Wednesday, November 3, 2010

QUO VADIS PERSATUAN INDONESIA: RENUNGAN 82 TH SUMPAH PEMUDA

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


(Tulisan ini adalah ceramah saya pada Ultah Lions Club Jakarta Pusat, 28 Oktober 2010. Aslinya ceramah tanpa teks, sehingga mungkin secara verbatim tidak persis sama namun yang penting adalah substansinya. Trims)

Sebagai sebuah negara-bangsa yang telah berusia cukup lama, 65 tahun, yang mengawali berdirinya melalui sebuah ikrar kesetiaan (pledge of allegiance) yang disebut Sumpah Pemuda, 17 tahun sebelumnya, yaitu pada 1928, perjalanan NKRI sudah cukup panjang. Kita telah bersama-sama sebagai bangsa menyusuri berbagai peristiwa sejarah dengan segala suka dan duka, keberhasilan dan kegagalan, kebanggaan dan yang kurang dapat dibanggakan, berikut harapan dan cita menuju masa depan yang lebih baik, sebuah Indonesia yang dibayangkan, dicita-citakan dan diperjuangkan oleh para pendiri bangsa (the Founding Fathers) kita.

Kita tahu ada banyak hal yang patut kita syukuri sebagai anak bangsa sampai saat memperingati 82 tahun Sumpah Pemuda hari ini. Kita sekarang patut bangga disebut sebagai, dan termasuk dalam negara demokrasi terbesar ketiga di jagad ini, setelah India dan Amerika Serikat (AS). Kita patut bangga bahwa negeri kita mampu melaksanakan proses reformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi dengan cukup mulus walaupun masih banyak tantangan yang harus kita lewati dan singkirkan. Kualitas anak bangsa, seperti ditunjukkan oleh generasi muda kita yang acap menggondol medali emas di bidang Fisika, Matematika, dan Kimia di panggung kompetisi internasional, adalah juga capaian yang patut kita syukuri dan banggakan. Pengakuan internasional yang memasukkan RI dalam negara-negara G-20, saya kira, juga merupakan sebuah fakta bahwa negeri kita tercinta ini meraih sukses di dalam pergaulan antar-bangsa.

Pada saat yang sama, kita juga harus jujur, bahwa ada berbagai kecenderungan (trends) yang secara tersirat menunjukkan kemunduran dan bahkan menciptakan rasa khawatir sebagai negara-bangsa di masa-masa yang akan datang. Kita sebagai bangsa tampaknya mengalami semacam krisis identitas yang, pada gilirannya, dapat memberantakkan kohesivitas kita sebagai sebuah kesatuan. Krisis yang bisa disebut dengan "krisis persatuan Indonesia" ini bukan suatu hal yang dapat kita remehkan atau kita anggap sepele. Sebab apabila krisis tersebut tak dapat diredam dan dihentikan, konsekuensi logisnya adalah didintegrasi dan hilangnya NKRI sebagai negara-bangsa yang berdaulat dan bermartabat.

Presiden Pertama RI, Dr.Ir. H. Soekarno, sering mengingatkan rakyat Indonesia melalui pidato-pidatonya, yang sangat memukau dan bersemangat itu, tentang asal-muasal nasionalisme atau kebangsaan Indonesia dengan mengutip sejarawan Perancis Ernest Renan. Sejarawan itu mengatakan bahwa alasan utama (raison d'etre) terbentuknya nasionalisme adalah karena rasa senasib sepenanggungan yang satu dari berbagai kelompok yang akhirnya mewujud dalam sebuah ikrar untuk membangun sebuah identitas baru berupa sebuah bangsa. Indonesia dan nasionalisme Indonesia sudah jelas mengikuti alur pikir ini, karena nasionalisme kita beridentitas pluralis (majemuk) dan tidak mengenal adanya dominasi kelompok mayoritas baik bahasa, agama, suku, ras, dsb. Itulah landasan normatif Persatuan Indonesia yang diikrarkan oleh para Pemuda yang mewakili elemen-elemen kemajemukan pada 82 tahun yang lalu.

Jika kita merefleksikan hal di atas, nyatalah bahwa krisi yang kita hadapi saat ini berakar pada pudarnya "rasion d'etre" kita sebagai bangsa, karena pudarnya kebersamaan dan rasa senasib sepenanggungan sebagai SATU bangsa. Ketika kita menghadapi penjajah, maka cukup mudah memobilisasi rasa senasib dan menjadi alat perjuangan yang ampuh. Kondisi keterjajahan merupakan kondisi ketertidasan yang paling puncak (ultimate) yang dirasakan oleh anak bangsa sehingga dapat menerobos sekat-sekat yang ada dan menciptakan sebuah kekuatan luar biasa yang disebut Nasionalisme Indonesia. Tetapi 65 tahun setelah merdeka, dinamika sejarah bangsa membawa kita kepada sebuah realitas baru yang sering membawa dampak negatif terhadap rasa bersatu tersebut dan bahkan mengancam untuk melenyapkannya.

Kita lihat sekarang, bagaimana realitas sosial dan politi kita yang sangat memprihatinkan. Sebagian anak bangsa, karena ideologi dan kepentingan kelompok, melakukan kekerasan terhadap sesama warganegara. Bahkan ada yang sampai "menghalalkan darah" sesama ummat beragama dan menciptakan kekerasan di antara mereka atas nama agama. Pembangunan ekonomi memang menciptakan kekayaan dan mobilitas vertikal, tetapi jika dihitung secara kuantitatif, masih terlalu banyak yang tertinggal dan bahkan terpuruk. Bukan karena mereka tidak mau maju, tetapi cara pembangunan ekonomi itu yang menciptakan jarak yang makin jauh antara si kaya dan si miskin. Sistem pendidikan kita memang menghasilkan individu-individu yang briian seperti para juara Olimpiade Fisika, Matematika dan Kimia tadi. Tetapi secara keseluruhan, sistem pendidikan kita justru tidak menciptakan kemajuan dan kemandirian dalam iptek dan industri karena terlalu berorientasi pada pencetakan sarjana. Malah kini ditengarai sedang terjadinya proses "kastanisasi" dalam sistem pendidikan karena munculnya sekolah-sekolah internasional yang mahal dan tidak berorientasi pada pendidikan untuk rakyat.

Realitas inilah yang menyumbang bagi percepatan erosi atas landsan kebangsaan dan persatuan bangsa. Bangsa kita mengalami "atomisme sosial", yaitu kecenderungan memikirkan diri sendiri dan acuh terhadap yang lain. Contoih paling anyar adalah statemen Ketua DPR mengenai Tsunami di Mentawai yang, menurut saya, sangat melukai perasaan anak bangsa di pulau tersebut. Juga ucapan terhadap kemarahan publik mengenai jalan-jalan anggota DPR ke Yunani yang sangat tidak cerdas dan terkesan arogan. Ini semua akan semakin menjauhkan rakyat dan membuatnya juga acuh terhadap elitenya serta terhadap kewajiban sebagai warganegara. Dunia politik bukan lagi menjadi arena memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan publik, tetapi arena mencari, mempertahankan dan memperluas kuasa untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Jika krisis ini tak juga reda, maka bangsa ini juga akan ringkih karena tidak ada lagi semangat untuk saling bantu dan bertahan menghadapi ancaman baik dari dalam dan dari luar. Nasionalisme kemudian dipersempit menjadi sekadar loyalitas terhadap kelompok, ideologi, dan kepentingan jangka pendek. Ujung-ujungnya, Indonesia yang diperjuangkan oleh kaum muda 82 th lalu dan diproklamasikan oleh para pendiri bangsa 65 tahun lalu, bisa saja hanya tinggal catatan sejarah. Sejarah dari sebuah bangsa besar yang lenyap karena hilangnya kebersamaan dan persatuan.

Semoga anggota Lions Club yang memiliki etos menolong, melayani, dan kebersamaan ini bisa menjadi salah satu pihak yang peduli untuk terus memupuk rasa persatuan memalui kegiatan-kegiatannya di seluruh penjuru tanah air. Saya mengharapkan LC beisa memrkuat dan memperluas jejaringnya bersama organisasi masyarakat sipil lain, termasuk ormas agama seperti NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, Matakin, Parisadha Hindu Dharma, dsb. Saya yakin dengan kegiatan LC maka kita masih akan bisa bertahan dan bahkan membangkitkan lagi etos nasionalisme di masa-masa datang.

Terimakasih.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS