Wednesday, September 15, 2010

MENGAJI BERSAMA GUS DUR (5): WAJIBKAH SISTEM ISLAM?



Oleh Muhammad AS Hikam


Salah satu pergelutan pemikiran Almaghfurlah Gus Dur adalah mengenai keharusan ummat Islam untuk secara formal menciptakan dan menjalankan sebuah sistem yang Islami. Persoalan ini sebenarnya merupakan sebuah masalah yang sudah sangat lama dan menciptakan implikasi yang serius di kalangan ummat Islam dan bahkan, dalam bentuknya yang paling vulgar dan keras, ikut menyumbang terjadinya schisma(fitnah) dengan akibat-akibat yang serius. Persoalan ini muncul terutama ketika ummat Islam menafsirkan perintah yang termaktub dalam Al Qur'an, misalnya, Surah Al Baqarah: 208 yang berbunyi "Udkhulu fis Silmi Kaaffah." ( masuklah kalian ke dalam kedamaian (as silmi) secara sempurna). Setidaknya terdapat dua penafsiran yang berbeda secara diametral. Yang pertama adalah penafsiran yang menyatakan kata as-silmi berarti Islam, kata benda, yang memiliki implikasi "harus ada sebuah entitas Islam formal. dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami." Yang kedua adalah penafsiran yang menyatakan kata tersebut sebagai sebuah kata sifat, yang implikasinya adalah "sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami." ( Wahid, 2006:3).

Bagi Gus Dur, kedua cara memandang dan menafsirkan kata as-silmi tersebut memiliki implikasi-implikasi sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara, khususnya dalam sebuah komunitas kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia. Sebab, bagi mereka yang memegang interpretasi pertama, "mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah." Implikasinya, lantas diperlukan sebuah sistem formal yang mengharuskan label Islam padanya, seperti sistem pengetahuan Islam, sistem perbankan Islam, sistem keparatain dan parpol Islam, sistem masyarakat Islam, dan, last-but not the least, sistem negara Islam. bagi mereka yang mengikuti interpretasi yang kedua, yang menolaknya, sebab akan berarti "membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagau warga dunia yang kalah dari kaum muslimin." Implikasinya dalam sebuah kehidupan negara-bangsa adalah "sistem Islami otomatis membuat warganegara non-muslim berada di bawah kedudukan warganegara yang beragama Islam.." Lebih jauh, menurut Gus Dur, pandangan Islami itu "akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti ini ... tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga partai/organisasi yangmenjalankan ajaran secara penuh..." (ibid, hal. 4).

Menurut pandangan Al Maghfurlah GD, totalitas keislaman telah tercapai apabila tetalah memenuhi lima syarat yang disebutkan oleh Qur"an : 1) menerima prinsip-prinsip keimanan; 2) menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh; 3)menolong mereka yang memerlukan pertolongan ; 4) menegakkan profesionalisme, dan : 5) bersikap sabar apabila menghadapi percobaan dan kesusahan (Al-Baqarah: 177). Jika kelima syarat ini terpenuhi, maka tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Itulah sebabnya, Gus Dur berpendapat bahwa: "mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap "muslim yang taat." Gus Dur sangat sadar akan implikasi paradigma yang dikembangkannya, karena akan menjadi salah satu titik sengketa tidak hanya di kalangan ormas dan gerakan Islam di luar NU, bahkan di dalam NU yang memiliki spektrum luas termasuk keberadaan penganut paradigma Islami itu di dalamnya!

Jika kita perhatikan perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka wacana dan praksis yang meibatkan kedua interpretasi tersebut telah, sedang, dan tampaknya masih akan terus berjalan. Kita melihat bagaimana upaya-upaya pengejawantahan dari interpretasi pertama tersebut telah dan sedang menghasilkan berbagai pemikiran dan gerakan Islamisasi dengan spektrum yang cukup luas. Mulai dari gagasan dan praksis yang kultural, gradualis, moderat dan anti-kekerasan seperti yang dikembangkan oleh Alm Cak Nur (Dr. Nurcholish Majid), sampai gerakan-gerakan Islam fundamentalis, keras dan radikal serta menggunakan cara-cara kekerasan semacam FPI, HTI, Jama'ah Islamiah (JI), Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT), dsb. Sementara itu, pada kelompok penganut penafsiran kedua juga muncul berbagai pemikiran dan praksis yang memiliki spektrum yang luas pula, seperti pemikiran dan kiprah alm. Gus Dur dengan visi transformatif kultural serta pendekatan moderat dan gradualis sampai yang paling "liberal" sebagaimana ditampilkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Kendati kedua kelompok tersebut acap kali susah dibedakan satu sama lain, seperti pendekatan Cak Nur dan GD, namun menurut hemat saya tetap ada perbedaan interpretasi yang fundamental antara keduanya: Pemikiran Cak Nur masih tetap dilandasi visi eksklusif Islam, sementara Gus Dur berpegang pada visi universal di mana Islam menjadi bagian di dalamnya. Itulah sebabnyadalam konteks kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaaran Indonesia, GD secara konsisten mengatakan bahwa Islam sebagai salah satu nilai komplementer, bukan alternatif, yang membentuk keindonesiaan bersama-sama dengan nilai-nilai yang lain.

Pemikiran universalis GD tentu berimplikasi sangat mendalam dan luas jika diterapkan dalam realitas kehidupan politik di Indonesia. Ketika beliau bersama-sama beberapa masyayikh (sesepuh, Ulama) NU mendeklarasikan berdirinya partai politik, PKB, maka dengan jelas beliau tidak menyebut parpol itu sebagai sebuah partai Islam. Resikonya, sudah bisa kita prediksi, adalah kritik tajam bukan saja dari kelompok "Islami" tetapi juga dari dalam NU sendiri yang memiliki pandangan ekslusif seperti itu. Bagi GD, kritik-kritik tersebut tidak menyurutkan langkahnya karena bagi beliau para pengritik tersebut "tidak menyadari bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda0beda dalam sebuah negara dan kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan)." Implikasi lainnya adalah penerimaan GD terhadap Deklarasi HAM Universal (DUHAM) secara konsisten karena ia memiliki kesamaan dengan nilai-nilai dasar Al-Ushulul Khamsah (hak-hak dasar yang lima) yang dikenal dalam Islam: 1) hak hidup, 2)hak beragama, 3) hak memeiliki properti, 4) hak memiliki dan menjalankan profesi, serta 5) hak melanjutkan keturunan yang baik.

Formulasi relasi negara dan Islam bagi Gus Dur juga jelas. Karena tidak ada kewajiban membuat sebuah "sistem" Islam, maka berarti pula "tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam." Pandangan ini sangat penting karena sejarah Indonesia semenjak kemerdekaan sampai saat ini telah berkali-kali menyaksikan berbagai upaya mendikotomikan landasan negara Pancasila dengan Islam, serta upaya-upaya menolak legitimasi negara-bangsa sebagai "tidak Islami", seperti yang direpresentasikan oleh ide Khilafah atau aksi teror terjadap negeri ini atas nama perjuangan Islam melawan sistem negara dan kekuasaan taghut. Pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang berhasil melakukan terobosan penting mengenai relasi negara dan Islam di negeri ini, sudah sewajarnya kita terus kembangkan dan siarkan keseantero muka bumi. Islam, bagaimanapun, adalah Rahmatan lil- 'alamin atau suatu karunia Allah bagi semua.

Jakarta, 4 September 2010

Sumber:

Abdurrahman Wahid. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS