Monday, June 30, 2008

GEOPOLITIK GLOBAL DAN ANCAMAN KEAMANAN BAGI NEGARA-BANGSA YANG BERDAULAT DI ABAD KE XXI

1. Perubahan konstelasi geopolitik global setelah usainya Perang Dingin masih belum menunjukkan akan terbentuknya suatu tatanan internasional (international order) yang lebih menjanjikan kestabilan, keseimbangan, dan jaminan keamanan bagi negara dan warga masyarakat serta hubungan antar-bangsa di dunia. Kendatipun di pentas perpolitikan global tidak ada lagi ancaman konflik yang berskala universal, dilandasi oleh ideologi besar dan ditopang oleh kekuatan adikuasa dan blok persekutan negara-negara, sebagaimana Uni Soviet dengan blok dan ideologi totaliter komunisme, namun tidak berarti pada dewasa ini geopolitik global telah bebas dari ancaman yang destruktif. Pada kenyataannya,  justru setelah terjadinya serangan teroris di New York dan Pentagon pada 11 September 2001, disusul dengan upaya “perang melawan terorisme” yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, kita justru menyaksikan semakin rawan dan rentannya keamanan internasional, khususnya yang dialami dan dirasakan oleh negara-negara yang berada dalam lingkaran sasaran perang melawan terorisme tersebut. Kendatipun negara-negara tersebut secara formal dan menurut hukum internasional adalah termasuk dalam kategori negara-negara bangsa yang berdaulat dan, karenanya, berada dalam perlindungan hukum dan lembaga internasional, tetapi fakta yang terpampang di depan mata adalah semakin memudarnya kapasitas dan kemandirian mereka berhadapan dengan intervensi dan tekanan yang datang dari luar, khususnya negara adikuasa. Negara-negara bangsa yang berdaulat seperti Irak, Iran, Syria, Korut, dsb yang dimasukkan oleh Pemerintah AS di bawah Presiden Bush dalam kategori “the axis of evil” dan negara-negara berpenduduk Muslim yang dimasukan dalam kategori berpotensi sebagai kantong-kantong terorisme internasional, semuanya dalam situasi yang rawan (precarious) dan jauh dari kondisi ideal  negara-negara bangsa (nation states) yang berdaulat sebagaimana dimaksud dalam hukum internasional.

2. Kondisi yang tidak stabil, seimbang, dan aman pada skala global tersebut muncul dan marak karena dipicu oleh beberapa faktor. Yang terpenting antara lain adalah: 1) adanya kevakuman kekuatan penyangga setelah hilangnya kekuatan yang saling mengimbangi antara negara-negara adikuasa, dan 2) terjadinya pergeseran geopolitik dan geostrategis global menyusul munculnya kekuatan ekonomi dan politik baru yang memiliki visi serta strategi besar yang berbeda. Kevakuman tersebut, khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet, membuka peluang bagi negara adidaya seperti AS untuk tampil menjadi kekuatan tunggal (unipolar) yang tak memiliki tandingan dan bahkan sekedar penyeimbang yang dapat mengerem ambisi hegemoninya dalam realitas politik global. Secara riil, kekuatan militer AS yang superior dalam teknologi dan didukung oleh anggaran pertahanan yang luar biasa besar telah diappropriasi secara maksimum oleh kaum neo konservatif(neo-con) di pusat-pusat kekuasaan seperti White House, Capitol Hill, lembaga think tanks, dan media massa. Ditambah lagi dengan dorongan untuk menguasai ekonomi dunia dari para pemilik modal raksasa Amerika, maka ambisi hegemoni dan penciptaan sevbuah kekaisaran dunia (Empire-making) seperti tak terbendung.

Barry Rosen (2008) mengemukakan bahwa setelah Perang Dingin usai tampaknya ada kesepakatan dalam elite politik AS bahwa ancaman terbesar bagi negeri itu dalam jangka pendek adalah terhadap keselamatan diri (safety) dari terorisme yang datang dari luar. Mereka menuding khususnya 1). negara-negara Timteng dan Arab; 2). negara-negara “jahat’’ (rogue states);  dan 3). negara-negara gagal (failed states). Menurut Michael Hardt dan Antonio Negri (2000, 2005), AS telah mengembangkan dirinya sebagai sebuah Empire tak ubahnya pada masa Kekaisaran Romawi (Roman Empire), namun dengan kekuatan dan cakupan pengaruh yang jauh lebih luas dan mendalam. Sementara itu menurut Chalmers Johnson (2005, 2006, 2008), AS, Empire-making yang telah berproses semenjak PD II tersebut saat ini sedang mengalami pukulan balik (blowback) yang, bisa jadi, akan mengakhiri kejayaannya karena ia berlawanan dengan khittah Republik yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan Konstitusi AS.

Tak dapat disangkal bahwa ambisi Empire making tersebut telah memberikan sumbangan sangat besar bagi perkembangan konstelasi geopolitik global yang cenderung mengancam keamanan negara-negara berdaulat.

4. Rosen menyebut adanya empat faktor utama yang memungkinkan AS untuk mengembangkan dominasi dan hegemoni serta ambisi Empire-making: 1). Unipolaritas (kekuatan tunggal) yang dimiliki AS semenjak berakhirnya Perang Dingin; 2). Maraknya politik identitas sebagai salah satu sumber utama konflik-konflik internasional; 3). Terjadinya penyebaran kekuatan politik dan militer di dunia karene munculnya aktor-aktor non-negara (non state actors); dan 4). Proses globalisasi yang memperkuat posisi kapitalisme menjadi satu-satunya sistem ekonomi dunia.

- Unipolaritas AS memungkinkan terjadinya monopoli kekuatan di seluruh dunia, baik dalam masalah anggaran pertahanan; teknologi alutsista militer; kekuatan nuklir dan WMD, dan kapasitas surveillance dan control aparat intelijen. Dengan adanya unipolaritas kekuatan tersebut, pengembangan sebuah Empire bukan lagi sebuah hayalan kosong. Bahkan, berbeda dengan Empire-empire sebelumnya, perwujudan dan perkembangan American Empire ini bisa jadi jauh lebih kokoh karena bukan saja didukung oleh kekuatan militer dan keberadaan pangkalan-pangkalan militer AS di seantero dunia, tetapi  juga oleh disertai kekuatan surveillance serta kontrol yang terus menerus, baik dengan intelijen maupun teknologi telematika yang canggih!.

Sebagai ilustrasi, menurut Johnson (2008), pada sampai pada 2005, jumlah pangkalan AS di seluruh dunia adalah sejumlah 737 buah, terdiri dari yang besar 16, sedang 22, dan kecil 699. Pangkalan besar adalah yang membutuhkan anggaran di atas US $ 1.584 miliar, ukuran sedang adalah yang membutuhkan anggaran sekitar US $ 845 juta sampai 1.584 miliar, ukuran kecil adalah yang membutuhkan anggaran di bawah US $ 845 juta.

Pangkalan-pangkalan ini terbagi atas tiga jenis: 1. Basis Operasi Utama (Main Operation Bases, MBOs), seperti di Ramstein (Jerman), Kadena, Okinawa (Jepang), Aviano (Italia), Yongsan (Korsel), dsb.; 2. Pangkalan Operasi Terdepan (Forward Operation Sites, FOS) seperti di negara-negara Singapura, Honduras, Diego Garcia , dll. ; 3. Lokasi Pengamanan Terpadu (Comprehensive Security Locations, CLSs) atau pangkalan-pangkalan ukuran kecil yang disebar diberbagai wilayah untuk mendukung logistik ketika dibutuhkan. CLS inilah yang paling banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai belahan dunia di  Afrika, Amerika Latin, Timteng, dan Asia, khususnya di sekitar wilayah hot-spot konflik-konflik, seperti Ghana, Gabon, Chad, Mauritania, Mali, Maroko, Tunisia, Qatar, UEA, Pakistan, India, Thailand, Filipina dan Australia, dsb.

- Politik identitas yang menjadi salah satu faktor utama konflik-konflik di berbagai belahan dunia, termasuk agama, etnis, dan ras menjadi semacam raison d'etre bagi elite politik AS untuk melakukan intervensi atas nama kemanusiaan (humanitarianism) dan perlindungan HAM. Dukungan AS terhadap intervensi kemanusiaan di negara-negara seperti Bosnia, Kosovo, Somalia, Afghanistan, Israel, Palestina, Myanmar, dsb. antara lain dilandasi oleh sentimen ideologis liberalisme dan humanisme yang memberikan pembelaan terhadap sistem demokrasi. Sebagaimana dikatakan oleh Menlu AS Condi Rice dalam majalah Foreign Affairs baru-baru ini, “pembangunan negara demokrasi adalah komponen penting dan utama untuk kepentingan nasional kita.” Argumen penegakan dan pengembangan demokrasi, sebagaimana yang dicitrakan oleh elite politik AS, menjadi bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional yang memberi legitimasi untuk intervensi. Dengan alasan itulah pendudukan terhadap Irak dan ancaman serangan terhadap Iran dan negara-negara yang dianggap “jahat” lainnya mendapat legitimasinya, selain dalam rangka perang melawan terorisme internasional.

- Penyebaran kekuatan, khususnya kekuatan militer, yang tidak hanya dimiliki oleh negara, tetapi juga oleh aktor-aktor non negara (non- state actors), telah mengakibatkan semakin tidak stabilnya keamanan global dan memerlukan adanya semacam kekuatan polisi dunia. Aktor-aktor non-negara seperti Al Qaeda, Hamas, Hezbollah, dan juga NGOs (non governmental organizations) ternyata telah mengancam kredibilitas negara yang secara konvensional dianggap sebagai pemilik monopoli alat-alat kekerasan. Perang Irak menunjukkan bahwa kekuatan anti AS yang notabene adalah para insurgen, dengan persenjataan yang mereka buat sendiri ternyata mampu melakukan perlawanan yang berjangka panjang dan menimbulkan korban yang cukup besar terhadap pasukan pendudukan yang didukung oleh persenjataan modern dan pasukan yang sangat terlatih. Hal ini menyebabkan AS dan sekutunya di Eropa sangat khawatir jika penyebaran tersebut tidak dapat dicegah dan dikontrol. Ini menjadi alasan bagi AS untuk melakukan kampanye perang melawan terror dan sekaligus menacapkan pengaruhnya di seluruh dunia. Demikian juga kiprah NGOs yang melakukan gerakan perlawanan terhadap perusakan lingkungan, WTO, proliferasi nuklir, dst. telah menjadi fakta dan kekuatan baru yang perlu diperhitungkan oleh negara. Kenyataan ini juga memberikan legitimasi bagi elite politik AS untuk lebih assertif dan proaktif dalam hubungan luar negeri. Perang melawan terorisme, tidak dapat lagi hanya diserahkan kepada "negara-negara" sahabat tetapi juga merasuk kepada elemen-elemen non negara.

- Proses globalisasi, tak pelak lagi, ikut memperkuat akselerasi hegemoni AS melalui ekonomi dan perdagangan global. Melalui perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, kapitalisme seolah menjadi sistem ekonomi dunia yang tak dapat dielakkan, bahkan untuk negara-negara yang semula menjadi pendukung utama sistem ekonomi sosialis dan komunis seperti China, Vietnam, dan Rusia.

Globalisasi juga telah menghasilkan paradoks yang dapat mengancam hegemoni Empire. Misalnya, proses globalisasi telah memunculkan dan memperkuat spirit nasionalisme dan sentimen-sentimen lokal/indigenous yang semula terpisah-pisah di berbagai wilayah dunia menjadi menyatu akibat terciptanya jejaring (networking) pada tataran global. Politik identitas yang parochial lantas dapat ditransformasikan menjadi perjuangan bersama dan global. Ini terlihat pada gerakan-gerakan anti kemapanan dan globalisasi yang menggunakan instrument yang sama yang dipakai untuk memperkokoh kekuasaan negara dan korporasi global itu sendiri. lebih jauh, konsep kedaulatan (sovereignty) sebagaimana yang dikenal secara konvensional, kehilangan relevansinya karena jejaring global telah menembus batas-batas geografis dan politis. 

Dengan dalih melindungi kepentingan nasional dan ekonomi pasar bebas, maka AS merasa berkewajiban untuk meningkatkan jangkauan global (global reach) nya. Intervensi langsung maupun tak langsung, pemakaian tekanan diplomasi maupun militer dan intelijen, menjadi bagian tak terpisahkan dalam upaya mempertahankan kepentingan nasional tersebut.

5. Namun demikian, proses Empire-making tersebut di atas bukan berarti tidak menghadapi kendala-kendala serius, sebab konstelasi dunia pasca Perang Dingin juga menyaksikan munculnya kekuatan baru seperti Cina dan India di Asia, Iran di Timteng, dan Brazil di Amerika Latin, yang bukan tidak mungkin akan berkembang sebagai contenders atau pesaing yang dapat menyetop jangkauan global AS. Perlu diingat pula, bahwa setelah kolapsnya Empire Soviet, Rusia juga telah melakukan berbagai penyesuaian dalam geopolitik dan geostrateginya dengan melakukan pendekatan terhadap negara-negara di laut Kaspia dan Asia Tengah. Pendekatan baru dengan Iran dan Cina yang dilakukan oleh Rusia juga merupakan indikasi terjadinya pergeseran tersebut dengan konskuensi strategis yang signifikan. Bahkan negara seperti  Jepang yang selama ini memiliki kedekatan strategis dan kaitan kepentingan ekonomis dengan AS ternyata telah pula melakukan berbagai “penyesuaian strategis” manakala ia melihat perkembangan Cina dan Korsel sebagai dua raksasa yang sedang menggeliat bangun, bukan saj secara ekonomi tetapi juga militer.

Khusus dalam hal Cina yang mengalami pertumbuhan ekonomi secara menakjubkan selama dua dasawarsa, tak pelak lagi, telah menjadi salah satu kekuatan pesaing utama bagi AS dan dampaknya telah dan sedang dirasakan oleh negara-negara di kawasan Asia Timur, termasuk ASEAN dan Australia. Percepatan ekonomi Cina, ternyata diikuti oleh pemacuan sistem pertahanan strategis dan peningkatan kapasitas persenjataan, termasuk nuklir, pada beberapa waktu terakhir. Pembangunan dan beberapa kali uji coba senjata jelajah berhulu ledak nuklir oleh Cina menunjukkan kemampuan untuk mencapai sasaran jauh melampaui perbatasan negara itu, sehingga cukup mengkhawatirkan negara seperti Australia dan Jepang serta AS sendiri. Anggaran militer Cina pada 2007 telah mencapai jumlah sekitar US $ 139 miliar yang tentu saja membuat AS merasa was-was. Menlu Rice, misalnya, menyatakan bahwa AS khawatir terhadap “pembangunan yang sangat cepat dalam sistem alutsista dengan teknologi tinggi” yang dilakukan Cina, karena “kurangnya transparansi dalam bidang pembelanjaan militer, doktrin dan tujuan strategis” negeri Tirai Bambu tersebut. (2008).

Di kawasan Timteng, Iran muncul menjadi pihak yang sangat diuntungkan secara strategis dari perkembangan konflik di kawasan setelah serangan AS di Irak dan Afghanistan sejak 2003. Hilangnya lawan-lawan utama seperti rezim Saddam Hussein dan Taliban memungkinkan rezim Mullah di Iran melakukan ekspansi pengaruh politik di kawasan serta menjadi penantang utama Israel dalam geopolitik baru, sekaligus ancaman terhadap kepentingan AS, khususnya jalur supply minyak, di masa depan. Pergeseran geopolitik dan strategis ini tentu akan berdampak bagi proses akselerasi Empire-making AS dan dominasi sekutunya, Israel, di Timteng sehingga masih terbuka kemungkinan eskalasi konflik di kawasan tersebut yang dapat merembet sampai di Asia Selatan. Kemungkinan serangan pre-emptive terhadap Iran yang dipergunakan sebagai bargaining chip oleh Pemerintahan Bush terhadap rezim di Teheran bisa jadi akan terealisasi apabila pihak terakhir itu gagal dalam mencari solusi kompromi dalam masalah pembangunan PLTN yang telah menjadi isu internasional beberapa tahun belakangan.

6. Konstelasi geopolitik global di atas jelas akan menjadi tantangan serius bagi negara-negara berdaulat di kawasan Asia Tenggara, khususnya negara yang terbuka dan luas seperti Indonesia. Jika selama empat dasawarsa terakhir kawasan ini dapat menghindarkan diri dari konflik-konflik antar negara, hal tersebut merupakan suatu prestasi luar biasa dari ASEAN dan anggota-anggotanya. Namun demikian, adalah keliru apabila menganggap ancaman terhadap keamanan bukan persoalan utama dan penting dalam kondisi geopolitik global yang sedang berubah dan belum menunjukkan adanya stabilisasi dan arah yang jelas. Justru menurut hemat saya, negara besar dan utama seperti Indonesia harus mewaspadai perkembangan munculnya model ancaman keamanan baru yang dihasilkan oleh proses Empire-making dari negara adikuasa seperti AS serta bangkitnya aktor-aktor baru dalam geopolitik dan startegi global. Lebih-lebih jika di dalam negeri sendiri, perkembangan masyarakat sebagai akibat demokratisasi dan globalisasi akan mempengaruhi proses dan pertumbuhan serta perkembangan ancaman terhadap keamanan negara. Munculnya aktor non-negara yang memiliki kapasitas dan jejaring secara internasional, misalnya, sudah barang tentu harus dipertimbangkan dan dikaji secara lebih komprehensif, khusunya dikaitkan dengan perubahan geopolitik global seperti yang dipaparkan sebelumnya.

Negara-negara yang berdaulat tidak lagi dapat bersikap taken it for granted dalam menghadapi ancama keamanan yang datang dari luar. Mereka tidak dapat lagi hanya mengandalkan pada kekuatan sendiri dalam menghadapi ancaman-ancaman yang makin rumit serta bervariasi sumbernya. Suatu strategi besar (grand strategy)  baru dalam geopolitik dan geostrategi sangat diperlukan untuk dapat melindungi keberadaan dan keberlangsungannya dalam suatu kondisi yang tidak stabil dan rawan serta dibawah bayang-bayang suatu proses Empire-making. Sinergi-sinergi baru antara komponen-komponen negara, masyarakat sipil, dan kekuatan eksternal yang memiliki kesamaan visi dalam geopolitik dan geostrategis menjadi sine qua non di abad ke XXI.

 

m.a.s.h

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS