Thursday, November 4, 2010

KEKALAHAN PARTAI DEMOKRAT AS: REFERENDUM TERHADAP PEMERINTAHAN OBAMA?

Oleh Muhammad AS Hikam
President University

John Boehner, Jubir (Ketua) DPR-AS yang baru dari Partai Republik

Pemilu sela (midterm election) di AS usai sudah. Prediksi bahwa Partai Republik (PR), atau yang sering disebut The Grand Old Party (GOP), akan mengambil alih posisi mayoritas di DPR-AS (US House of Representatives) dari Partai Demokrat (PD) menjadi kenyataan. Meski demikian, PD masih bisa menghibur diri karena posisi mayoritas di Senat (US Senate), masih dipegangnya dengan memenangi Pemilu sela saat ini. Hasil yang dapat dilaporkan (mengutip The New York Times online) adalah sbb:

1. Partai Republik (PR) memenangkan 60 kursi di DPR AS sehingga jumlah anggotanya  239 orang (mayoritas)
2. Partai Demokrat (PD) kehilangan 60 kursi di DPR AS sehingga jumlah anggotanya kini 186 orang
3. Partai Republik (PR) memenangkan 6 kursi di Senat AS, sehingga jumlah anggotanya 46 orang
4. Partai Demokrat (PD) kehilangan 6 kursi di Senat AS, sehingga jumlah anggotanya 52 orang (mayoritas), ditambah 2 Senator independen.

Dengan hasil seperti ini, jelas bahwa Nancy Pelosi (PD) akan digantikan oleh John Boehner (PR) sebagai Jubir (Ketua) DPR AS setidaknya sampai dua tahun lagi (2012), sementara Harry Reid (PD) masih akan tetap memimpin Senat AS sampai periode 2016. Sistem politik di AS yang sangat menekankan berlakunya  pengawasan dan penyeimbangan (checks and balances) itu akan membuat konfigurasi kekuatan sangat berbeda dengan sebelumnya saat Presiden Obama masih menikmati dukungan mayoritas di kedua kamar lembaga legislatif tersebut. Kini, Gedung Putih akan sangat mengandalkan dukungan dan kepiawaian para Senator Demokrat yang masih merupakan mayoritas. Sedangkan DPR jelas akan menjadi medan laga politik yang sangat sulit bagi Pemerintah kendati dalam proses pembuatan keputusan ada berbagai mekanisme yang bisa dipakai untuk mencari dan merumuskan kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak yang berbeda kepentingan. Boleh dikatakan, kekalahan PD dalam Pemilu ini adalah mengulangi saat Presiden Bill Clinton harus berhadapan dengan Konggres yang didominasi oleh PR.

Hemat saya makna dan implikasi terpenting dari Pemilu sela ini adalah terhadap kesempatan terpilihnya kembali Presiden Obama pada Pippres 2012. Tampaknya, harapan untuk terpilih kembali bagi Obama makin meredup seiring dengan bertambahnya kekuatan PR di DPR dan maraknya sentimen anti PD di publik AS, yang ditandai dengan makin kuatnya gerakan kelompok ultra konservatif seperti gerakan "tea party" yang akhir-akhir ini makin vokal menyuarakan sikap anti Obama dan kebijakan politiknya. Kendati Obama mengklaim berhasil mengerem krisis finansial, mengurangi pengangguran, dan  melakukan reformasi dalam bidang jaminan kesehatan, semuanya itu dirasa belum cukup bagi mayoritas rakyat AS yang kini mengalami keterpurukan ekonomi. Justru kebijakan bail-out bagi penyelamatan krisis keuangan yang dilakukan Obama kini berbalik menjadi senjata makan tuan dan merugikan citra PD serta para politisinya. Kebijakan itu oleh para pengeritik dari kalangan PR dan ultra-konservatif dianggap sebagai bukti bahwa kebijakan Gedung Putih dan PD tak lebih dari intervensi negara dan Pemerintah terhadap ekonomi pasar bebas. Dalam khazanah politik AS, ini adalah kebijakan berbau sosialisme yang dalam wacana politik arus utama (mainstream) dianggap momok bagi kebebasan yang menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi.

Bukan cuma itu. Menurut lawan-lawan Obama dan dirasakan juga oleh sebagian pendukung PD, selama dua tahun terakhir kebijakan-kebijakan "populis" Presiden ini belum juga terlihat hasilnya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya kelas menengah yang terpukul oleh krisis ekonomi dan kehilangan pekerjaan serta prospek kehidupan yang buram. Kecenderungan perusahaan besar AS untuk "mengekspor" pekerjaan ke luar negeri dalam rangka mencari keuntungan besar dengan upah buruh rendah dan produktivitas tinggi, makin membuat marah rajyat yang selama dua tahun ini berharap terlalu banyak kepada kampanye Obama tentang "perubahan." Padahal, rintangan yang dihadapi Presiden Obama bukan melulu pada masalah pemulihan krisis ekonomi, tetapi juga masalah perang Irak dan Afghanistan yang telah memecah kohesivitas elite politik dan masyarakat AS, dan bertambah menguatnya konservatisme di masyarakat AS paska serangan teroris pada 11 September 2001. Tak pelak, fokus para pengritik tertuju pada masalah 'kegagalan" Obama membawa perubahan ekonomi dan pada kebijakan penyelamatan dari krisis yang, ironisnya, dianggap berlawanan dengan nilai-nilai dasar Amerika! Dan ini ternyata cukup efektif sehingga dukungan terhadapnya dengan cepat mengalami erosi ketika ia baru setahun lebih berkuasa.

Kekalahan PD di DPR juga jelas akan mempengaruhi polugri Obama, khususnya pada upayanya melakukan pendekatan-pendekatan dan terobosan baru vis-a-vis dunia Islam dan penyelesaian perang di Irak serta Afghanistan. PR akan berupaya keras kebijakan luar negeri yang dianggap tidak cukup "patriotik" itu. Demikian pula, kalangan ultra-konservatif dapat dipastikan menginginkan dipertahankannya pendekatan preventif dan diplomasi "koboi" yang dipakai oleh Bush dan Cheney sebelumnya. Hal ini sangat pas dengan kepentingan para industrialis yang berkiprah dalam industri perang yang selalu membela kebijakan polugri yang keras atau hawkish ketimbang yang lunak atau dovish. Pendekatan kekuatan keras (hard power) akan dipulihkan kembali, sementara pendekatan kekuatan lunak (soft power) akan dicerca sebagai bukti kelemahan. Implikasinya, Gedung Putih minimum akan semakin sulit mengontrol atau mengerem kecenderungan polugri yang anti Islam yang disuarakan oleh kaum konservatif di DPR AS. Upaya-upaya mencari solusi damai terhadap konflik Israel-Palestina atau masalah nuklir Iran, misalnya, akan makin melemah dan kurang mendapat dukungan di Konggres, kendati sebetulnya khusus dalam kasus nuklir Iran, Pemerintah Obama juga telah memilih jalan keras akhir-akhir ini!.

Bagaimana implikasi terhadap Indonesia? Pergeseran perimbangan politik di Kongres AS secara umum tidak terlampau berubah bagi negeri kita, karena memang Indonesia belum masuk dalam radar kepentingan AS sebagaimana negara-negara Timur Tengah, Asia Selatan, Cina dan Jepang. Hanya saja, harapan bahwa AS akan makin memfokuskan perhatian kepada ASEAN, sebagai kebijakan polugri vis-a-vis China bisa jadi akan makin besar. Demikian pula sikap sementara politisi AS dari PD yang miring terhadap Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan HAM dan militer, bisa diharapkan akan menurun karena mereka banyak yang tergusur. Salah satu dedengkot PD di Senat AS, Russ Feingold, misalnya, tersingkir dalam Pemilu ini oleh pendatang baru dari PR di negara bagian Wisconsin. Namun tidak berarti bahwa perhatian AS kepada negeri kita akan lebih maju ketimbang yang sudah ada saat ini, karena lawan-lawan Obama di Konggres juga tidak akan membiarkannya membuat kebijakan luar negeri yang populer tanpa melalui pengawasan mereka.

Walhasil, kemenangan PR kali ini mengakhiri dominasi PD di Konggres AS selam 4 tahun terakhir, dan bagi Presiden Obama adalah semacam referendum dari rakyat bahwa kepemimpinannya mulai diragukan publik AS. Hasil pemilu sela ini menjadi ancaman serius dari bagi niat Obama, Presiden Kulit Hitam pertama dalam sejarah negeri Paman Sam ini, untuk tetap berada di Gedung Putih pada periode kedua. Perpolitikan dalam negeri AS bisa diprediksi akan semakin panas dalam dua tahun yang akan datang, sementara masalah pemulihan  ekonomi negeri ini belum tentu akan berhasil dan rakyat semakin sejahtera. Era kejayaan AS sebagai kekuatan ekonomi dunia  telah lewat, sementara kekuatan militernya kendati masih merupakan yang paling digdaya, tetapi tidak ditopang oleh legitimasi yang kuat sebagai sebuah Imperium (Empire) sebagaimana diharapkan setelah blok komunis berantakan pada ujung abad ke duapuluh.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS