Saturday, October 16, 2010

PENCALONAN ICAL SEBAGAI PRESIDEN: MANUVER DINI GOLKAR

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


Kendati terkesan terlalu dini, Partai Golkar sudah mulai ancang-ancang dengan wacana pencalonan Presiden 2014 (http://www.detiknews.com/read/2010/10/15/161838/1466145/10/rapim-golkar-targetkan-ical-jadi-capres-2014). Sebagai sebuah proses demokratis, hal ini tentu sah-sah saja dan malah menjadi indikator bahwa reformasi telah menelorkan hasil positif, yaitu adanya proses perguliran dan suksesi kepemimpinan yang teratur dan prosedural serta legitim. Demikian pula wajar bagi Partai Golkar, yang semenjak selesainya pemerintahan Presiden BJ Habibie tidak berhasil menampilkan kadernya ke posisi top eksekutif di negeri ini, jika lantas mempersiapkan diri lebih dini ketimbang parpol yang lain. Kegagalan dua kali berturut-turut mencalonkan kadernya sebagai Presiden (Wiranto pada 2004, dan Jusuf Kalla pada 2009) sudah cukup sebagai pil pahit bagi Partai Orde Baru itu dan tak boleh terulang untuk yang ketiga kalinya.

Jika demikian, mengapa Golkar menyorongkan nama Aburizal Bakrie atau yang akrab dipanggil Ical? Bukankah tokoh yang satu ini dililit oleh berbagai persoalan yang memiliki muatan politik sangat besar dan belum terselesaikan secara memuaskan, seperti Lapindo dan kasus perpajakan? Kendati Ketum DPP Golkar ini juga sangat tajir, tetapi masih banyak juga saingannya yang bisa merendengi ketajirannya, seperti Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Kalau Ical ini dianggap sangat powerful karena menjadi benggolan kartel politik yang bernama Setgab yang dapat mengatur dinamika parpol di DPR, namun pada analisa terakhir kekuatannya toh masih harus tunduk kepada Presiden SBY.

Saya menganggap bahwa manuver dini Partai Golkar ini masih merupakan sebuah ancang-ancang atau test awal, sekaligus pemberitahuan dan peringatan kepada siapa pun yang punya niat mencalonkan diri sebagai Presiden maupun Wapres pada 2014 harus mendapat anggukan dari sang Boss Bakrie Group ini. Test ini juga dimaksudkan untuk mengukur tingkat penerimaan/penolakan publik apakah mantan Menko Perekonomian itu sejajar dengan hasil survey yang kini sudah beredar bahwa kemungkinan PG akan bisa menggeser posisi PD pada Pemilu 2014. Sebab hasil yang diperoleh survey barulah pandangan responden atas partai, belum sampai kepada tokoh atau calon Presiden dan Wapres. Dengan demikian setidaknya dengan manuver dini ini PG sudah menyosialisasikan patokan dan fatsoen bagi pencalonan Presiden dan Wapres 2014, yaitu semua (yang lewat Golkar) harus melalui dan disetujui Ical.

Hal ini beralasan dan penting bagi Golkar karena pengalaman dua kali mencalonkan Presiden dan Wapres menunjukkan dalam elite dan batang tubuh Golkar di Pusat dan Daerah terjadi polarisasi karena model rekrutmen Capres dan Cawapres yang "terlampau" maju, seperti konvensi. Hanya karena disiplin partai yang relatif masih tinggi, pengalaman berorganisasi yang lama, dan kohesifitas elite yang sangat solid sajalah partai yang pernah dibina Pak Harto ini selalu mampu mengatasi friksi internal sehingga tak terlalu bergejolak dan memberantakkan organisasi seperti patrpol lain. Toh, hengkangnya beberapa pentolan Golkar seperti Wiranto, Prabowo, dan beberapa senior Golkar yang membentuk parpol baru telah memberikan pukulan berat baginya. Terakhir, upaya Surya Paloh dan beberapa senior Golkar membentuk ormas Nasional Demokrat (Nasdem) semakin mencerminkan keretakan internal elite Golkar paska Pemilu 2009. Jika Nasdem benar-benar bermetamorfosa sebagai sebuah parpol baru, kendati hanya akan menjadi partai kecil, tetapi dampaknya tetap akan merepotkan Golkar.

Itulah sebabnya, keputusan mencuatkan nama Ical sepagi mungkin ini adalah sebuah indikator adanya keperluan mendesak dari Golkar untuk sebuah solidifikasi elite partai baik di Pusat maupun Daerah. Elite di DPP akan dengan cermat memantau dan menganalisa berbagai respon terhadap usulan agar Ical menjadi Capres ini.  Akan menarik, misalnya, melihat bagaimana reaksi Surya Paloh dan beberapa petinggi DPP Golkar terhadap keputusan strategis itu. Jika Surya dan lain-lain menghadapinya dengan tenang, berarti kubu Ical harus sangat berhati-hati karena, dengan sikap tersebut, artinya para lawannya telah punya obat pemunah yang dianggap manjur. Tetapi jika muncul reaksi keras menolak keputusan menjagokan Ical sebagai calon RI-1, maka kubu Ical akan dengan lebih cepat mendeteksi kekuatan lawan. Dengan waktu yang masih lumayan (setidaknya 3 tahun) maka kubu Ical akan mampu mendisain dan merekayasa berbagai strategi pasifikasi terhadap lawan-lawan potensial di dalam elite Golkar.

Namun demikian, hemat saya, para petinggi partai berlambang beringin itu pun mesti realistis bahwa ketua umum dari parpol, baik besar apalagi yang kecil, belum jadi jaminan menjadi Presiden terpilih atau bahkan hanya sebagai skedar calon yang menarik buat dipilih. Sejarah Pilpres paska Reformasi membuktikan bahwa mBak Mega, JK, Wiranto, Amien Rais, dan Prabowo, semuanya adalah para Ketum DPP atau Ketua Dewan Pembina partai. Toh tak satupun dari mereka yang berhasil memenangkan Pemilu Presiden atau mampu menjadi penantang yang setara bagi inkamben. Demikian juga soal kekayaan pribadi dan dukungan parpol besar. Oleh karenanya, baik kubu Ical maupun elite Golkar saat ini seyogyanya memang hanya menganggap manuver tak lebih dari sebuah uji coba dan test awal, bukan sebagai sebuah move strategis yang takakan berubah lagi. Jika mereka tidak mengikuti perkembangan yang riil, maka Golkar akan meriskir kalah untuk yang ketiga kalinya dalam pencalonan Presiden pada 2014 nanti.

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS