Tuesday, May 20, 2008

KABAR DARI LA JOLLA, CALIFORNIA (9)

DSCN3350 Anggrek di Botanical Garden, Balboa Park

1.  Selasa, 13 Mei 2008: Selasa malam saya diundang makan malam oleh salah satu anggota Board of Advisor IR/PS, Mr. Kwan So dan isterinya, Mrs. Marion So. Beliau adalah satu-satunya anggota penasihat yang berasal dari etnis Tionghoa, kendati telah bermukin dan menjadi warganegara Amerika semenjak empatpuluh tahun lalu. Mr . So, menurut pandangan saya, adalah sosok pribadi yang unik dan contoh seorang filantropis yang sangat mendukung perkembangan iptek dan hubungan baik antar-negara di Pacifik, khususnya antara AS dan Asia. Lulusan MIT dan Georgia Tech di bidang Teknik Mesin dan Penerbangan ini, telah meninggalkan negerinya begitu lulus SMU pada 1949 hanya sebulan sebelum Cina menyatakan kemerdekaannya. Berasal dari keluarga kelas menengah di Hongkong, Mr. So mengikuti petuah almarhum ayahnya agar dia meneruskan sekolah di AS dan mencari pengalaman hidup di negeri Paman Sam itu. Benars saja, dia diterima di Universitas top Amerika, MIT (Massachusetts Institute of Technology) di jurusan mesin sampai selesai S2 di sana. Masih belum puas dengan studynya, So muda kemudian pindah ke Georgia untuk mengambil S2 lagi, kali ini di bidang Aerospace engineering di Georgia Institute of Technology, yang lebih dikenal dengan nama Georgia Tech. Lulus dari sana Mr. So bekerja di salah satu perusahaan pembuat pesawat terbang yang, waktu itu, sangat terkenal yaitu Hughes Aircraft Co. Toh, nasib membawa beliau ke bidang yang lain yaitu bisnis properti. Pada suatu hari, kata Mr. So, beliau bertemu dengan seorang pengusaha kawan ayahnya dari Hongkong yang memiliki bisnis di LA di bidang properti. Karena sang pengusaha ini harus bolak-balik ke Hongkong, dia minta Mr. So untuk menjadi wakil di LA . Pelan tapi pasti, Mr. So makin aktif di bisnis baru ini dan meninggalkan pekerjaan yang ditekuninya semenjak mahasiswa. Lebih dari duapuluh tahun kemudian, ketika Mr. So telah menjadi pengusaha property yang sukses, beliau pindah dari LA ke La Jolla dan mengabdikan hidupnya untuk membantu pengembangan pendidikan. Salah satunya adalah melalui IR/PS yang menurutnya memiliki potensi untuk mempererat hunungan antara AS dengan AS, khususnya dengan tanah leluhurnya, Cina.

Kisah Mr. So bagi saya sangat inspiratif karena kalau saya membawanya dalam konteks Indonesia, tak pelak lagi akan terbukti betapa sedikitnya filantrofis yang sekaliber beliau ini yang memiliki greget dan komitmen terhadap pendidikan tinggi dan pemajuan hubungan antar-bangsa. Nama-nama seperti Pak Mochtar dan James Ryadi, Pak Ciputra, Pak Probo Sutejo, barangkali cukup familiar di telinga kita sebagai contoh-contoh figur pengusaha dan sekaligus filantrofis pendidikan. Namun jika di kaitkan dengan betapa besar dan luasnya lading garapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, rasanya kemampuan mereka masih terbatas, kendati kita juga harus merasa salut dan bangga. Ini jelas berbeda dengan di AS dimana budaya filantrofi telah berurat berakar dan juga didukung oleh system nasional, termasuk perpajakan yang memberikan exemption atau pembebasan pajak bagi mereka yang memberikan bantuan kepada pendidikan, kesejahtaraan sosial, kesehatan, dll kepada anggota masyarakat. Sistem di AS juga memungkinkan bahwa para filantrof itu dapat menyumbangkan dana tanpa merasa khawatir akan penggunaannya serta akuntabilitasnya, karena seluruhnya akan terbuka bagi publik. Di Indonesia, menurut pengamatan saya, para pengusaha besar dan filantrof umumnya masih lebih puas apabila mereka sendiri yang mendirikan Yayasan atau lembaga-lembaga pendidikan atas nama mereka karena, mungkin, lebih dapat dikontrol dan akuntabel ketimbang apabila diserahkan kepada pihak luar, baik milik Negara atau swasta. Akibatnya, filantrofi di Negara kita sangat terbatas jangkauannya dan tidak diketahui secara luas oleh publik. Dengan demikian, respon dari warga masyarakat terhadap kiprah para filantrof Indonesia pun tidak sebagaimana dibayangkan, apalagi jira kegiatan mereka dikaitkan dengan apa yang saat ini dikenal dengan program tanggungjawab sosial korporasi (corporate social responsibility, CSR). Dapat dikatakan secara agak menyederhanakan, bahwa filantrofi di Indonesia masih merupakan suatu kegiatan yang bersifat karitatif subjektif yang belum didukung dan menjadi bagian dari sistem sosial masyarakat Indonesia modern. Suatu masalah yang ada baiknya direnungkan oleh Pemerintah dan para filantrof serta publik pada umumnya.

2. Ngobrol dengan Mr. So dan istrinya, Marion, juga menambah wawasan tentang bagaimana seorang filantrof dapat dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan seperti UCSD dan IR/PS untuk pengembangannya. Mr. So bercerita kenapa beliau sangat gandrung dengan IR/PS, misalnya. Konon, ketika jurusan ini didirikan pada 1988, belum ada minat yang besar kepada Asia di luar Jepang. IR/PS lebih memfokuskan pada Jepang dan wilayah Amerika Latin kendati ada juga para pengajarnya yang memiliki kepakaran mengenai Cina, ASEAN, dan wilayah Pacific Oceania. Mr. So mencoba mencari informasi ke jurusan tersebut dan malah ditawari untuk memberikan kuliah yang berkaitan dengan bisnis, karena IR/PS sangat terkait dengan Rady School of Business, UCSD pada awal pendiriannya. Tak lama kemudian, pada 1989, pihak Dekan IR/PS melihat juga kapasitas pemikiran dan kemampuan pendanaan dari beliau sehingga telah lebih dari limabelas tahun belakangan ini Mr. So menjadi bagian dari jurusan ini, khususnya sebagai anggota penasihat internasional. Beliau menjadi donor untuk dua endowment untuk IR/PS: 1). Sokwanlok Chair in Chinese International Affairs, dan 2). Ho Miu Lam Endowment Fellowship Fund. Mr So memiliki cita-cita agar IR/PS lebih memberikan perhatian kepada Asia, khususnya Cina dan juga ASEAN karena keduanya akan mempengaruhi hubungan antar-bangsa, khususnya AS. Sebagai orang yang merasa menjadi anak asuh AS, beliau merasa sangat khawatir apabila hubungan antara AS-Cina lebih diwarnai oleh pertimbangan kepentingan keamanan dan politik strategis ketimbang kepentingan kemanusiaan, ekonomi, dan sosial. Jika hubungan antar-bangsa hanya dilandasi oleh kepentingan strategis politik dan keamanan, maka hubungan tersebut tidak akan mendalam dan cenderung pragmatis. Padahal pamahaman rakyat dan politisi AS terhadap Asia dan Cina masih sangat diwarnai oleh prejudice (prasangka) kulural dan kepentingan sesaat. Sementara itu, perkembangan Cina sebagai kekuatan besar dunia sudah jelas tak mungkin ditolak. Jika lembaga pendidikan tinggi di AS dapat dipergunakan untuk menjembatani dan mendidik para elit dan publik di masa depan, maka menurut Mr. So hal itu akan memberikan kepuasan batin baginya. Bagaimanapun juga, beliau merasa masih memiliki ikatan batin dengan Cina dan juga menjadi warganegara Amerika yang baik. Dengan kiprahnya sebagai penasehat internasional di IR/PS ditambah dengan sumbangan dana yang dimilikinya, maka Mr. So dan keluarganya telah dapat memberikan sumbangsih secara langsung bagi kedua negara dan rakyatnya.

Mr. So rupanya juga sangat mengharapkan bahwa kedatangan saya sebagai fellow IR/PS yang pertama dari Indonesia akan membantu memperkuat fokus ke Asia dan ASEAN. Beliau menyayangkan bahwa para pakar yang mendalami Indonesia di IR/PS seperti Andrew MacIntyre dan Peter Timmer telah hengkang. Saat ini hanya ada satu Professor yang berasal dari Thailand, Krislert Shampantarak, ekonom lulusan Universitas Chicago yang mengajar full time di sana.. Tentu harapan Mr. So akan saya perhatikan dan sekembali di Indonesia nanti akan mencoba memberikan informasi tang sangat penting ini kepada pihak-pihak yang berminat untuk melakukan networking dengan IR/PS. Sayang sekali saya pribadi sudah terlampau “karatan” untuk terjun kembali ke dunia akademis, apalagi di tempat yang sangat kompetitif seperti Amerika, sehingga kendatipun sebenarnya sangat manantang, tetapi saya harus “tahu diri” juga.

3. Rabu, 14 Mei 2008: Hari ini sepanjang pagi saya habiskan di kantor dan setelah makan siang menghadiri seminar mengenai masalah strategis dan ekonomi politik di Amerika Latin paska pemerintahan Bush. Para penelis yang berbicara adalah Prof Richard Feinberg (moderator); David Shirk, Peter Smith, Pablo de la Flor, dan satu lagi dari luar IR/PS, Prof David Mares. Para panelis yang memiliki kepakaran dalam bidang politik dan ekonomi untuk negara-negara Amerika Latin itu tentu sangat representatif sebagai pembicara untuk topik yang cukup strategis di masa depan. Terutama dalam konteks perkembangan Amerika Latin yang sedang menyaksikan pergelutan antara kelompok yang anti Amerika seperti Presiden Venezuela, Hugo Chavez, dan Presiden Bolivia, Evo Morales didukung oleh pemimpin Kuba saat ini, Raul Castro dengan kelompok yang dekat dengan Amerika seperti Presiden Colombia, Alvaro Uribe dan Presiden Mexico, Felipe Calderon. Kelompok pertama menggunakan paradigma populis dan pro kepada negara-negara yang menolak globalisasi dan lawan-lawan Amerika Serikat di Afrika dan Asia. Kelopok kedua adalah pendukung sistem ekonomi pasar, globalisasi dan kebijakan politik AS dalam maslah luar negeri. Meskipun demikian, beberapa tahun terakhir ini, bahkan di kalangan negara-negara pendukung AS, terdapat perasaan kurang senang terhadap orientasi Gedung Putih dalam politik luar negeri dan pembangunan ekonomi dunia ketiga yang menurut mereka cenderung mengesampingkan Anmerika Latin. Terutama setelah terjadinya aksi teror pada 11 September 2001, kebijakan luar negeri AS yang difokuskan pada perang melawan teror di seluruh dunia dan kemudian keterlibatannya dalam perang di Irak dan Afghanistan, kepedulian terhadap Amerika Latin makin kecil. Padahal, negara seperti Peru di bawah Presiden Alan Garcia Perez telah mengalami suatu perubahan pesat dalam ekonominya sehingga negara tersebut kini menduduki peringkat kedua di dunia dalam medngatasi inflasi dan pertumbuhan ekonominya. Seharusnya, AS diharapkan akan lebih memberi perhatian kepada Amerika Latin sehingga negara-negara di kawasan tersebut tidak perlu menengok kepada Cina yang kini semakin besar keterlibatan ekonominya di kawasan. Keluhan yang paling keras disuarakan oleh Colombia yang sampai saat ini belum berhasil meyakinkan Konggres AS untuk segera meratifikasi perjanjian perdagangan antar kedua negara, kendati Presiden Uribe bisa dikatakan sebagai sekutu paling dekat dengan AS dalam membendung pengaruh kekuatan kelompok populis yang dipelopori oleh Venezuela dan Bolivia.

Menurut Pablo de la Flor, wakil Pemerintah Peru dalam perundingan perdagangan dengan AS yang sedang menjadi fellow di IR/PS, mengatakan bahwa pemerintahan paska Bush di AS tampaknya masih akan meneruskan kebijakan yang ada, yaitu rezim perdagangan terbuka melalui NAFTA. Kendati dalam kampanye pemilihan Presiden khususnya partai Demokrat terlihat ada kecenderungan kritis terhadap NAFTA. Baik Barack Obama maupun Hillary Clinton selalu menyuarakan kritik terhadap perjanjian NAFTA yang dianggap mereka telah menjadi sebab makin terpuruknya ekonomi kelas menengah rakyat AS. Obama terutama dengan sangat konsisiten menggunakan NAFTA, yang merupakan sebuah hasil karya Presiden Bill Clinton, untuk mengritik lawan separtainya, Hillary, dalam kampanye. Bagi Obama, NAFTA bertanggungjawab atas semakin tingginya pengangguran kaum pekerja di berbagai negara bagian seperti Ohio, Pennsylvania, dan California. Ini dikarenakan tidak seimbangnya perlindungan hukum yang dinikmati oleh negara-negara Amerika Latin di banding dengan Amerika Serikat dalam perdagangan yang pada gilirannya sangat merugikan perusahaan dan pekerja di negara tersebut. Obama tentu tidak akan menghapus NAFTA, namun merencanakan akan melakukan perombakan drastis yang ditujukan agar para pekerja AS memperoleh keuntungan yang setara. Begitu juga Hillary, pasti harus mengikuti trend yang terjadi saat ini di mana NAFTA cenderung tidak populer di kalangan kaum pekerja. Namun demikian, menurut Pablo, pada akhirnya nanti pemerintahan siapapun di era paska Bush akan tetap meneruskan kebijakan perdagangan terbuka dengan negara-negara Amerika Latin, karena hal itu justru akan menguntungkan AS ketimbang jika membatasinya. Yang jelas, katanya, saat ini Cina sangat getol melakukan penetrasi perdagangan dan investasi di Amerika Latin, termasuk Peru yang kemudian menggenjot pertumbuhan ekonominya. AS tent tidak akan tinggal diam dengan fenomena perluasan pengaruh Cina dalam perdagangan global. Saat ini, "senjata" yang sering dipakai oleh elit politik AS adalah masalah HAM dan standar perburuhan yang kurang diperhatikan oleh rezim-rezim yang berkuasa di Amerika latin. Pablo mengakui, dua masalah tersebut sangat penting, namun sebagaimana negara-negara dunia ketiga lain, keduanya juga harus diletakkan dalam suatu perspektif yang jelas. Menurut dia, upaya perlindungan HAM dan peningkatan kesejahteraan buruh harus dilihat negara demi negara. Peru, umpamanya telah melakukan perubahan sangat serius dalam beberapa tahun terakhir sehingga dapat dikatakan lebih baik ketimbang kondisi di Bolivia atau Kolombia. Penyamarataan yang tidak berdasar oleh elit politik di AS sangat disesalkannya.

Dari sisi politis, Peter Smith melihat kemungkinan masih belum berubahnya struktur politik di Amerika Latin kendati proses demokratisasi telah berlangsung seperti Brazil, Argentina, Panama, dan Mexico. Negara-negara Andean seperti Peru, Chile, Bolivia dsb juga melakukan berbagai proses transisi dari rezim otoriter. Populisme telah dipakai sebagai slogan politik oleh pemimpin-pemimpin karismatik seperti Chavez dan Morales dan cukup berhasil menggalang sentimen rakyat, bahkan melampaui batas-batas negara mereka. Namun dalam catatan Peter, orang harus berhati-hati untuk tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa struktur politik lama telah berubah. Baginya, demokrasi yang ada di kebanyakan negara Amerika Latin masih bisa dikategorikan sebagai apa yang disebut "illiberal democracy," dalam arti bahwa demokrasi tersebut hanya tampak di luar yaitu dihasilkan lewat pemilu. Padahal, pemilu-pemilu di Amerika Latin, menurut penelitian yang dia lakukan, masih sarat dengan manipulasi, kekerasan, dan korupsi. Sdeangkan populisme yang digembar-gemborkan oleh Chavez dkk. masih merupakan sikap reaktif terhadap sistem lama dan masih belum tampak kemampuannya untuk bertahan. Bahkan, istilah "populisme" sendiri oleh lawan-lawan politik umumnya dimengerti secara negatif, khususnya oleh AS karena populisme memiliki arti "otonomi" dari pengaruh AS. Paska pemilu Presiden di AS, menurut Peter, juga masih belum punya pengaruh besar terhadap kebijakan "mangabaikan" Amerika Latin yang sampai saat ini masih berlangsung. Apalagi, struktur geopolitik global yang cenderung belum berubah kendati AS telah melakukan berbagai upaya memberantas terorisme di berbagai belahan dunia. Pemerintahan paska Bush kemungkinan masih akan melanjutkan kebijakan politik luar negeri yang tidak terlalu memperhatikan Amerika Latin meskipun mungkin jika Obama memerintah ia akan melakukan perubahan strategis di kawasan Timur Tengah. Di bidang ekonomi, seperti Pablo, Peter juga menyatakan bahwa NAFTA pada dasarnya tidak akan diubah. Mungkin dalam pelaksanaan perjanjian itu ada perubahan-perubahan sesuai dengan kepentingan politik yang sedang kritis terhadap perdagangan bebas dengan Amerika Latin. Justru Peter memperkirakan yang akan serius dilakukan pemerintahan paska Bush adalah perang melawan narkoba yang akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan penetrasi ke AS. Pemerintahan partai Demokrat cenderung lebih keras dalam menangani kejahatan narkoba ketimbang misalnya masalah imigran dari perbatasan antara AS dan Mexico.

David Mares menyoroti hubungan antar negara di Amerika Latin yang, menurut penelitiannya, menunjukkan adanya stabilitas. Setidaknya selama 13 tahun terakhir tidak ada konflik terbuka antara kekuatan militer di negara-negara Amerika Latin. Gejala adanya "pemanasan" antara Venezuela dan Colombia di perbatasan mereka beberapa waktu lalu ternyata tidak menuju pada konfrontasi. Kalau toh ada perselisihan (disputes), maka menurut David lebih merupakan perselisihan tradisional menyangkut hal-hal seperti perbatasan atau teritori yang dibiarkan tidak mencuat ke permukaan walaupun secara legal formal sering dipersengketakan. Yang justru mengkhawatirkan untuk perkembangan ke depan adalah apabila disputes yang terpendam tersebut pada suatu saat mengalami militerisasi. Kemungkinan seperti ini bisa saja terjadi manakala masyarakat mengalami krisis yang membuka peluang bagi militer untuk membangkitkan sentimen-sentimen nasionalisme yang memberi legitimasi baginya untuk menggunakan kekerasan dalam konflik. David Mares masih melihat kemungkinan untuk mencegah militerisasi berbagai perselisihan yang endemik itu antara lain dengan makin matangnya (maturity) masyarakat, khususnya nasionalisme di Amerika Latin. Menyambung soal kematangan ini, David Shirk menyatakan bahwa demokratisasi cenderung makin meningkat kualitasnya di Amerika Latin, namun pemerataan pembangunan ekonomi justru hanya sementara sifatnya. Negara seperti Peru yang saat ini mengalami pertumbuhan, masih harus dilihat sampai sejauh mana ia akan mampu memacu pemerataan sehingga mampu memperkokoh pematangan demokrasi di negara itu. Kasus di negara seperti Panama dan Guatemala menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi ternyata, menurut Shirk, sangat monopolistik sifatnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi belum tentu mengiringi proses demokratisasi di Amerika Latin. Padahal, proses demokratisasi di Amerika Latin saat ini telah menjadikan masyarakat semakin melek hukum, sehingga lembaga peradilan dipergunakan oleh rakyat untuk menuntut hak-hak mereka. Akibatnya demokratisasi juga semakin membuka peluang bagi terbukanya konflik-konflik dalam masyarakat berkaitan dengan masalah distribusi dan pemerataan eknomi.

4. Dari seminar tentang hubungan Amerika Latin dan AS siang ini, pelajaran yang dapat dipetik oleh negara berkembang seperti Indonesia adalah bahwa pembangunan politik (demokratisasi) dan ekonomi tak mungkin dipisahkan dari konteks global khususnya pengaruh kebijakan strategis negara besar seperti AS. Juga menjadi jelas bahwa kedekatan dengan AS belum bisa menjadi jaminan bahwa akan terjadi suatu hubungan timbal balik yang menguntungkan kedua belah pihak. Kolombia adalah contoh sebuah negara yang begitu dekat dan "patuh" dengan AS, namun masih belum dapat mendapatkan perlakuan yang layak di bidang perdagangan. Hal lain yang bisa dipetik dari pengalaman negara-negara Amerika latin adalah bahwa kecenderungan populisme belum tentu dapat menjawab tuntutan masyarakat seperti kasus Venezuela dan Bolivia. Masih diragukan apakah Chavez akan dapat bertahan lama dengan kebijakan populisnya. Kasus ditolaknya referendum yang diajukan Presiden itu menunjukkan bahwa tarik menarik antara kepentingan rezim penguasa dan rakyat tetap kuat. Akhirnya, dari seminar tersebut tampak bahwa kebijakan luar negeri AS di Amerika Latin ternyata dipertanyakan oleh negara-negara di kawasan, sehingga ketika AS meminta dukungan mereka untuk memuluskan kebijakan luar negerinya, tidak selalu dipedulikan. Kasus permintaan dukungan untuk mengutuk Iran dala soal program nuklir ternyata ditolak oleh Mexico, Brazil, dsb., apalagi oleh negara seperti Venezuela dan Bolivia.

Bagaimanakah sikap Pemerintah RI dalam menghadapi perubahan global saat ini? Adakah ia akan dapat memetik pelajaran dari kawasan Amerika Latin yang pelan tapi pasti makin menunjukkan otonominya dari pengaruh AS? Negara seperti Peru memilih untuk membuka hubungan ekonomi lebih besar dengan Cina, karena ternyata lebih cepat dapat memacu pertumbuhan, ketimbang tergantung kepada NAFTA semata-mata. Terpulang kepada Pemerintah dan paa wakil rakyat kita untuk mampu mencari jawaban terhadap masalah ini. Yang jelas, RI memiliki kesamaan dengan negara-negara Amerika Latin dalm soal ketrgantungannya di bidang ekonomi kepada negara besar seperti AS.

 

(bersambung)

 

m.a.s.h

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS