Tuesday, November 2, 2010

KEPEMIMPINAN MARZUKI ALIE: POTRET BURAM DPR-RI PASKA REFORMASI

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


Statemen Bambang Soesatyo (BS), politisi flamboyan dari Golkar, mengenai kepemimpinan Marzuki Alie (MA) dari Partai Demokrat (PD) menarik untuk disimak. Bamsoet, panggilan akrab BS, mengatakan bahwa Golkar diuntungkan dengan keputusan PD mempertahankan posisi Ketua DPR yang sekarang, kendatipun "kinerja Ketua DPR Marzuki Alie sontoloyo." Kenapa demikian? Jawabnya sederhana saja. Secara logika sederhana, kalau pimpinan DPR dari PD sontoloyo, pastilah rakyat nanti tidak akan tertarik lagi memilih Partai yang didirikan oleh Presiden SBY itu dan beralih ke partai berlambang beringin. Karenanya, Bamsoet merasa tidak perlu khawatir jika MA terus bertahan, walaupun itu berarti lembaga perwakilan rakyat yang terhormat itu akan menjadi lembaga "sontoloyo" pula!

Kalau cara berfikir "taktis" dan self-serving semacam ini dipakai, tentunya PD juga punya hitungannya sendiri. Misalnya, bukan tidak mungkin MA sengaja ditempatkan di sana agar DPR tidak terlalu punya gigi dan kalau bisa memang sontoloyo, agar tidak mampu bersaing melawan lembaga eksekutif alias Pemerintah. Bukankah akan repot seandainya Pemerintah menunjuk orang yang cerdas dan punya kualitas tinggi (katakanlah orang seperti Anas Urbaningrum, misalnya) sebagai Ketua DPR-RI. Bukankah akan membuat repot Presiden dan Pemerintah, apalagi kalau orangnya independen dan cakap seperti Pak Akbar Tanjung dulu! Jadi memang PD juga "diuntungkan" dengan menjadikan MA sebagai Ketua DPR, karena lembaga ini dan anggotanya (termasuk Bamsoet sendiri) lantas menjadi lembaga dan anggota yang juga sontoloyo. Alih-alih rakyat lari dari PD ke Golkar dalam Pemilu 2014, mungkin malah lari dari dua-duanya. Dan Bamsoet pun akan kena getahnya!

Pikiran para politisi Senayan memang sangat mengerikan bagi saya, karena sangat sempit, self-serving, dan tidak mencerminkan kapasitas negarawan yang mestinya berfikir pada tataran bangsa dan negara. Statemen Bamsoet adalh cerminan politisi yang cetek pikirannya dan hanya melihat kiprah di lembaga perwakilan dalam ruang yang sangat sempit yaitu kepentingan pribadi dan partai. Konsekuensinya, Bamsoet dkk justru merasa happy jika dipimpin oleh orang yang kurang bermutu, asalkan itu menguntungkan partainya. Tidak terpikirkan bahwa karena ke-sontoloyoan sang Ketua DPR, maka seluruh negara dan bangsa Indonesia ini menjadi korbannya. Bukan saja secara fungsional lembaga perwakilan ini kemudian tidak punya kemampuan menjadi penyeimbang dan pengawas bagi eksekutif, tetapi juga menjadikannya hanya sekedar asessori politik dan tempat berkumpulnya para politisi avonturir, bukan wakil rakyat.

Maka jangan salahkan Pemerintah jika kemudian DPR diremehkan dan dianggap tidak lebih hanyalah kegaduhan belaka. Dalam setahun ini, entah sudah berapa banyak kejadian memalukan yang dimunculkan dari gedung DPR/MPR oleh para wakil rakyat, yang hakekatnya menunjukkan ketidakseimbangan antara kualitas eksekutif dan legislatif kita. Hal ini tak bisa lepas dari kualitas kepemimpinan DPR dan para anggotanya yang, menurut hemat saya mayoritas, berada di bawah standard sebagai wakil rakyat pada tataran nasional. Tidak mengagetkan jika kemudian produk-produk memalukan seperti "genthong babi", "runah aspirasi", "gedung Rp 1,6 triliun", "jalan-jalan ke Yunani," dan entah apalagi. Sementara kalau urusan yang rada memerlukan otak sedikit seperti legislasi, bukan main leletnya. Apalagi kalau urusan pengawasan terhadap masalah-masalah pengakan hukum, mitigasi bencana, keamanan negara, dll. Semuanya tidak ada yang sesuai tenggat dan target!

DPR paska Reformasi menghendaki SDM yang jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi yang muncul justru SDM sontoloyo mulai dari pemimpin sampai anggotanya. Ini bersumber dari partai-partai politik yang ternyata imun dari proses reformasi, karena parpol yang sekarang bercokol di DPR (termasuk yang muncul paska tumbangnya Orba) masih menggunakan paradigma lama dan menikmatinya. Ketika lembaga-lembaga seperti birokrasi Pemerintahan, militer, Polri telah secara serius melakukan reformasi internal, ternyata hanya sedikit sekali reformasi di dalam parpol yang dilakukan. Itupun hanya dalam bentuk luar, tidak termasuk perubahan paradigma dan manajemen politiknya. Tak pelak lagi, parpol-parpol yang kemudian menjadi sumber rekruitmen untuk wakil rakyat hanya mampu menghasilkan politisi, bukan negarawan. Politisi hanya berfikir dan berkiprah dalam lingkup sempit yaitu kepentingan survival politik diri dan partainya. Sementara negarawan berfikir dan berkiprah pada tataran yang luas, yaitu negara.

Potret buram lembaga perwakilan rakyat ini tidak mungkin berubah tanpa reformasi parpol. Pemili 2014 pun hanya akan menghasilkan politisi semacam MA dan Bamsoet yang cara berfikir dan berkiprahnya sangat terbatas pada kepentingan jangka pendek, partai, dan survival karir masing-masing. Urusan negara dan bangsa? Sebodo teuing!
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS