Thursday, May 22, 2008

KABAR DARI LA JOLLA, CALIFORNIA (10)

 DSCN3344 Arsitektur Spanyol di Museum of Arts, Balboa Park

1. Rabu, 14 Mei 2008. Malam ini acara saya adalah pertemuan antara fellow IR/PS dengan tokoh-tokoh masyarakat San Diego. Pertemuan diselenggarakan di sebuah hotel dan country club, Grand Del Mar, di kawasan pantai Del Mar sebelah baratdaya La Jolla. Bertindak sebagai tuan rumah adalah James dan Daphne Jameson, yang kebetulan juga Ketua Dewan Penasehat Internasional IR/PS, sedangkan saya dan Pablo de la Flor sebagai tamu undangan. Para undangan yang jumlahnya sekitar duapuluh orang, kebanyakan adalah para tokoh asyarakat yang memiliki minat dan kedekatan dengan IR/PS, di samping ada beberapa faculty members (dosen) IR/PS seperti Dean Cowhey dan beberapa yang lain. James dan Daphne sendiri adalah pengusaha yang pada tigapuluhan tahun lalu sempat tinggal di Jakarta dan Manado selama dua tahun karena bisnisnya dengan Pertamina. Kesan mendalam tentang Indonesia tampaknya masih cukup kuat, seperti dikatakan oleh Daphne bahwa ia masih mendatangkan guru bahasa Indonesia ke rumahnya untuk tetap bisa mempertahankan kemampuan berbahasanya. Dalam pertemuan malam inipun, dia membawa dua wayang golek khas Jawa Barat dan beberapa buku Bahasa Indonesia untuk dipamerkan di meja pertemuan, selain taplak batik yang dibentangkan di atasnya. Sebagaimana tradisi di IR/PS dalam setiap mengundang fellow untuk program Pacific Leadership, pertemuan semacam ini merupakan wahana untuk saling mengenal dan tukar menukar pengalaman. Pablo, yang menjadi fellow dari Peru, memberikan pandangan-pandangannya mengenai hubungan perdagangan antara AS dan Peru. Khususnya dia mengemukakan bahwa sikap pemerintah Bush yang tidak terlalu mempedulikan perkembangan di Amerika Latin, sangat disayangkan. Juga terhadap sentimen negatif terhadap NAFTA yang disampaikan dalam kampanye pilpres di kubu partai Demokrat, menurut Pablo, hanya merupakan poilitisasi unutk menarik simpati para pemilih. Sebab, bagaimanapun juga NAFTA merupakan sebuah perjanjian perdagangan yang bukan hanya memberi manfaat bagi nagara-negara di Amerika Latin, tetapi juga di AS.

Saya memberi penjelasan tentang perkembangan di Indonesia setelah terjadi reformasi, juga pentingnya AS memperkuat hubungan strategis dengan RI dan ASEAN dalam rangka menghadapi perubahan global di masa depan, khususnya perkembangan yang cepat di kawasan Asia Timur dan Pacific Rim. Khusus mengenai perkembangan demokrasi dan ekonomi di Indonesia, saya menyinggung betapa para pendiri bangsa (founders) semenjak kemerdekaan telah memiliki pemahaman dan bahkan perhatian khusus terhadap sistem politik AS. Bukanlah suatu kebetulan belaka bila dalam Konstitusi RI secara eksplisit dijabarkan penggunaan sistem Presidensial, kendati di Indonesia tidak mengikuti Federalisme tetapi negara Kesatuan (Unitarisme). Indonesia juga sebuah negara yang multikultural seperti di Amerika, bedanya adalah bahwa karakter multikulturalisme di Indonesia adalah muncul dari dalam, sedangkan di AS muncul karena para migran yang datang ke negeri itu. Sebagai negara-negara multikultural dengan kemajemukan dan heterogenitas yang tinggi, permasalahan yang berkaitan dengan nasionalisme dan kesatuan pasti juga besar dan memerlukan upaya penguatan terus menerus. Di AS yang sudah lebih dari dua abad sebagai bangsa dan melaksanakan sistem politik demokratis, sampai saat ini masih harus menghadapi masalah primordial seperti rasialisme berdasarkan warna kulit, masalah konservatisme agama, dan juga persoalan kaum migran. Belum lagi dengan perubahan politik global, AS juga menghadapi masalah keamanan yang berasal dari luar. Di Indonesia, masalah rasial memang ada tetapi selama enampuluh tahun merdeka tidak terlalu menjadi gangguan stabilitas, namun masalah kedaerahan justru senantiasa muncul, dan juga konflik-konflik yang berwarna agama. Selama ini, permasalahan yang lebih serius justru, menurut pendapat saya, adalah bagaimana pemerintah pusat mampu untuk menciptakan suatu pemerataan dalam pertumbuhan ekonomi dan distribusinya di daerah-daerah sehingga tidak terjadi konsentrasi di Jawa dan Jakarta khususnya. Ketidak adilan sosial dan ekonomi, kualitas pendidikan dan kesehatan yan rendah, dan masih lemahnya perlindungan HAM, pada akhirnya membuka peluang bagi munculnya aspirasi-aspirasi yang dibungkus primordialisme. Akhir-akhir ini di Indonesia, seperti juga di AS, terjadi fenomena menguatnya konservatisme dari kalangan beragama (Islam) yang merupakan salah satu implikasi dari reformasi dan keterbukaan tetapi juga berpotensi menciptakan konflik horizontal dalam masyarakat. Sama dengan fenomena konservatisme Kristen di AS, menguatnya konservatisme Islam juga masuk ke dalam ranah politik sehingga mempengaruhi wacana dan praksis demokrasi. Baik di AS maupun di Indonesia, gejala konservatisme harus diperhatikan dan dianalisis secara lebih terbuka dan tidak memakai prasangka, sehigga hasilnya akan lebih produktif dan positif. Bila tidak demikian, maka hasilnya adalah keterpecahan dalam masyarakat dan melemahkan struktur politik demokratis, ditambah dengan ancaman maraknya kekerasan serta gangguan terhadap ketenteraman publik.

2. Seperti sudah saya prediksi, dalam diskusi selanjutnya persoalan tentang Indonesia menjadi topik utama. Khususnya keingintahuan para tokoh masyarakat di San Diego mengenai Islam di Indonesia dan juga kemungkinan-kemungkinan kerjasama di bidang ekonomi. Mengenai Islam, pertanyaan banyak dikaitkan dengan kecenderungan untuk memperlakukan Syari'ah yang akhir-akhir ini marak diberitakan di media, sehingga ada kekhawatiran bahwa Indonesia yang nota bene berpenduduk mayoritas Muslim itu akan mengarah kepada negara Islam seperti di Timur Tengah. Menjawab kekhawatriran seperti ini, saya kembalimengatakan bahwa salah satu hasil reformasi da demokratisasi adalah bermunculannya aspirasi politik dan ideologis yang selama berpuluh-puluh tahun terpendam. Tentu saja sejauh perkembangan semacam itu tidak menjurus pada pergantian konstitusi dan kesepakatan nasional yang dibuat oleh para pendiri bangsa, maka ia harus ditolerir dan dibicarakan secara terbuka. Indonesia jelas bukan negara teokratis yang berdasarkan agama atau menganggap salah satu bagama sebagai agama resmi negara, seperti di Malaysia umpamanya. Negara kebangsaan yang dipilih oleh para pendiri bangsa menjadikan Indonesia dapat mengakomodasi seluruh aspirasi dari umat beragama. Kendati umat Islam adalah mayoritas, kaum Muslimin di Indonesia tidak memiliki tafsir tunggal mengenai Syariah dan pelaksanaannya dalam sistem hukum dan kenegaraan. Organisasi  Islam yang besar dan berpengaruh seperti NU dan Muhammadiyah, umpamanya, menolak pelaksanaan Syari'ah pada tataran negara, namun menyerahkan kepada individu dan masyarakat untuk menerapkan dalam kehidupan pribadi dan komunitas dan tetap patuh kepada hukum nasional yang berlaku. Tentu saja sistem perbankan Syari'ah yang berlaku di Indonesia menjadi salah satu aplikasinya, tetapi harus diingat bahwa sistem yang sama juga berkembang di Inggris dan mulai diperkenalkan di sebagaian perbankan di AS. Partai-partai politik di indonesia diharuskan untuk berpegang teguh pada konstitusi sehingga persoalan negara Islam tidak menjadi hal yang akan mengganggu sebagaimana dulu pernah muncul. Memang ada garakan-gerakan seperti Hizbut Tahrir yang menolak negara kebangsaan (nation-state) dan memperjuangkan Pan Islamisme (Pax Islamica), namun gerakan ini tidak akan mendapatkan dukungan yang cukup besar karena jelas inkonstitusional, sejauh negara RI disinggung. Kerjasama ekonomi sangat terbuka dan Indonesia jelas sangat membutuhkan investasi dari negara-negara maju, termasuk AS. Problemnya bukanlah soal Islam dan kaum Muslimin tetapi lebih kepada kepastian hukum dan masih maraknya korupsi. Justru lembaga pendidikan seperti UCSD dengan IR/PSnya harus membantu agar kerjasama tersebut dapat terbangn dengan lebih kokoh. Apalagi dengan semakin berkembangnya ekonomi Asia Timur dan khususnya Cina, maka AS akan menghadapi saingan serius di masa depan selain dari Jepang, Taiwan, dan Korea.

Umumnya para hadirin yang pernah ke Indonesia memahami kompleksitas masalah dan masih melihat Islam di Indonesia memiliki karakter yang tidak sama dengan yang banyak dikemukakan oleh media dan kelompok konservatif di AS. Namun masalah korupsi dan hukum memang sangat menjadi keprihatinan mereka, karena sepereti juga di Amerika Latin, persoalan ini menjadi batu sandungan paling besar bagi upaya menarik investasi dari AS. Beberapa pengusaha mengemukakan kepada saya bahwa PemerintahIndonesia harus bekerja lebih keras dan serius dalam mengatasi masalah tersebut apabila ingin meningkatkan kepercayaan pihak luar (AS) di bidang investasi. Saat ini, dalam kondisi ekonomi yang bisa disebut mengalami resesi di AS, para pengusaha cenderung semakin berhati-hati dalam melakukan ekspansi bisnis mereka di luar. Justru banyak pengusaha AS lebih menengok ke negara seperti Cina dan Vietnam serta Singapura yang kendati bukan termasuk negara-negara demokratis, namun mampu memberikan kepastian bagi para investor. Logika bisnis dan politik memang kadang-kadang tidak nyambung, sebab jika Indonesia kembali menjadi negara otoriter hanya demi memberi kepastian dan perlindungan kepada investor asing, tentu hal ini akan membawa kepada masa lalu ketika negeri kita berada di bawah Orde Baru. Diskusi menjadi semarak dengan pandangan Pablo yang juga cenderung mengkritisi sikap AS yang dianggapnya tidak konsisten dalam melakukan kebijakan ekonomi di Amerika Latin. Bagi negara seperti Peru, alternatif yang tersedia saat ini adalah membuka peluang kepada Cina dan negara-negara Asia yang kuat seperti Jepang dan Korea.  Jika AS tidak melakukan perubahan kebijakan politik globalnya maka Cina akan menggantikan AS sebagai kekuatan ekonomi di Pacific Rim, atau setidaknya menjadi penantang terbesar di abad ke duapuluh satu.

3. Kamis dan Jumat, 15, 16 Mei, 2008. Dua hari ini tidak ada acara di luar Kampus, jadi ada kesempatan untuk ke toko buku dan membaca. Profesor saya waktu di Universitas Hawaii, Manfred Henningsen, hari ini menelpon dari Honolulu. Beliau sempat agak "kaget" ketika membaca email saya bahwa UCSD mengundang saya untuk menjadi fellow di IR/PS. Memang Prof saya yang satu ini masih sangat memperhatikan kiprah saya dikancah akademis maupun politik, sehingga sangat memperhatikan perkembangan yang saya alami. Tentu beliau sangat mengharapkan saya bisa ke Honolulu untuk menjadi visiting scholar juga, namun masih belum ada kesempatan kecuali kalau saya bisa mendapat sponsorship. Yang jelas saya sangat gembira dan sekaligus terharu bahwa guru saya masih memiliki perhatian kepada muridnya yang sudah lama tidak berjumpa dan berada di tempat yang jauh. Manfred malah mengirim buku-buku dan artikelnya kepada saya dan mengizinkan saya memuat artikelnya untuk blog ini. Sebuah hadiah yang luar biasa.

Buku yang saya sempat baca adalah seri ke dua buku Bob Woodward mengenai perang Irak, yaitu Plan of Attack (2004). Saya sudah membaca seri ke tiga, State of Denial (2006) sekitar tiga bulan lalu, sedangkan buku seri pertamanya, Bush at War (2003?), malah belum saya baca. Tapi saya kira membaca kulisanjuranis kawakan dari Washington Post ini tidak harus berurutan, karena masing-masing memiliki kekhasan dan sekaligus kesinambungan. Penulis buku All the President's Men (bersama Carl Bernstein), yang kondang karena membongkar skandal Watergate yang membuat Presiden Nixon mundur dari jabatannya, ini masih tetap mempertahankan ciri khas laporannya yang sangat detil, penuh nuansa pertarungan politik elite di Washington, dan sumber-sumber yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan. Dalam buku yangsedang saya baca ini, Woodward menyoroti proses pengambilan keputusan di White House menjelang serangan terhadap Irak setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001. Tokoh-tokoh yang menjadi sasaran investigasi jurnalisme dalam buku ini, selain Bush dan Cheney, adalah Rumsfeld, Jendral Tommy Frank, Colin Powell, Condi Rice, Richard Armitage, dll yang merupaka para pengambil keputusan kunci pada masa itu. Walaupun dalam buku ketiga, State of Denial, Woodward masih menulas secara sangat detil dan panjang mengenai peran Rumsfeld dkk., tetapi di buku kedua ini Rumsfeld dan perannya  masih belum begitu dikupas dari sisi kegagalannya dalam perang Irak. Namun demikian, buku ini sangat detil dalam mengulas persiapan dan perencanaan serangan tehadap Irak, di mana Bush sangat kelihatan determinasinya untuk menyingkirkan Saddam Hussein dari kursi Presiden di Irak, kendati belum ada bukti yang nyata bahwa Saddam terlibat dalam serangan Al Qaeda di New York dan Pentagon pada 11 September itu. Pandangan Bush ini sangat sejalan dengan Cheney yang memandang Saddam memiliki kaitan dengan Osama bin Laden dan karenanya "mengurus Saddam" baginya adalah sebuah keniscayaan. Serangan AS ke Afghanistan yang menjadi sarang para teroris Al Qaeda diraskan masih belum cukup!

Buku yang lain adalah karya Chalmers Johnson, mantan Professor Hubungan Internasional di UCSD, yang juga seri trilogi mengenai Imperium Amerika. Buku yang berjudul Nemesis: The Last Days of the American Republic (2008) itu, adalah kelanjutan dari The Sorrow of Empire: Militarism, Secrecy, and the End of the Republic (2004), dan Blowback: The Cost and Consequences of American Empire (2000). Selain serial tentang Emeriul AS terebut, Prof Chalmers juga menulis lebih dari 14 buku lain mengenai politik internasional khususnya berkaitan dengan Jepang, karena wilayah itu memang merupakan spesalisasinya. Sebagai seorang yang pernah berkarir di Angkatan Laut (US Navy) pada PD II dan sesudahnya, Prof Chalmers Johnson memiliki kapasitas untuk melakukan tilikan mendalam (insight) mengenai militer dan peran politik luar negeri AS baik langsung maupun tidak. Karya-karya beliau sangat kritis terhadap kebijakan polugri AS yang menurutnya telah menyimpang dari kehendak para founding fathers karena membawa negara tersebut menjadi imperium yang menguasai dunia dengan kekuatan militer, intelijen, dan sistem ekonomi kapitalisnya. Tak pelak, Prof Chalmers Johnson menjadi sosok yang kontroversial baik di kalangan akademi maupu para pengambil keputusan di Pentagon dan Gedung Putih karena kritik-kritik beliau yang tajam. Misalnya, dalam buku seri pertama, Blowback, beliau mengatakan bahwa apa yang terjadi pada 11 September 2001 bukan saja merupakan sebuah serangan teroris dadakan, tetapi sebetulnya merupakan salah satu buah dari kebijakan polugri AS yang sering melakukan intervensi militer dan menciptakan korban-korban besar di belahan dunia, khususnya di Timur Tengah. Karenanya, menurut beliau, serangan teroris dapat dianggap sebagai "blowback" atau pukulan balik yang harus dialamai oleh AS karena kebijakannya yang militeristik dan hegemonik serta menimbulkan kebencian dan kemarahan sebagian masyarakat dunia. Istilah "blowback" sendiri, menurut beliau, adalah istilah yang diapakai oleh CIA untuk menggambarkan serangan balik yang diakibatkan oleh sebuah operasi yang ternyata menimbulkan kerusakan yang sama atau lebih besar. Kebijakan hegemonik AS itu muncul semenjak berakhirnya PD II pada saat komplek industri militer (military industrial complex) didukung oleh Pentagon dan White House mulai menguasai perpolitikan di dalam negeri, sementara spirit Republikanisme semakin merosot. Peringatan Presiden Dwight Eisenhower, yang dilontarkan beliau pada acara perpisahan sebagai presiden AS, mengenai komplek indistri militer dan bahaya yang diakibatkannya, ternyata tidak diikuti oleh para para penghuni White House dan justru AS dibawa kepada berbagai peperangan mulai dari Perang Korea, Vietnam, Teluk Persia, Irak, dan beberapa intervensi militer AS di beberapa belahan dunia. Dalam buku kedua, The Sorrow of Empire, Prof. Chalmers Johnson memaparkan bagaimana militer AS telah mengembangkan hegemoni melalui penempatan militer di seluruh dunia dengan lebih dari 300 pangkalan militernya. Mengutip Geoge Vidal, operasi militer AS semenjak berakhirnya PD II sampai tahun 2001 berjumlah 201 kali di seluruh dunia dan itu semua dapat menciptakan bibit-bibit lemarahan dan dendam terhadap negeri Paman Sam dalam bentuk "blowback" tadi! Buku ketiga, yang sedang saya baca minggu ini, menyoroti kemungkinan berakhirnya imperium dan bahkan demokrasi di AS apabila tidak ada upaya mengembalikan negeri itu kepada "khittah"nya sebagamana dikehendaki oleh Konstitusi dan founding fathers. Negeir adidaya itu akan menyaksikan datangnya Nemesis, dewi keadilan dan pembalasan dalam legenda Yunani kuno, ke Amerika.

4. Saya kira Indonesia juga perlu belajar dari sejarah AS yang saat ini mengalami dilemma sebagai hasil dari kekuasaan dan pengaruh globalnya di satu pihak, tetapi kegagalannya untuk mempertahakan pengaruh tersebut dengan menggunakan soft power. Indonesia, kendati belum mdapat dianggap nsebagai negara yang memiliki pengaruh besar di Asia, bahkan di Asia Tenggara pun, harus memperhatikan munculnya godaan untuk menjadi negara yang hegemonik. Konstitusi kita memang sudah sangtat eksplisit melarang pemerintah dan penyelenggara negara untuk membawa negeri ini ke sana. namun pengalaman enampuluh tahun setelah merdeka menunjukkan bahwa para elit penguasa dengan dukungan militer telah pernah melakukan penyimpangan yang serius dan membawa Republik kepada kondisi terpuruk seperti saat ini. Reformasi yang sduah berjalan satu dasawarsa bulan Mei ini sudah sepantasnya dipakai sebagai batu pijakan untuk tetap konsisten dalam penyelenggaraan negara sesuai Konstitusi. Para elit politik dan partai-partai politik yang saat ini sedang mengisi Reformasi, semestinya menyadari bahwa kesempatan yang mereka miliki untuk secara terbuka berkompetisi, bukanlah sesuatu yang tanpa resiko dan harga yang harus dibayar. Apabila mereka melalaikan amanat Konstitusi untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat dan lebih asyik dengan kepentingan sempit mereka sendiri, maka reformasi dan demokrasi akan dipadang sebelah mata oleh rakyat. Kita harus ingat bahwa selama enampuluh tahun lebih merdeka, sudah beberapa kali kita mencoba melakukan "demokratisasi" dan selalu berakhir dengan kembalinya otoriterisme. Jangan sampai usia sepuluh tahun Reformasi ini merupakan tahun terakhir dan akan disusul dengan kembalinya sebuah rezim yang otoriter, apakah dalam bentuk militer atau sipil.

 

(bersambung)

 

m.a.s.h

Share:

1 comments:

  1. Dear Dr. AS Hikam,

    I really enjoy reading your writings here in your blog. Very inspiring and full of enthusiasm. By the way, my name is Sulfikar Amir, an assistant professor of sociology at Nanyang Technological University, Singapore. I'm currently working on a research project that analyzes social dimensions of nuclear power in Southeast Asia, specifically Indonesia and Thailand. I understand you very much support the introduction of nuclear power in Indonesia and now sitting at the Advisory Board for Nuclear Power. I was wondering if I can ask you several questions regarding this topic. Your answer will be vary valuable for my research. If you dont mind, I'd appreciate if you can respond to my email: sulfikar@ntu.edu.sg
    Thanks so much.

    Sincerely,
    Sulfikar Amir

    ReplyDelete

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS