Thursday, December 30, 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (13)

Oleh Muhammad AS Hikam
The Gusdurians


Almaghfurlah masih leyeh-leyeh sehabis Subuhan,ketika saya datang di tempat tinggal beliau. Sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengaliri sungai di samping rumah. Nyanyian burung-burung menyambut pagi, beristighfar dan bertasbih membuat suasana hening, tentreram, dan damai. Segera sayamendekat dan menyalami Almaghfurlah...

"Assalamu'alaikum, Gus.." salam saya seraya menyalami dan mencium tangan beliau.

"Salaam, Kang, wah kok pagi banget.. Piye waras tah sampean?" Sambut beliau seperti biasa.

"Alhamdulillah, Gus, baik-baik saja. Sengaja agak pagi, Gus." Kata saya sambil memernahkan diri duduk di hadapan beliau.

"Ada apa, memangnya? mBakyu dan anak sampean, baik-baik toh?"

"Alhamdulillah, Wien dan Lily sehat-sehat, Gus. Berkat do'a panjenengan, Lily semesterannya lumayan, dari empat kelas, tiga dapat A, satu B plus, Gus..." jawab saya.

"Ya.. alhamdulillah, alhamdulillah.. isih kurang pirang semester, anak sampean?" Tanya beliau.

"Kalau lancar, Insya Allah, tiga lagi, Gus.."

"Yo wis, Insya Allah lancar.."

"Amin..amin.. Gus. Oh ya sebelum lupa, saya mau matur Gus. Hari ini di rumah saya ada Khaul untuk panjenengan.."

"Maturnuwun, Kang. Kirim salam saya saja kepada semua yang hadir, ya.." Sambut GD.

"Insya Allah, Gus. Di mana-mana seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, orang memperingati Khaul panjenengan, Gus, dengan cara mereka masing-masing. Bahkan ummat non-Muslim juga memperingati. Semua merasa sangat kehilangan panjenengan. Apalagi Republik kita Gus, sepi tanpa panjenengan!."

"Sabar saja dan terus berusaha. Indonesia Insya Allah akan menjadi negara-bangsa yang besar dan diridloi Allah swt, asal dibawa ke arah yang dikehendaki oleh para pendirinya.." Jawab beliau santai.

"Amin, Gus. Namun untuk sementara kok ya mbulet saja ya Gus. Musibah masih sering terjadi, angka  kemiskinan masih tetap tinggi, pembangunan stagnan. Miris Gus, apalagi melihat kondisi para pemimpin yang seolah-olah kehilangan arah.." Kata saya mengeluh.

"Lha piye, Kang, wong memang negara itu perlu pemimpin yang bisa mengarahkan dan mengayomi rakyat. Bukan pemimpin yang mementingkan diri sendiri, apalagi pemimpin yang demi mempertahankan kekuasaan lantas tidak berani bersikap tegas..." Jawab GD

"Itulah, Gus, padahal kan perkembangan kondisi global juga menunjukkan bahwa negara-negara adikuasa mulai mengalami krisis sehingga melakukan perubahan fundamental dalam strategi mereka. Kan negara seperti AS saja sekarang tidak mampu lagi mendikte negara-negara Selatan, Gus. Cina sudah sangat mampu menyaingi kekuatan ekonomi AS dan negara-negara EU..." Saya bicara agak panjang.

"Pemimpin Indonesia harus memahami gelagat ini dan merubah strategi politik luar negerinya. Saya kan sudah bilang bahwa Indonesia harus makin dekat dengan kekuatan besar Asia, yaitu India dan China. Tentu AS, EU dan sekutunya seperti Singapura ndak suka dengan geostrategi yang saya buat. Kita juga harus makin dekat dengan Australia dan negara-negara Pasifik Baratdaya seperti Selandia Baru dll itu. Kalau gak ada perubahan seperti negeri kita pasti akan kejepit dan kalah dalam percaturan global itu." GD menjelaskan panjang lebar.

"Benar Gus, kita sekarang semakin tampak tidak mampu menjadi pemimpin bahkan di kawasan ASEAN. Kita memang masih dianggap negara-bangsa terbesar di kawasan, tetapi secara riil politik makin ketinggalan dengan Malaysia dan Singapura. Thailand memang masih ribet dengan poldagrinya, tetapi Vietnam bakal menyusul kita, Gus. Kayaknya kita sama-sama stagnan dengan Filipina saja."

"Begini, Kang. Kedua negara jiran yang sampean sebut itu melesat cepat karena kekliruan kita sendiri. Karena kita terpesona dengan kekayaan alam dan besarnya wilayah, kita lupa membangun kualitas manusianya. Bangsa yang jumlahnya sebesar itu dengan heterogenitas yang sangat tinggi memerlukan pengelolaan SDM yang sangat canggih. Coba sampean lihat dari kualitas pendidikan saja, kita kalah jauh. Apalagi pengembangan sains dan teknologi yang pas dengan kondisi dan konteks Indonesia, misalnya, sebagai negara maritim, ternyata tidak jalan. Industri manufaktur kita jadinya ya cuma seperti asembling saja, karena lemandirian teknologi yang tidak terbangun. UKM dan IKM kita makin tenggelam bersaing dengan China dan Vietnam. Ini yang harus menjadi fokus. Bukan hanya memanjakan sektor korporasi besar yang sebenarnya tidak mengakar di negeri kita."

"Menurut panjenengan, apa masih ada kesempatan mengejar semua itu, Gus?" Tanya saya.

"Kalau Indonesia dipimpin orang yang ngerti geopolitik dan punya komitmen kebangsaan yang tinggi, Insya Allah tidak ada yang tak mungkin. Cobalah kita lihat Vietnam dan Kamboja itu. Mereka mengejar ketertinggalan tanpa banyak omong, karena para elitnya punya komitmen dan trasa kebangsaan sangat tinggi. Sejarah kedua bangsa itu kan selalu bersaing dengan Thailand. Kini mereka juga akan mengejar ketertinggalan setelah stabil dan bebas drai kolonialisme modern." Terang GD.

"Wah, Gus, kalau saya pelajari dari banyaknya skandal korupsi seperti BLBI, Centurygate, pengemplangan pajak, penjualan saham KS dan sebagainya beberapa tahun terakhir, tampaknya masih akan lama kita mendapat kepemimpinan nasional yang begitu. Makanya kita sekarang sedang kena demam rindu Gus Dur, hehehe..."

"Hehehehe.... iya tapi ketika saya memimpin malah dikuyo-kuyo. Semoga jadi pelajaran bagi bangsa kita bahwa pemimpin itu tidak mudah dicari. Mau pemilu tiap hari pun kalau stok pemimpinnya cuma itu-itu saja, ujung-ujungnya ya ruwet. Tapi saya percaya kok, Kang, rakyat kita akan menemukan jalannya. Mereka akhirnya pintar juga memilih siapa yang punya kapasitas dan kualitas memimpin.." Kata GD

"Kalau di akar rumput bagaimana Gus, maksud saya, kepemimpinan para Kyai itu..?" Tanya saya.

"Wah, sama saja Kang, dari dulu saya kan bilang banyak Kyai yang tidak lagi mampu memahami masyarakat, karena sudah keasyikan dengan kepentingan sendiri. Akhirnya malah kehilangan pengaruh. Justru Kyai di level langgar-langgar atau surau-surau kecil itu yang saya anggap masih tetap diikuti orang. Yang pesantren gedhe-gedhe itu banyak yang kena kontaminasi politik, akhirnya malah seperti calo saja. Setiap Pilpres atau Pemilukada difungsikan sebagai pengumpul suara. Padahal rakyat kan sudah bebas dan bisa mendapt informasi siapa calon yang menurut mereka cocok. Ya itulah, akhirnya muncul guyonan bahwa dalil Ushul fiqh "Al hukmu yaduuru ma'a Illatihi   wujuudan au 'adaman," hukum itu adanya tergantung karena 'illah (alasan , masalah), lalu sekarang menjadi "Al hukmu yaduuru ma'a Ujrotihi..., alias tergantung pada bayarannya....hehehe...."

"Hehehe....." Kami berdua pun tergelak dengan joke yang sering dipakai GD.

"Makanya enak saja pindah-pindah loyalitas politiknya, tergantung ujroh (bayaran) nya!" Kata beliau melanjutkan.


"Wah..wah.. gak berani, Gus, ngrasani   Kyai. Bisa kualat nanti..." Kata saya menimpali.


"Yang malati itu kalau tidak tergantung ujroh, Kang... hehehe...." Jawab GD.

"Injih, Gus, berhubung sudah siang, saya mau pamit dulu ya. Nanti Pak Rizal Ramli dan Sastro yang akan menjadi pembicara dalam Khaul di rumah saya Gus.." Kata saya sambil beranjak untuk pamitan.

"Salam saya saja sama mereka berdua, terus bekerja untuk rakyat.." Kata Gus Dur sambil berdiri.

"Assalamu'alaikum, Gus, pareng.." say pun menyalami dan mencium tangan beliau.

"Salaaam.....'"
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS