Wednesday, October 6, 2010

KONTROVERSI PEMBATALAN KUNJUNGAN PRESIDEN KE BELANDA

Oleh Muhammad AS Hikam
President University

 

Presiden SBY sepekan ini tampaknya sibuk dengan mengambil beberapa keputusan yang berpotensi kontroversial. Senin kemarin keputusan beliau untuk menunjuk Komjen Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri telah cukup membuat kalangan elite politik di Senayan dan media serta para pemerhati politik dan keamanan gaduh. Selasa siang (5/10/2010) disusul dengan keputusan beliau yang super mendadak menunda keberangkatan ke Negeri Belanda dalam rangka kunjungan kenegaraan yang sudah lama dirancang. Dikatakan super mendadak, karena pesawat sudah siap dan semua kru serta sebagian peserta muhibah sudah berada di atas pesawat, sebelum Presiden kemudian membuat konferensi pers yang berisi pengumuman pembatalan keberangkatn tersebut. Barangkali Museum MURI akan mencatat peristiwa di Bandara Halim Perdana Kusuma itu sebagai penundaan kebarangkatan ke luar negeri oleh Presiden RI yang paling mendadak dalam sejarah Republik.

 

Keputusan Presiden SBY, yang dapat dikategorikan luar biasa, ini dipicu oleh kabar bahwa sekelompok orang pendukung gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Negeri Kincir Angin yang menunggu kedatangan Presiden dengan sebuah sambutan yang dapat membuat martabat bagsa dan negara RI tercoreng: menuntut agar Presiden ditangkap oleh aparat dengan tuduhan pelanggaran HAM. Konon, pada hari kedatangan Pak SBY, di Pengadilan Den Haag juga akan digelar proses peradilan untuk tuntutan RMS terhadap Pemerintah RI, cq Presiden SBY, yang dianggap telah melanggar HAM di Maluku. Kasus yang sudah cukup lama berada di Pengadilan itu, entah bagaimana, tidak kunjung diproses dan ketika Presiden RI diberitakan akan berkunjung pada Selasa 5 Oktober dan tiba pada 6 Oktober di Belanda, ujug-ujug bisa disidangkan.

 

Bagi kita di Indonesia, ulah RMS di negeri Tulip mengerecoki RI sudah bukan barang baru lagi. Bahkan pernah suatu ketika sebagian dari mereka melakukan aksi teror membajak KA di awal tahun 1970an. Setelah itu pun kegiatan kelompok RMS yang dilakukan segelintir keturunan Maluku (yang kini notabene adalah generasi yang tak pernah mengalami masa Revolusi Indonesia itu) masih berjalan kendati hanya berupa protes-protes dan kegiatan kampanye melalui selebaran dan statemen di Parlemen Belamda atau Parlemen Eropa. Munculnya gerakan Alex Manuputty di Propinsi Maluku beberapa tahun lalu tampaknya membuat gairah mereka muncul lagi sehingga marak kembali kegiatan yang agressif seperti menuntut peradilan HAM di Den Haag ini. Toh, bagi Pemerintah Belanda, secara resmi, RMS tetap tidak diakui sebagai sebuah entitas negara dalam pengasingan. Hanya karena secara historis Belanda memberikan perlindungan dan suaka politik kepada anggota RMS, maka kegiatan mereka pun dianggap masih legal. Tak lebih, tak kurang.

 

Maka menjadi sangat aneh jika Pemerintah Kerajaan Belanda bersikap seakan membiarkan ulah para pendukung RMS (yang kemungkinan sudah menjadi warganegara Belanda) yang berpotensi mengacaukan hubungan baik antara negeri Oranye itu dengan Indonesia. Kendati ada argumen bahwa Pemerintah tidak bisa mencampuri lembaga Yudikatif, tetapi hampir tidak bisa diterima akal waras jika tidak ada komunikasi antar kedua belah pihak mengenai event kenegaraan sepenting itu. Hanya nalar yang konyol saja yang bersikukuh bahwa proses peradilan itu terjadi "cuma kebetulan" atau karena "sudah diagendakan." Di dunia pergaulan internasional yang normal, tidak ada hal yang lebih penting melebihi sebuah penghormatan terhadap tamu undangan kenegaraan. Kalau memang Belanda tidak becus membuat perencanaan seperti itu, mendingan tidak usah berpretensi bisa mengundang tamu negara.

 

Karena itu, saya sepenuhnya setuju dengan sikap dan keputusan Presiden SBY untuk menunda dulu kunjungan ke Negeri Belanda kemarin. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki derajat lebih tinggi ketimbang organisasi pemberontak yang selama ini tidak punya standing apapun dalam pergaulan antar-bangsa. Ulah RMS yang kemudian dijadikan sirkus politik di negeri Tulip itu, hanya mungkin terjadi karena sebagian kelompok elite dalam Pemerintah Belanda ingin mempermalukan Indonesia melalui gugatan terhadap Presiden RI ketika sedang berkunjung. Dengan menggunakan segala macam argumen klise tentang HAM dan kemandirian hukum, kelompok anti Indonesia itu, saya yakin, berkolaborasi dengan tokoh RMS sehingga pola sebagaimana yang pernah diterapkan untuk menangkap mantan Presiden Chili, (alm) Augusto Pinochet di Inggris pada 1988, diulang kembali. 



Saya tidak berpretensi sebagai orang yang ahli dalam masalah hukum internasional. Namun saya juga punya hak untuk mengatakan bahwa logika yang dipakai oleh pakar ilmu hukum internasional, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, untuk mengritik keputusan Pak SBY aneh dan menyesatkan. Mengapa? Karena Pak Profesor ini hanya melihat masalah dari sisi ilmu dan disiplin yang beliau kuasai, namun gagal memahami masalah dari perspektif politik dan ketatanegaraan. Beliau mengajukan argumen bahwa dengan pembatalan ini RI dan Pemerintah Indonesia dipermalukan. Kalau menurut hemat saya, justru dengan sikap tegas Pak SBY ini, Pemerintah Belanda mesti merasa malu karena tidak mampu mematuhi aturan pergaulan internasional dan mengatur prilaku warganegaranya secara etika dan etiket pergaulan antar-bangsa. Saya yakin Pak Profesor tahu bahwa tidak mungkin aksi provokatif terhadap tamu negara yang berkunjung (atas undangan Pemerintah Belanda lagi!) dianggap sebagai sebuah kewajaran. Apalagi jika para provokator itu tersebut jelas-jelas tidak memiliki standing sebagai pihak yang berhak menuntut negara RI dan pemerintahnya. 

 

Pak Profesor dan para penggiat HAM sperti Pak Hendardi (PDHI) mungkin tidak mampu membayangkan seandainya ada sebagian dari kelompk LSM Indonesia (misalnya kelompok yang menuntut tanggungjawab pembantaian tentara Belanda di Rawagede) membuat aksi semacam itu kepada Petinggi Belanda yang sedang berkunjung atas undangan Pemerintah RI. Saya pikir, ada baiknya para cerdik cendekia tidak hanya melihat masalah dari perspektif yang mereka suka, geluti, atau yang mereka bela saja. Penting bagi mereka juga untuk melihat dari sisi yang lain, misalnya implikasi terhadap psyche bangsa dan juga sejarah Indonesia. Apalagi, kalau kriritk terhadap keputusan Presiden ini hanya karena tidak suka terhadap pemerintahan beliau dan sentimen politis lain. Kadang-kadang, soal martabat dan kehormatan bangsa juga perlu diperhatikan dalam kiprah politik luar negeri dan pergaulan internasional.

 

Saya malah punya anggapan jangan-jangan munculnya ulah RMS  ini terkait pula dengan kondisi perpolitikan Belanda yang sedang digegeri oleh kelompok Ultra Konservatif yg dipimpin oleh Geert Wilders yang berhasil menggalang kekuatan sehingga memiliki kursi cukup banyak di Parlemen Belanda. Orang ini dikenal sebagai tokoh anti Islam yang ingin melarang imigran dari negara-negara Islam dan bahkan melarang Al Qur'an. Dia juga membuat sebuah film anti Islam yang sangat buruk kualitasnya namun disebar luaskan oleh pendukungnya dan kelompok anti Islam, baik di dalam maupun di luar Belanda. Bukan hal yang aneh apabila kawanan RMS di Belanda ini melakukan lobi politik dengan kaum ultra konservatif anti Islam tersebut dan mendapat anggukan untuk melakukan provokasi tersebut. Nah, kalau anggap ini dapat diterima maka semakin sulit bagi kita menganggap urusan ini murni urusan hukum dan HAM sebagimana diklaim oleh para pengritik Pak SBY.

 

Presiden SBY, menurut pandangan saya,  telah menunjukkan sikap yang tepat kepada Pemrintah Belanda dengan menunda kunjungan kenegaraan tersebut. Pak SBY telah mengirim sinyal penting bahwa antara sesama sahabat yang karab haruslah tetap saling menjaga etiket pergaulan internasional. Tidak ada ruginya jika Pemerintah Kerajaan Belanda menunggu sampai pengaduan RMS itu selesai diproses dan diputuskan oleh Pengadilan dan baru kemudian mengabari Pemerintah Indonesia apakah kunjungan bisa diagendakan. Sambil menunggu, maka  Kemenlu dan pihak-pihak yang terkait bisa melakukan proses-proses yang diperlukan untuk memperkokoh jalinan persahabatn ini dan menutup kemungkinan gangguan para provokator RMS di negeri bawah laut tersebut.


Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS