Saturday, November 20, 2010

KEBIJAKAN PENGIRIMAN TKI KE ARAB DAN SISI GELAP SEJARAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


Presiden SBY meminta Mentri Tenagakerja dan Transmigrasi (menakertrans), Imin, untuk mengevaluasi manfaat dan mudharat pengiriman TKI ke Arab Saudi dan Yordania. Instruksi tersebut, menurut hemat saya, selain sudah telat sekitar sepuluh atau limabelas tahun lamanya, juga tidak akan benar-benar dilaksanakan. Alih-alih akan berujung pada kebijakan yang diharapkan nalar sehat, yaitu "moratorium" TKI kle Arab Saudi. Instruksi tersebut hanyalah sebuah reaksi yang dimotivasi lebih oleh sebuah kehendak political public relations (humas politik), ketimbang sesuatu yang benar-benar fundamental. Saya memprediksi, hasil "evaluasi" Menteri Imin nanti adalah salah satu atau gabungan dari empat hal di bawah ini:

1). Pengiriman TKI akan tetap dilakukan, sambil menunggu kerja sebuah tim yang ditugasi melakukan penyeldikian lebih lanjut, atau:
2). Pengiriman TKI ternyata lebih banyak MANFAATnya ketimbang MUDHARATNYA. Karena itu masih harus dilanjutkan dengan beberapa perbaikan, atau:
3). Persoalan penyiksaan yang terjadi di Arab bukan hanya kesalahan pihak majikan, tetapi juga pihak TKI, karena itu perlu ada perbaikan dan pendidikan disiplin kepada calon TKI; atau
4). Pengiriman TKI perlu ditingkatkan lagi karena Pahlawan Devisa itu ternyata mayoritas tidak ada masalah. Kalau ada masalah, itu adalah "murni kriminal" dan serahkan saja kepada hukum yang berlaku di Arab.

Kemungkinan terbesar yang dipilih adalah nomer 1 dan 4 atau gabungannya. Artinya, kebijakan pengiriman TKI ke Arab tidak akan berubah. Masyarakatpun akan lupa kalau media sudah capek memberitakan. Strategi buying time (membeli atau mengulur waktu) terbukti tidak pernah gagal di Indonesia. Kalau soal Freeport, Lapindo, Centurygate, BLBI, Mafia Pajak Gayus, dan Anggodo semua bisa diselesaikan dengan strategi mengulur waktu, kenapa soal TKI tidak? Apalagi soal TKI kan cuma urusan orang-orang miskin yang tidak akan dibela oleh DPR?

Jadi jangan pernah bermimpi (apalagi berharap menyaksikan dengan nyata) bahwa kebijakan pengiriman TKI ke Arab akan dibekukan, dihentikan, di moratorium oleh Pemerintah selama lima tahun yad, atau bahkan setelah itu. Mengapa? Karena memang Pemerintah, parpol, dan para pengusaha perbudakan moderen ini sangat diuntungkan. Pemerintah, khususnya Menteri Imin, akan bisa mengklaim melonjaknya devisa negara karena kesuksesan program TKI itu. Soal ada masalah penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan, well... namanya juga usaha, pasti ada resiko. Bagi yang kena resiko, diberikan santunan dan sebutah Pahlawan Devisa (yang tidak dikubur di Taman Makam pahlawan manapun itu). Lagipula, siapa yang bisa memberi pekerjaan dengan gaji seperti yang diperoleh para TKI di Arab kalu mereka distop ke sana. Jelas Menteri Imin tidak akan mampu memberi ganti pekerjaan (wong membuka lapangan kerja untuk para Sarjana di dalam negeri saja gak becus, kok).

Parpol, termasuk parpolnya Menteri Imin, jelas menamgguk rejeki yang luar biasa dari TKI ini. Entah sudah berapa ratus miliar duit yang bisa dikeruk dari pengiriman TKI ini, baik yang halal, setengah halal, maupun yang haram (walaupun prosentasenya semakin besar ke arah yang terakhir itu, saya kira). parpol butuh duit untuk kampanye, untuk menyuap, untuk membuat para boss dan keluarganya bahagia. Parpol, kalau hanya mengikuti aturan main dalam UU Kepartaian, jelas tidak akan mampu mebiayai kerja politik di negara yang begini luas. Apalagi untuk parpol yang semakin "mbleret" cahayanya seperti partainya Menteri Imin. Kalau tidak segera digelontor uang, maka bagaimana bisa berharap untuk melewati ambang batas parlemen dan partai pada 2014 nanti? salah satu sumber duit yang paling afdol adalah program seperti TKI ini.

Bagi para pengusaha perbudakan moderen yang namanya TKI ke Arab, tak usah dibicarakan lagi. Merekalah yang selama belasan dan bahkan puluhan tahun menyedot duit triliunan dari para budak modern tersebut sambil membanggakan diri sebagai pencipta para Pahlawan Devisa. Entah sudah berapa juta warganegara RI yang melalui "bantuan" mereka ini bisa hidup dan menghidupi keluarga, walaupun dengan resiko pengorbanan mulai dari pribadi sampai kepada lehormatan bangsa. Para pengusaha ini bukan orang jahat, karena mereka hanya jadi perantara. Kalau tidak ada mereka, pasti lebih parah lagi. Kehadiran mereka justru membuat kerapian, keteraturan, dan sistem perbudakan modern. Sehingga walaupun hakekatnya tidak jauh dari perbudakan, tetapi lebih sopan, lebih halus, dan menghasilkan kekayaan (khususnya para pengusaha perbudakan tersebut). Jadi kenapa mesti dimoratorium? Emangnya pemerintah dan swasta di Indonesia bisa memberi pekerjaan? belum lagi kalau ke Arab kan bisa Umroh dan Haji setiap tahun bagi para TKI? Luarbiasa, bukan? Jangan-jangan para pengusaha perbudakan modern itu nanti akan mendapat Award khusu di akherat karena telah berandil mengumrohkan dan menghajikan begitu banyak orang?

Walhasil, tali emali antara pemerintah-pengusaha- parpol, ditambah dengan kelangkaan lapangan kerja yang mendera rakyat Indonesia, hampir tidak bisa memberikan kemungkinan bagi kehendak untuk moratorium atau penyetopan TKI ke Arab, baik sementara maupun (apalagi) selamanya. Ide-ide tidak cerdas seperti memberi handphone kepada para TKI di Arab, mengajak Pemerintah Arab Saudi membuat MoU, dan menyeleksi para calon majikan di Arab, hanya merupakan ekspressi dari kebebalan, kebuntuan berfikir, dan ketidakberdayaan para elite politik. Kenapa? karena semua ide tersebut sangat tidak menyentuh akar masalah yaitu : menghentikan perbudakan moderen yang sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi NKRI dan harkat sebagai bangsa. Karena para elite memang tidak memiliki kemampuan melihat masalah sampai pada akarnya, maka solusi mereka juga sangat artifisial, ad-hoc, dan dangkal. Dan memang sudah seharusnya begitu, karena semua ide-ide tsb sebenarnya hanyalah bagian dari strategi "buying time" alias menunda waktu.

Hanya kemarahan publik dan desakan dari dunia internasional saja yang bisa membuat elit kita melakukan moratorium perbudakan atas rakyatnya sendiri. Namun, saya ragu akan kemauan politik dari publik, karena mereka juga sangat perlu pekerjaan. Pemerintah sudah jelas hanya bisa membuat kesempatan kerja makin kecil, bukan sebaliknya. Sektor swasta di Indonesia hanya maju pada tataran industri yang terkait dengan bisnis global, sedangkan UMKM dan 9apalagi) pertanian, sudah jelas tidak punya kemampuan menciptakan lapangan kerja. Peribahasa "lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang," sudah masuk museum lama sekali, dan hanya orang naif saja yang masih percaya. Dunia Internasional juga sangat sulit diharapkan karena hanya kecil sekali perhatian kepada masalah perbudakan modern yang disebut "migrant worker issue" (masalah para pekerja migran) itu. Apalagi memang kepentingan kapitalisme global sangat terkait dengan buruh murah dan mobilitasnya tinggi. Sehingga hanya kasus-kasus spektakuler saja yang bisa masuk ke ILO atau lembaga internasional semacam itu. Negara-negara seperti Arab Saudi tidak akan mungkin meratifikasi aturan internasional yang melindungi hak asasi buruh. Lha wong Deklarasi HAM Universal saja tidak digubris, apalagi "cuma" yang dibawahnya!

Lalu bagaimana? Kita sebagai pihak yang prihatin dengan kondisi para TKI dan kasus-kasus perbudakan moderen hanya bisa berupaya menyuarakan kepedulian dan membantu mereka dari sisi humanitarian (kemanusiaan). Berharap bahwa Pemerintah akan melakukan perubahan fundamental mengenai kebijakan pengiriman TKI (seperti stop mengirim naker ke Arab) adalah seperti fatamorgana, karena pemerintah dan elemen di dalamnya sangat diuntungkan oleh kebijakan yang ada saat ini. Apalagi dukungan para pengusaha perbudakan moderen melalui lobi dan uang juga sangat kuat. Cerita-cerita ttg derita Sumiati dan Kikim dan ribuan Pahlawan Devisa adalah menjadi sisi paling gelap dari sejarah negara yang bernama Indonesia, dulu, sekarang dan, mungkin, yang akan datang.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS