Saturday, October 16, 2010

MENGAJI BERSAMA GUS DUR (6): MASALAH KEBEBASAN BERAGAMA

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


Sudah menjadi ciri khas Almaghfurlah Gus Dur untuk melakukan pencarian sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya untuk menemukan terobosan-terobosan baru yang dapat disumbangkan bagi kemaslahatan ummat, bangsa, dan kemanusiaan. Untuk hal yang satu ini beliau bukan hanya mendapat pujian, tetapi juga sumpah serapah dan kutukan. Bukan saja GD mendapat berbagai penghargaan internasional dari berbagai kalangan ummat beragama dan negara, tetapi juga sindiran, hinaan, dan cap yang sangat merendahkan beliau seperti yang dibuat oleh Abubakar Ba'asyir (ABB) yang mengatakan GD sebagai murtad. Resiko sedemikian besar agaknya sangat jarang ditempuh oleh pemikir dan pejuang di negeri ini. Yang belum pernah diberlakukan kepada GD mungkin cua satu saja, yaitu diusir dari negaranya seperti yang pernah dialami oleh pemikir Mesir Nasr Abi Zaid, misalnya.

Salah satu pencarian yang dilakukan almaghfurlah adalah dalam hal relasi nilai dan ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) modern. Khususnya dalam hal perlindungan terhadap kebebasan beragama sebagai salah satu hak dasar yang dimiliki manusia dan dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM/UDHR). Gus Dur tak pernah jemu dan berhenti dalam melontarkan gagasan tentang pentingnya reinterpretasi (penafsiran ulang) atas fiqh (hulum Islam) terkait dengan masalah pindah agama, yang dianggap sebagai tindakan "murtad" atau apostasi (apostacy). Masalah yang sangat sensitif khususnya di kalangan pemeluk Islam ini oleh Gus Dur justru dipakainya sebagai salah satu test case apakah para Ulama dan ummat Islam mampu menghadapi dinamika perubahan yang terjadi akibat modernitas dan modernisasi pada tingkat global dan lokal sekaligus.

Dalam sebuah tulisan beliau "Culture of Peace: Sebuah Pendekatan Islam" (2002), GD menyatakan bahwa ada dua masalah penting yang dihadapi oleh para pemimpin dan ummat Islam di dunia: Pertama adalah mencari kejelasan dan reinterpretasi terhadap hukum kanonik Islam (Fiqh) mengenai perpindahan agama dari Islam ke agama lain yang selama ini dianggap sebagai bentuk "murtad" atau "riddah" atau "apostacy" yang hukumannya adalah mati. Hukum ini, menurut beliau, jika konsekuen diterapkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam akan mengharuskan "menghukum mati puluhan juta jiwa yang pindah dari agama Islam ke lingkungan Kristen (Protestan, Katolik, Anglikan)." Demikian juga, hal ini berlawanan dengan kenyataan bahwa banyak dari negara-negara tersebut yang juga menjadi penandatangan dan telah mertifikasi DUHAM dan protokolnya, yang memberikan perlindungan terhadap hak beragama, termasuk pindah agama secara sukarela. Menurut GD, kontradiksi seperti ini harus diakhiri "kalau kaum muslimin tidak ingin menjadi kanak-kanak seterusnya dan agar kaum muslimin di seluruh dunia mencapai kedewasaan."

Kedua, menurut GD, adalah kecenderungan berkembangnya jumlah generasi muda Islam yang belajar di Barat dalam bidang sains dan teknologi, dan merangkumnya dengan pengetahuan dan penghayatan agama. Hanya sayangnya, pada bidang yang terakhir ini mereka cenderung mengambil "jalan pintas" yaitu "langsung mengambil  dari sumber-sumber tekstual  Islam, berupa Kitab Suci Al-Qur'an dan tradisi kenabian (al-Hadits)." Metode skripturalis dan lterer ini menafikan adanya pendalaman penafsiran dan hanya menggunakan pmaknaan harfiah semata. Akibatnya, "sikap defensif kaum muslimin seluruh dunialah yang akan tampil ke muka, yang berintikan  ketidak mampuan penafsiran yang diperlukan bagi era modern ini." Padahal, menurut Almaghfurlah, "sejarah membuktikan, hanya pihak-pihak yang mampu melaksanakan adaptasi yang diperlukan, tanpa kehilangan nilai-nilai yang esensial bagi sebuah kaum, dapat dicari penyelesaian yang memuaskan."

Dari apa yang dikemukakan GD di atas maka menjadi terang bahwa kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini terkait kekerasan yang menggunakan agama, baik terhadap non Muslim dan juga internal Islam (kasus Ahmadiyah) memiliki akar yang dapat dirunut pada pemahaman agama dan metoda dalam memahami ajaran agama.  Kekeliruan dalam pemahaman tidak bisa dituduhkan pada teks ajaran tetapi lebih kepada cara memahaminya yang keliru, karena tidak memakai penafsiran yang melibatkan perkembangan historisitas dan perubahan masyarakat manusia. Demikian juga metoda pemahaman teks ajaran yang melulu "literer" atau harfiah, ikut bertanggungjawab dalam proses produksi makna dan praksis tertentu. Praksis intoleransi dan kekerasan terhadap ummat lain dan kelompok sempalan di dalam Islam sendiri, merupakan hasil dari sebuah proses berfikir dan pemahaman tertentu yang menafikan kontekstualitas dan kesejarahan.

Bukan saja hasil dari penafsiran teks tersebut mendorong munculnya sikap permusuhan, tetapi juga sikap hipokrit atau munafik. Seperti ditunjukkan oleh Gus Dur, di satu pihak kaum muslimin dan pemimpinnya masih bersikukuh memegang hukum "riddah" atau apostasi, tetapi dipihak lain melakukan ratifikasi dan penandatanganan DUHAM yang di dalamnya menghormati kebebasan beragama, termasuk berganti agama secara sukarela, sebagi bagian integralnya. Tak heran jika kelompok-kelompok yang ingin "memurnikan" Islam serta merta akan menolak HAM dan DUHAM, karena hal itu inkonsisten dengan pemahaman harfiah mengenai hukum "apostasi" tadi. Padahal, menurut almaghfurlah Gus Dur, yang seyogyanya dilakukan adalah mencari rumusan dan penafsiran baru dan relevan dengan perkembangan masyarakat sehingga kontradiksi tersebut bisa diatasi.

Gus Dur sendiri dalam berbagai kesempatan, sebagaimana pernah diuraikan dalam posting terdahulu, menganggap bahwa Islam melindungi hak beragama secara bebas ini sebagai bagian dari "al-ushul al-khamsah" atau lima hak dasar. Dengan demikian, hukum Fiqh mengenai apostasi itupun tidak berlaku secara mutlak, tetapi terkait dengan perkembangan masyarakat khususnya masyarakat modern yang semakin kompleks dan majemuk itu. Tugas dari ulama dan seluruh ummat Islam adalah meningkatkan dan memerkuat  kualitas Iman melaui pendidikan, dakwah, kiprah sosial, ekonomi, dll. Kalau sudah terkait dengan masalah petunjuk Allah swt, manusia tidak akan bisa dan boleh maksakan. Bukankah dalam Al Qur'an dikatakan "bahwa sesungguhnya petunjuk (al huda) adalah milik Allah swt"? dan bahwa "bagimu agamamu dan bagiku agamaku.."?

Sumber:

"Culture of Peace: Sebuah Pendekatan Islam," dalam Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser. (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 145-148
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS