Thursday, October 7, 2010

MENGUAK KONTROVERSI TRIBRATA SATU


Oleh Muhammad AS Hikam
President University

Komjen Timur Pradopo

            Penunjukan Komisaris Jendral (Komjen) Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri, menggantikan Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, langsung menyulut kontroversi begitu diumumkan oleh Ketua DPR-RI, Marzuki Alie, Senin (4/10/2010).  Nama Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri ini mengejutkan karena tidak beredar sesanter nama-nama Komjen Nanan Soekarna dan Komjen Imam Sudjarwo, yang lebih dulu beredar di lingkaran elit politik dan publik. Tetapi lebih dari itu bagi sementara politisi dan pengamat kepolisian, penunjukan tersebut terasa seperti sebuah anti-klimaks dan, bahkan, terkesan tidak mengikuti pakem yang sudah berlaku selama ini dalam proses suksesi Tribrata Satu atau Kapolri. Ihwalnya, baik Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) maupun Mabes Polri sendiri, yang notabene adalah dua lembaga yang diberi wewenang menyeleksi para calon Kapolri, mengerucutkan dua nama  Kombes yang disebut belakangan tadi. Sementara nama Timur Pradopo, kendati disebut-sebut ketika jumlah calon masih sekitar delapan orang, toh tidak masuk dalam garis finish ( Majalah TEMPO, 4-10 Oktober, 21010, hal.28-29). Tak aneh jika lantas banyak komentar bernada miring terhadap pilihan Presiden tersebut dua tiga hari belakangan ini.

            Namun baik Istana maupun Mabes Polri bergeming dalam soal calon tunggal ini. Bahkan pihak Trunojoyo, sebutan untuk Mabes Polri,  buru-buru merilis pernyataan resmi bahwa seluruh jajaran Polri solid mendukung Timur sebagai calon. Giliran para politisi Senayan dan parpol pendukung koalisi yang kini harus menata soliditas dukungan. Kendati Aburizal Bakrie selaku boss Partai Golkar telah menginstruksikan FPG untuk tidak mempersoalkan Timur dalam uji kelayakan nanti, tetap saja ada suara miring dari anggotanya. Setidaknya vokalis Centurygate, Bambang Soesatyo, umpamanya, telah mengemukakan kekurang “sreg” annya terhadap pilihan SBY ini.  Apalagi dari kubu parpol oposisi seperti PDIP, Hanura dan Gerindra. Para politisi mereka dengan cepat segera bereaksi kritis atas apa yang mereka sebut dengan politisasi calon Kapolri dan kelambanan Presiden menyetor namanya ke DPR.

            Terlepas dari kehebohan yang telah dan akan muncul, saya lebih tertarik untuk mencermati pemilihan Kapolri baru dari sisi yang lebih makro yaitu masa depan Polri dalam konstelasi reformasi beberapa tahun kedepan. Kita tahu bahwa semenjak reformasi bergulir, Polri telah menjadi salah satu kunci utama dalam proses penataan politik di Indonesia, khususnya setelah ia dipisahkan dari TNI. Polri yang menjadi aparat negara yang independen dan oleh UU ditugasi mengurus keamanan dalam negeri dan ketertiban umum itu, dengan cepat melakukan benah diri dan berupaya menjadi salah satu pusat gravitasi tatakelola negara di era pasca Reformasi. Pada masa Presiden ke empat, (alm) Gus Dur, dan Presiden ke lima, Megawati Soekarnoputri, Polri kemudian dengan cepat tampil menjadi salah satu lembaga penegak hukum dan kemanan yang diserahi mengawal dinamika masyarakat dan keamanan dalam negeri, yang sebelumnya didominasi oleh TNI, selain pengakan hukum. Tak pelak lagi, Polri pun diberdayakan dengan dana dan peningkatan kapasitas baik kelembagaan maupun sunberdaya manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya.

            Ketika negeri ini kemudian dilanda ancaman keamanan berupa maraknya terorisme, Polri pun semakin memantapkan diri di barisan depan dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dan sekaligus kekuatan paling menonjol dalam pemebrantasan terorisme. Kemunculan dan berperannya Detasemen Khusus (Densus) 88  Anti-terorisme yang mendapat sokongan dari pemerintah dan negara sahabat membuat Polri kian moncer di mata publik. Berbagai keberhasilan dalam penumpasan gembong-gembong teroris skala internasional seperti Azahari, Nurdin M Top dan terakhir Dulmatin semakin membuat Polri, yang dulu berstatus  “adik bungsu” TNI, berubah menjadi sebuah aparat negara yang benar-benar  mandiri, professional, dan dapat diandalkan serta dibanggakan bukan saja di dalam tetapi juga di luar negeri.

            Namun demikian, cerita sukses itu tak selalu mulus seiring dengan dinamika reformasi pada sisi yang lebih subtil. Polri ternyata malah menjadi salah satu lembaga yang kerap dikritik dan dikecam serta jadi sasaran amarah publik ketika pemberantasan korupsi digeber oleh Pemerintah SBY semenjak 2004. Alih-alih Polri mampu  melakukan kiprah yang sama sebagaimana dalam bidang pemberantasan terorisme, justru ia menjadi salah satu sumber masalah yang, pada gilirannya, menjadikan lembaga ini sasaran hujatan dan cibiran publik sampai sekarang. Berbagai kasus seperti Cicak vs Buaya, tuduhan korupsi yang melibatkan petingginya seperti Komjen Susno Duadji, kasus mega-skandal penilapan pajak Gayus Tambunan, dan. paling anyar, masalah rekening gendut beberapa petinggi di Mabes Polri, secara keseluruhan telah menggerogoti kredibilitas dan kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum ini.  Polri yang selama lebih dari sepuluh tahun bersusah payah melakukan reformasi internal dan menunjukkan keberhasilan yang sangat mencengangkan di sektor kelembagaan dan profesionalisme, ternyata masih tetap terpuruk dalam soal kepercayaan publik dan integritas sebagai salah satu pilar penegakan hukum!

            Inilah sebuah ironi yang sangat mengkhawatirkan dalam pandangan saya karena Polri jelas merupakan salah satu kekuatan inti dalam mengawal reformasi. Ia bukan saja sebagai lembaga penegak hukum dan penjamin keamanan dan ketertiban umum, tetapi juga lembaga yang diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik kepada supremasi hukum dan pengejawantahan prinsip kekuasaan hukum (the rule of law) di negeri ini. Lebih dari lembaga-lembaga penegak hukum lain, seperti Kejaksaan dan Kehakiman, Polri  adalah garda depan hukum yang langsung berhubungan dengan rakyat setiap saat dan karenanya ia adalah kaca-benggala dari tegak atau tidaknya hukum dalam kenyataan. Jika kredibilitas dan integritas Polri terpuruk, tidak ada kekuatan lain yang akan mampu membangkitkan semangat rakyat untuk mempercayai prinsip the rule of law karena memang tidak ada contoh dan teladan serta praksis yang bisa dilihat dan dialami secara konkret dalam  keseharian mereka.

            Dalam konteks inilah wacana dan praktik pemilihan kepemimpinan Polri menjadi penting, karena ia menjadi sebuah pertaruhan bukan hanya bagi Polri sendiri dan seluruh jajarannya, tetapi juga bagi jalannya reformasi. Ketika Polri secara pelan tapi pasti semakin menjadi bagian dari perebutan kuasa (power struggles) di lingkaran elite politik, termasuk dalam penentuan kepemimpinan mereka, maka sangat sulit diharapkan bahwa lembaga ini akan mampu berkonsentrasi kepada tugas intinya. Profesionalisme yang telah diupayakan secara susuah payah pun akan mengalami erosi karena pengaruh kepentingan politik yang terselubung ( political vested interest) . Yang lalu akan terjadi berikutnya adalah Polri akan tergoda untuk ikut-ikutan membangun dirinya menjadi sebuah sebuah kekuatan (force) yang ikut dalam bisnis tawar-menawar politik dan, pada saat yang sama, ia  akan menjadi salah satu medan magnet pertarungan kuasa di antara para elit politik. Independensi Polri jadinya akan semakin mengecil sehingga aturan main yang berlaku yang mampu menjaga integritas dan professionalisme Polri kemudian tergerus.

            Kehebohan seputar penunjukan calon tunggal Kapolri oleh Presiden saat ini bisa jadi merupakan test case bagi Polri apakah ia akan memilih menjadi bagian integral dari political power struggle, ataukah ia akan mampu untuk melanjutkan kiprah reformasi internalnya yang masih bolong-bolong di sektor kepercayaan publik dan integritasnya sebagai penegak hukum. Apapun juga, Kapolri baru nanti akan mengembang tugas yang makin tak ringan, jika kita lihat dari meluasnya distrust publik kepada Polri. Pada akhirnya yang akan dilihat oleh rakyat adalah bukan siapa tetapi pada apakah Kapolri nanti akan dapat memulihkan kredibilitas korps baju coklat ini dan kepercayaan publik pada mereka.

 Tulisan ini juga telah dimuat di Koran Tempo, 7 Oktober 2010, hal A-10


http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/07/index.shtml
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS