiasa istiqomah di jalan yang Engkau ridloi, yaitu jalan yang telah ditempuh oleh para Rasul, para Anbiya, para Shahbat, para Tabi’in, para Tabit Tabi’in, para Auliya, para Alim Ulama, dan mereka yang Engkau berikan petunjuk”

“Ya Allah, pada hari yang mulia ini, kami berdoa ke HadiratMu. Berikanlah kepada kami para pemimpin yang berakhlaqul karimah, pemimpin yang mampu memberi contoh hidup yang jujur, amanah, tabligh dan fathonah. Bukan para pemimpin yang hanya mementingkan diri dan kelompok. Bukan pula pemimpin yang mengajak keluar gari garis yang Engkau berikan, Ya Allah..

“Ya Allah, jauhkanlah kami dari angakara murkaMu sebagaimana yang terjadi pada ummat sebelum kami yang telah melanggar perintahMu dan berlagak serta sombong dalam kehidupan mereka. Tuhanku, janganlah Engkau biarkan kami dikuasai oleh sifat sombong, lupa, dan cinta diri. Hilangkan dari kami sifat kikir, khianat, dan riya’. Tuhanku, hanya kepadaMulah kami memohon, karena hanya Eangkaulah Zat Yang Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengampuni, dan Maha Memberi.”

“Ya Dzat yang Maha Rahman, kami bersimpuh dan menengadahkan tangan di hadapanMu karena sadar akan dosa dan kesalahan kami yang terlampau besar. Dan hanya engkau jua yang dapat memaafkan kami dan melebur seluruh dosa kami …"

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 

m.a.s.h

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS