Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kali ini, rezim Militer Myanmar tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali membebaskan pemimpin gerakan pro-demokrasi Daw Aung San Suu Kyi (ASSK). Sebelumnya, rezim militer Myanmar selalu membuat-buat pembenaran untuk setiap langkahnya menyerimpung kebebasan sang nemesis. Bahkan, ketika Rangoon mengadakan "pemilu" beberapa waktu yang lalu, ASSK pun dilarang berpartisipasi kendati partainya, National League for Democracy (NLD), dibiarkan ikut, tetapi kemudian menolak sebagai protes. Atau ketika Daw ASSK menemui tamu dari luar di rumah tahanannya, maka dengan mudahnya rezim militer Myanmar "menambah" hukuman untuk beliau. Total jendral masa tahanan beliau adalah 15 tahun sebelum kemarin diumumkan bahwa setelah masa tahananya selesai beliau dibebaskan.
Apakah tindakan rezim militer tersebut akan berhenti dan ASSK akan seterusnya menghirup udara bebas? Saya belum tahu dan hal ini sulit diprediksi. Hanya saja, kalau melihat kebiasaan pemerintah-pemeintah totaliter dan otoriter dimana-mana, tidak ada jaminan bahwa pemimpin pergerakan demokrasi akan ditahan, lalu di lepas, dan tidak ditahan lagi. Umumnya justru sebaliknya. Untuk seorang Mandela, misalnya, beliau dikenakan 27 tahun penjara sebelum dilepas dan kembali berjuang menumbangkan rezim Apartheid yng dipimpin Botha dan deKlerk di Afrika Selatan. Sukarno dkk adalah "pelanggan" tetap penjara-penjara Belanda dan Jepang. Demikian juga para pejuang Reformasi selama berjuang melawan rezim Suharto di negeri ini. Bahkan sampai sekarang masih ada di antara para pejuang tersebut yang hilang tak tentu rimbanya, sementara banyak yang sudah lupa atau melupakannya.
Terlepas dari semua kemungkinan terburuk bagi diri ASSK, momentum pembebasan dari tahanan rumah kali ini sangat penting bagi kelanjutan proses perjuangan demokratisasi Myanmar yang "baru" mulai beranjak setelah Pemilu 1990. Sebelum tahun itu, rezim totaliter yang menjadi anggota ASEAN ini jauh lebih repressif dan gerakan menuntut kebebasan berpolitik terjadi secara sporadis, dan sangat mudah direpressi. Belum lagi metode "divide et impera" (pecah belah) yang dipakai oleh militer Myanmar sangat efektif, sehingga setiap perjuangan untuk menegakkan demokrasi akan diberi label sebagai "pemberontakan terhadap negara" dan diberi label separatis (suku, agama, kelompok tertentu). Dengan strategi demikian, maka yang dikenal oleh dunia luar adalah "pemberontakan suku Rohingya", "pemberontakan separatis suku Karen," "pemberontakan kelompok migran dari Bangladesh." dsb. Bahkan, mereka yang kemudian mengungsi di perbatasan Thailand atau manusia perahu yang sampai di Indonesia atau Australia, kebanyakan akan diberi cap sebagai pelarian karena pemberontak atau para migran gelap.
Keadaan mulai berubah semenjak partai NLD yang dipimpin ASSK kemudian ternyata memenangi Pemilu pada 1990. Tentu saja "kemenangan" tersebut segera diingkari oleh Pemerintah Yangoon dan menolak memberi tempat kepada NLD untuk ikut melaksanakan pemerintahan. Bukan hanya itu. ASSK pun ditangkap dan ditahan rumah, partainya dinyatakan ilegal dan diburi-buru, sementara pemerintahan tetap dikontrol sepenuhnya oleh militer. Maka dibuatlah oleh ASSK dan para pengikutnya semacam Parlemen di pengasingan dengan tetap mengikuti perintah ASSK dari rumah tahanannya. Semenjak itu pula, gerakan pro-demokrasi mengalami perubahan karena masyarakat Internasional, termasuk PBB, mulai terlibat. Gerakan-gerakan pro-demokrasi yang semula tercerai berai dan sporadis itu, pelan tapi pasti, mulai bisa diajak bicara satu sama lain dan setiap kampanye dan propaganda yang dibuat Yangoon untuk mendiskreditkan upaya mereka bisa dihadapi dan dikonter dengan lebih baik.
Dukungan internasional yang marak setelah Pemilu Myanmar 1990 ternyata cukup efektif dalam mendesak penguasa militer memberi peluang terhadap gerakan pro-demokrasi. Lebih dari tiga kali utusan PBB datang dan merundingkan pembebasan ASSK serta pelaksanaan Pemilu yang lebih terbuka dan diawasi oleh lembaga independen internasional. Demikian juga Gedung Putih dan ASEAN (dimana Myanmar juga sebagai anggotanya) mulai ikut memperhatikan perkembangan gerakan pro-demokrasi di bawah pimpinan ASSK yang ditahan. Di Indonesia sendiri, kalangan aktifis dan sebagian anggota Parlemen mulai melibatkan diri dalam wacana demokratisasi Myanmar. Di tingkat Parlemen ASEAN, dibuat Kaukus Parlemen untuk Myanmar (AIPMC), di mana saya juga ikut menjadi anggota sejak 2005/6. Kendati saya sekarang tidak aktif dan tidak mengikuti secara intensif kiprah AIPMC, namun dari website mereka saya melihat masih sangat giat dan aktif melakukan lobi--lobi dan kegiatan advokasi terhadap kasus para aktivis Myanmar, termasuk tuntutan dibebaskannya ASSK. Salah satau prestasi AIPMC adalah meminta agar rotasi kepemimpinan Myanmar di ASEAN dilewati dan diserahkan kepad Filipina pada 2006. Ususl ini ternyata mendapat dukungan dari angota-anggota ASEAN sehingga Myanmar tidak mendapat "giliran" memimpin rapat tahunan ASEAN yang dianggap prestisius itu.
ASSK tentu tidak mungkin berjuang sendirian dengan partainya yang juga mengalami setback yang luar biasa setelah dibubarkan dan diawasi kegiatannya oleh intelijen Myanmar di seluruh dunia. Namun kekuatan moral yang dimiliki ASSK ternyata sangat inspiratif bagi rakyat negeri itu, apalagi represi militer terhadap rakyat semakin meningkat setelah itu. Kaum agamawan Budhis yang selama ini tidak terlibat politik, ternyata kemudian bangkit dan menjadi pendorong tumbuhnya embrio "people power" yang hampir tak terbayangkan bisa terjadi di negara pagoda tsb. Pembangkangan kaum pendeta Budhis yang berakhir berdarah tersebut (2008) sangat berdampak besar terhadap militer dan rezim politiknya, sehingga mereka harus melakukan kompromi untuk membuat Pemilu yang ditunda lebih dari sembilan tahun lamanya. Hanya akerna Myanmar masih mendapat dukungan penuh dari RRC dan juga bersahabat dengan India, maka tekanan internasional masih bisa dia redam.
Walaupun gerakan "people power" di Myanmar masih dalam tahap awal atau embrionik, tetapi hal itu telah meruntuhkan anggapan berbagai pihak bahwa Myanmar tidak akan dapat melakukan demokratisasi dari bawah (rakyat) karena tradisi dan budaya tersebut tidak ada. Demikian pula Myanmar tidak memiliki masyarakat sipil yang cukup baik organisasinya,m serta parpol yang kuat. Namun keraguan ini pupus setelah perlawanan tanpa kekerasan para pendeta Budhis dan rakyat di Yangoon yang membuktikan bahwa manusia juga punya kapasitas untuk "membuat tradisi baru." Embrio pembangkangan sipil tanpa kekerasan yang bertumpu di atas fondasi kepemimpinan moral telah lahir di negeri seribu pagoda itu. Dalam hal ini pengaruh ASSK bagi tumbuhnya "tradisi" baru ini sangat jelas, sama juga halnya pengaruhnya terhadap munculnya gerakan demokratisasi yang lebih terkoordinasi dan tidak lagi sporadis.
Pembebasan ASSK, menurut hemat saya, mempunyai kemiripan dengan pembebasan Nelson Mandela, secara simbolik, kalau bukan secara pragmatis politis. Mungkin hasil kedua kasus itu belum tentu sama karena konteks yang berbeda ditambah lingkungan geopolitik dan momentum demokratisasi yang juga berbeda di kedua negara. Namun, saya tidak akan meremehkan apa yang telah dicapai ASSK dan Partainya serta para pendukung demokrasi di Myanmar di masa depan. Menilai gerakan demokratisasi tidak bisa hanya dengan "hasil" kemenangannya, tetapi juga tak kalah penting bagaimana proses itu terjadi. Pengalaman Myanmar dalam gerakan demokratisasi merupakan bukti bahwa kehendak rakyat untuk bebas dari cengkeraman kekuasaan sewenang-wenang pada akhirnya akan unggul, kendati harus mengalami segala rintangan dan memerlukan waktu yang lama.
Selamat untuk Rakyat Myanmar, teruskan perjuangan Daw Aung San Suu Kyi!
Sunday, November 14, 2010
Home »
» DAW AUNG SAN SUU KYI DAN PROSPEK DEMOKRATISASI DI MYANMAR
0 comments:
Post a Comment