Saturday, September 25, 2010

ALAMAK... MENKUMHAM PUN TERNYATA TIDAK PAHAM

 

Oleh Muhammad AS Hikam 

President University

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Seorang sahabat yang mengomentari posting saya kemarin (24/9/2010) dengan nada setengah bertanya dan setengah mengritik menulis: "kemana saja Menkumham Patrialis Akbar (PA) dalam polemik seputar putusan MK?" Bukankah seharusnya sebagai Menteri yang berurusan dengan hukum, PA menjadi penyambung lidah istana yang sedang "dikerjain" oleh banyak pihak usai keluarnya putusan MK itu. Saya pikir benar juga, maka kemudian saya meneruskan pertanyaan itu dalam komentar di posting lain, dan tampaknya tidak terlalu banyak yang punya minat menjawab pertanyaan sahabat tersebut. Ada satu jawaban yang cukup menarik, yaitu barangkali PA tiarap dulu. Saya balik mengomentari dengan mengatakan bahwa jangan-jangan PA sedang siap-siap ngepak barang-barang di kantornya karena sebentar lagi akan kena kosok ulang (reshuffle) KIB ke II.

 

Kendati semalam (24/9/2010) PA sudah muncul di publik dan mengomentari masalah itu, bagi saya telatnya PA cukup menarik untuk dicermati dan dianalisa, atau paling tidak dikomentari. Ihwalnya, sangat tidak biasanya bagi PA, yang dikenal sangat vokal dan gemar memberikan komentar pada hampir setiap perkembangan politik yang terkait Pemerintah, apalagi dalam bidang hukum, untuk berdiam agak lama. Orang Amerika punya istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap PA: "his silence is so deafening" (diamnya memekakkan telinga). Sebab memang diamnya tokoh beken dari PAN ini bisa saja dimaknai masih belum jelasnya arah manajemen kontrol kerusakan (damage control management) yang ada di Istana yang dibuat oleh para punakawan untuk membela posisi Pemerintah, khususnya Presiden.

 


Sama seperti sahabat saya yang menanyakan kenapa PA diam, saya juga menganggap hal ini bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. PA mungkin tidak sepakat dengan cara yang dipakai oleh para kolega punakawan yang mencoba menggunakan jurus akrobat dan sulapan kata-kata hukum untuk mengcounter Ketua MK, Mahfud MD. PA mungkin juga jengah dengan sikap Hendarman Supandji (HS) yang keukeuh bahwa posisinya sebagai Jakgung masih tetap. PA, yang sebentar lagi bakal jadi pensiunan menteri kalau memang ada kocok ulang terjadi, lebih jauh mungkin juga sudah ogah ikut campur urusan lembaga yang sebentar lagi toh bakal dia tinggalkan. Ketimbang ikut ribet tapi tidak akan memperoleh imbalan yang memadai, mendingan diam dulu. Siapa tahu akan ada celah yang bisa dia pakai untuk melakukan come back. Namanya juga politik, yang konon adalah "the art of the possible," seni dari segala kemungkinan.



Itu yang saya pikirkan sebelum pada akhirnya PA ikut nimbrung semalam.  Bayangan saya, PA sedang menanti arah angin politik dan instrukti boss partainya untuk merespon perkembangn dari kemelut dikalangan elite penguasa. Sebab jika PA dan sang boss bisa bermain cantik, hasil dari kemelut yang masih belum kelihatan arahnya ini bukan tidak mungkin bisa dikapitalisasi untuk kepentingan 2014. Dengan semakin mendekatnya masa kampanye dan belum jelasnya konstelasi kekuatan politik untuk bertarung memperebutkan tiket capres dan cawapres, maka setiap dinamika politik di tingkat elit harus dicermati, diperhitungkan, dan direspon dengan seksama dan akurat. Momen yang sedang berkembang saat ini terkait kecarut-marutan manajemen kontrol masalah Jakgung, sangat penting dan besar potensinya bagi kredibilitas Pemerintah dan parpol yang mendukungnya. Jika PAN salah memilih langkah, maka partai yang sedianya punya kans menjagokan kadernya sebagai orang nomer satu atau dua di negeri ini bisa gigit jari.



Apapun spekulasinya, membisunya Menkumham yang punya tugas pokok mengomandoi bidang hukum dalam pemerintahan seyogyanya tidak boleh terlalu lama. Apalagi buat seorang PA yang sudah malang melintang sebagai tokoh yang dikenal vokal dan selalu berada di barisan depan dalam wacana dan kiprah politik, apakah sebagai petinggi partai, anggota parlemen, atau anggota Kabinet. Kalau PA memiliki keberanian membela kebijakan memberi remisi besar-besaran kepada para koruptor kakap dengan meriskir dirinya tidak populer di mata para aktivis anti korupsi, maka kalau soal putusan MK mestinya hanya soal waktu.

 

Dan benarlah, karena ternyata PA juga lantas membikin pernyataan pers di kantornya dan malam nya diwawancara di TVOne. Ternyata, persis sama dengan para punakawan istana sebelumnya, pendapat Pak Menkumham yang satu ini juga mencoba mementahkan putusan MK. Hanya sayang karena pendapat yang dikemukakan terlalu klise. orang justru akan bertanya: "Kok Menkumham juga tidak paham?" Bukan itu saja, argumen PA yg kemudian saya baca menunjukkan ketidakmampuannya membedakan antara uji materi hukum dan uji kebijakan publik. Dia juga tidak tahu bahwa MK bisa saja membuat sebuah kebijakan yang didasari penafsiran UU tertentu dinyatakan batal demi hukum. Contoh paling segar adalah Keputusan KPU tentang cara menghitung ulang sisa suara putaran ke tiga, yang dinyatakan keliru oleh MK dan harus diganti.

 

Orang boleh setuju atau tidak tentang cara kerja MK, atau motif personil Hakim Agung di lembaga itu. tetapi sebagai seorang pemimpin yang menjunjung proinsip dan praksis demokrasi, seharusnya PA menjadi teladan bagi rakyat bahwa ia patuh terhadap keputusan lembaga, buka kepada keputusan pribadi para Hakim Agung MK. Kepercayaan terhadapa lembaga (trust to the institution) adalah salah satu inti nilai yang harus dipegang dalam membangun sistem demokrasi dan pemerintahan yang demokratis.

Share:

2 comments:

  1. tidak ada lg ahli hukum yg di punyai pemerintah saat ini,
    sebagai seorang yg awam tentang hukum, saya pun bisa mengartikan keputusan mk, punya menteri yg sperti itu, punya staf presiden pun yh sperti itu, seperti itu???,, bisalah mengartikannya,,hhehe

    ReplyDelete
  2. Dalam ajaran Jawa "wong salah seleh", saya kira itu sikap yang sangat manis. Keikhlas memberi putusan dan keikhlas menerima putusan adalah suatu sikap yang sangat terpuji, apabila suatu perkara dibawa ke Pengadilan.

    ReplyDelete

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS