Kebodohan dan ketidak pekaan nurani yang dilakukan anggota DPR-RI seakan tanpa batas. Bukan cuma di dalam negeri sendiri. Kebodohan pun dipamerkan ke luar negeri, yang akhirnya membuat warga Indonesia yg sedang ada di sana marah dan (mungkin) sangat malu dengan wakil rakyat dan elit politik yg nglurug dari negara tercinta mereka. Itulah pandangan saya pahami ttg rombongan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR yang sedang 'studi banding' ke Jerman kali ini. Konon, kepergian mereka ke negeri Goethe ini terkait dg soal pembentukan UU mengenai "keinsinyuran."
Tapi jangan salah. Saya termasuk orang yg mendukung program studi banding DPR pada umumnya, karena saya melihat secara prinsip program tsb masih perlu dilakukan. Saya juga setuju dengan kritik dari publik sejauh bahwa studi banding DPR-RI perlu direvisi dan dikaji ulang substansinya agar semakin efektif dan tidak hanya dipakai kedok untuk jalan-jalan para anggota DPR (dan kadang-2 keluarganya!). Say menolak pandangan bahwa studi banding bisa diganti dg browsing internet, diskusi dg Duber negara sahabat, atau bahkan melalui telecoferencing. Sebab tidak semua masalah kenegaraan bisa dilakukan demikian. Dalam hal tertentu, studi banding berupa kunjungan langsung memang layak dilakukan dan lebih bermanfaat. Selain memberikan akses langusng, para anggota Parlemen harus juga memiliki pengalaman "gaul" dengan partnerya di tingkat internasional. Hanya saja, sekali lagi, studi banding semestinya dilaksanakan dg cara-cara yg bisa mengurangi kemungkinan pemborosan uang negara, atau kunjungan yang bohong-2an seperti yang ditengarai oleh publik selama beberapa tahun belakangan.
Seperti studi banding soal gelar keinsinyuran ini. Saya tidak melihat ada suatu yang penting di sini, karena memang masalah tersebut tidak memiliki urgensi bagi negeri ini ataupun stakeholdersnya. Kalaupun gelar keinsinyuran (sebagaimana dg gelar lain) diubah, ia tidak akan membuat produktifitas dan kemampuan mereka yg menyandangnya lantas berubah, tanpa ada perubahan sistem ekonomi-politik, kebijakan pembangunan, dan budaya keilmuan dan teknologi yg mendasarinya. Kalau pun diubah (entah spt Jerman, AS, Inggris, dll), saya rasa hanya akan sekadar menciptakan julukan (titel) baru yang sama dengan yg sekarang. Yang lebih penting bukan nama gelar seseorang, tetapi bagaimana pengembangan pendidikan teknologi dan aplikasinya di negeri ini dikembangkan setinggi dan setepat mungkin. Anda bisa saja memiliki gelar kesarjanaan ratusan dideretkan pada nama anda, tetapi tanpa prestasi tidak akan membawa perubahan apapun, kecuali makin merepotkan penulisan nama anda.
Demikian pula sistem pendidikan, dan kebijakan iptek di Jerman yang sangat berbeda dg Indonesia tidak akan memberikan pengaruh yg serius seandainya keinsinyuran diubah. DPR semestinya memakai nalar yg normal saja untuk memahami masalah yg sebenarnya. Namun, jangan-jangan, memang bukan itu soalnya. Mereka cuma ingin membelanjakan uang negara dan memanfaatkan kedudukan mereka agar bisa melancong ke luar negeri. Perkara warga Indonesia di Jerman menolak dan marah, seperti tahun sebelumnya, DPR sudah punya prinsip "anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu" (http://news.okezone.com/read/2012/11/17/339/719440/masyarakat-indonesia-di-jerman-tolak-kunker-dpr).
Walhasil, studi banding Baleg-DPR, bagi saya, hanyalah proyek bodong dan sebuah skandal yg memalukan bangsa. Kalaupun ada yg mesti disebut hasilnya, maka ia adalah sebuah pameran kebodohan anggota DPR-RI ke negara lain saja. Tak lebih dan tak kurang!
Selanjutnya baca tautan ini:
http://news.okezone.com/read/2012/11/17/339/719414/perdebatkan-gelar-insyiur-11-anggota-dpr-ke-jerman
Saturday, November 17, 2012
Home »
» STUDI BANDING SOAL KEINSINYURAN KE JERMAN, PAMERAN KEBODOHAN BALEG DPR-RI?
0 comments:
Post a Comment