Sunday, October 3, 2010

KEKERASAN TERHADAP JEMAAH AHMADIYAH & IMPUNITAS NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

Oleh Muhammad AS Hikam
President University

Pembakaran rumah milik jemaat Ahmadiyah

Kekerasan atas nama agama yang dilakukan sekelompok orang dengan membakar Masjid dan rumah para pengikut Ahmadiyah di Bogor, seolah luput dari perhatian publik. Hari Sabtu ini saja, publik negeri ini sudah cukup sibuk dengan kabar terjadinya dua kecelakaan KA yang menewaskan puluhan penumpangnya di Pemalang dan satu orang di Solo, keduanya di Propinsi Jawa Tengah. Kemudian berita penyergapan dan pengepungan serta tembak menembak antara Polisi dan perampok cum teroris di Tebing Tinggi, Sumut, juga ikut menyita perhatian publik. Akibatnya, kabar aksi kekerasan atas nama agama di lingkungan ummat Islam di Bogor, menjadi tak terlalu menonjol di media, walaupun hal ini adalah masalah yang sangat penting untuk menjadi perhatian kita.

Jika beberapa waktu sebalumnya kita dibikin muak dan marah dengan kasus kekerasan atas nama agama di Kota Bekasi yang melibatkan sekelompok ummat Islam vs jemaah HKBP karena soal pendirian Gereja, maka yang terjadi di Bogor (1/10/2010) adalah episode "lanjutan" aksi-aksi kekerasan yang terjadi pada "internal" ummat Islam. Yaitu kekerasan terhadap para pengikut Ahmadiyah. Mereka lagi-lagi diperlakukan semena-mena: rumah dan masjid mereka dibakar oleh sekelompok orang. Pertanyaan yang muncul di benak saya adalah "untuk tujuan apakah kekerasan ini dilakukan?" Saya kira tujuan minimum para pelaku adalah untuk menciptakan ketakutan dan histeria massa di kalangan jemaah Ahmadiyah. Selain itu, kekerasan ini juga dilakukan dalam rangka mengintimidasi mereka agar meninggalkan kepercayaan mereka dan bergabung dengan kepercayaan para pelaku atau yang menyuruh para pelaku. Para pengikut Ahmadiyah itu seakan-akan sudah dianggap tidak memiliki hak asasi manusia karena telah dianggap sebagai "transgressors" (orang yang menabrak batas) dan, bahkan, bukan tak mungkin mereka juga sudah dimasukkan dalam kategori "halal darahnya"!

Jika benar bahwa aksi kekerasan itu dilakukan untuk menciptakan rasa takut dan histeria massa, maka ia sudah masuk dalam definisi aksi teror. Jika benar bahwa aksi itu dilakukan untuk memaksa para pendukung Ahmadiyah itu meninggalkan kepercayaannya, maka aksi tersebut adalah pelanggaran terhadap HAM yang dijunjung tinggi oleh Konstitusi Republik ini. Jika dua-duanya benar, maka sudah selayaknya para pelaku teror dan pelanggar HAM ini pun harus ditangkap dan diadili oleh negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Tidak ada dalih apapun yang bisa dipergunakan oleh para pelaku maupun para aktor intelektual untuk mengabsahkan aksi ini. Dan jika pihak negara dan aparatnya tidak segera melakukan penangkapan dan proses hukum, maka berarti Pemerintah RI dan aparat hukum yang terjait telah melakukan pembiaran (impunity) terhadap aksi teror dan aksi pelanggaran HAM. Hal ini membuka kemungkinan untuk mebawa kasus impunitas ini ke Mahkamah Internasional (International Court) atau, minimal, melaporkannya kepada Divisi HAM di PBB.

Sayangnya, walaupun kedua hal di atas sudah cukup transparan, saya tidak yakin Pemerintah maupun masyarakat sipil (civil society) berikut para tokoh serta organisasinya akan berani dan menunjukkan sikap tegas. Paling-paling akan ada satu dua ormas (termasuk ormas Islam) dan tokoh yang akan bersuara dan meminta agar pemerintah melakukan suatu tindakan perlindungan terhadap kaum Ahmadiyyah itu. Demikian juga, sebagian aparat Pemerintah, tentu ada juga yang mencoba tampil ingin "melerai" atau melindungi para korban tindak kekerasan tersebut. Namun karena hal itu dilakukan hanya oleh jumlah yang minim dan terkesan hanya suam-suam kuku,  baik dari sisi Pemerintah maupun masyarakat sipil Indonesia, maka hemat saya kedua belah pihak telah gagal melakukan tugas dan kewajiban konstitusinya dalam kasus teror dan penindasan HAM, khususnya terhadap jemaah Ahmadiyyah di Bogor ini.

Kegagalan tersebut bersuber pada: 1) Kegamangan Pemerintah untuk tegas menolak berbagai tekanan dari sekelompok ormas dan gerakan Islam karena alasan politis dan popularitas, 2) Kegamangan sebagian pemimpin ormas Islam moderat untuk keluar dari "comfort zones" (seperti yg dulu dilakukan alm. Gus Dur) karena khawatir akan kehilangan privilege kepemimpinan mereka dan popularitas mereka, 3) Kecilnya dukungan organisasi masyarakat sipil di luar kelompok Muslim terhadap para pendukung Ahmadiyyah karena kekhawatiran terjadinya "reprisal" atau pembalasan dan "backlash" atau pukulan balik kepada mereka, dan 4) Lemahnya aparat penegak hukum untuk menjalankan law enforcement dalam kasus-kasus "sensitif" seperti ini.

Terus terang saya punya kekhawatiran bahwa suatu saat masyarakat internasional dan lembaga internasional melakukan intervensi dan merasa perlu mengambil alih masalah Ahmadiyyah ini. Pihak-pihak internasional, dengan kapasitas mereka dan kekuatan lobi mereka, bisa saja mengatakan bahwa telah terjadi peanggaran hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak beragama. Padahal Indonesia, bukan saja adalah penandatangan Deklarasi Universal Hak-hak Aasasi Manusia 1948, tetapi juga telah meratifikasi protokol-protokolnya, termasuk Konvesni Internasional tentang perlindungan Hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dan ini berarti bahwa gembar-gembor Pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh  Muslim moderat Indonesia bahwa negeri mayoritas Muslim ini telah melaksanakan prinsip dan praktik demokrasi secara konsisten, akan menuai kritik dan ketidak percayaan dari komunitas internasional. Potensi terciptanya kegelisahan masyarakat (social unrest), kekacauan masyarakat (social disturbances) yang penuh kekerasan sudah pasti sangat tinggi dan cenderung eksplosif serta berkembang luas.

Sebelum semua itu terjadi, tak bisa lain kecuali bahwa Pemerintah dan parat keamanan melakukan perlindungan efektif terhadap anggota jemaah Ahmadiyah di Indonesia berikut harta dan milik mereka. Pengusiran dari tanah dan kampung diikuti dengan penjarahan harta milik para jemaat Ahmadiyah yang telah terjadi di tempat lain mesti dicegah, dan Pemerintah harus memulihkan dan mengembalikan hak milik mereka setelah keamanan publik terpenuhi. Para tokoh Muslim sebaiknya mengupayakan suatu solusi yang non-violence dan tidak melanggar HAM. Argumen bahwa Ahmadiyah merupakan penistaan agama, saya kira sulit dipertahankan, karena tidak ada bukti konkret bahwa baik ajaran dan pendukungnya telah secara sistematik dan terencana melakukan hal tersebut. Yang mungkin adalah bahwa Ahmadiyah merupakan salah satu dari sekian banyak aliran dalam Islam yang bukan mainstream atau yang sering disebut kelompok sempalan (splinter group). Adalah menjadi tugas para Ulama dan pemimpin Islam lainnya melakukan dakwah dan pendidikan yang efektif agar pengaruh gerakan sempalan itu tidak semakin meluas. Hal itu pun mesti dilakukan tanpa kekerasan atau pelanggaran hukum dan HAM, karena kita sebagai warganegara telah sepakat bahwa negeri ini berciri pluralistik dan Konstitusi kita melindungi seluruh warganegara dan memberi hak dan kedudukan yang sama di depan hukum.

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS