Sunday, May 19, 2013

KH. ABDURRAHMAN WAHID PELETAK DASAR PENDIDIKAN PLURALISME

Oleh: Warta Madani
Senin, 04 Maret 2013 | 07.13

KH. ABDURRAHMAN WAHID seorang tokoh fenomenal dengan gayanya yang unik dan khas serta sepakterjangnya yang kontroversial. Ia akrab dipanggil dengan nama Gus Dur: Gus merupakan nama kehormatan yang diberikan kepada putra kiai yang berarti mas. Adapun nama lengkap Gus Dur adalah Abdurrahman al-Dakhil1, adapun nama Wahid diambil dari nama ayahnya Wahid Hasyim. Dalam komunitasnya Abdurrahman Wahid dipandang sebagai “pangeran” yakni cucu dari kian Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan dinisbatkan sebagai pewaris kedua organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia.2

Setiap tanggal 4 agustus teman-teman dan keluarganya menghadiri pesta ulang tahunnya. Entah disadari atau tidak oleh teman-temanya bahwa tanggal itu bukanlah tanggal kelahirannya, ia sebenarnya dilahirkan pada 4 sya’ban atau 7 september 1940. Gus Dur dilahirkan di kota Jombang-Jawa Timur3 tepatnya di Denayar yaitu: dalam rumah kakek dari pihak ibunya kiai Bisri Syansuri. Kota Jombang yang terkenal dengan daerah tapal kuda yang merupakan basis pondok pesantren (kalangan Islam tradisonalis) dan pusat warga nahdiyin.

Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara4 hasil pernikahan Wahid Hasyim dan Sholichah (putri Kiai Bisri Syansuri). Wahid Hasyim adalah menteri Agama RI pertama5 rezim Soekarno dan aktif dalam panitia sembilan perumusan piagam Jakarta.6 Adapun kakek Gus Dur adalah pendidiri NU yaitu KH Hasyim Asy’ari, salah satu organisasi keagamaan Islam ternama dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Gus Dur hidup dalam setting lingkungan pesantren (santri-sunni) yang terbiasa dengan kehidupan agama, penuh dengan etika moral dan keterbukaan untuk mengutarakan gagasan dan keinginan apalagi bagi seorang anak kiai: apapun keinginannya harus dituruti oleh para santrinya. Paradigma berpikir yang berkembang di kalangan warga NU saat itu cenderung ortodok dan konservatif serta puritan, namun lain halya dengan Gus Dur mempunyai kemampuan melebihi kemampuan orang biasa. Ia tidak hanya melintasi komunitasnya tetapi ia mampu melewati batas agama, budaya dan etnis sampai tidak ada sekat-sekat yang dapat membatasinya dan jarang sekali tokoh seperti ini, bahkan ia sering mendapatkan cercaan dan tudingan dari Islam garis keras dan kelompoknya sendiri.

Masa kanak-kanak Gus Dur dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan Kiai Bisri Syansuri (pendiri pondok pesantren Denanyar). Berkat bimbingan ibunya, Gus Dur pada usia 4 tahun telah mampu membaca al Qur’an beserta ilmu tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa dengan kitab-kitab kuning yang berbahasa arab tanpa sakal dan arti Indonesia maupun Jawa. Kemudian di usia 4 tahun, Gus Dur tinggal bersama ayahnya di Menteng Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim dipercaya mengepalai Shumubu, semacam kantor ustusan agama atas permintaan pemerintah Jepang.7

Sejak tinggal di Jakarta bersama dengan ayahnya, Gus Dur langsung dibimbing oleh ayahnya dan sekaligus mendapatkan wawasan yang cukup. Dan sejak inilah awal mula ia diperkenalkan dunia yang sangat berbeda dari kehidupan pesantren yaitu: dunia perkotaan yang cukup kosmopolitan. Belum lagi didukung oleh kehidupan Wahid Hasyim yang mempunyai banyak relasi dengan berbagai lapisan masyarakat baik orang pribumi maupun orang luar serta berbagai tokoh baik dari kalangan agamawan, nasionalis, politikus maupun pemimpin komunis, -termasuk Tan Malaka, Mohammad Hatta, anak muda bernam Munawir Sadzali (dari kalangan mahasiswa) serta seorang Jerman Williem Iskandar Bueller yang masuk Islam. Kemanapun ayahnya pergi Gus Dur selalu diajak, sehingga Gus Dur sejak kecil sudah diperkenalkan dengan kehidupan yang berbeda dengan lingkungan pesantren di mana ia dilahirkan dan diasuh oleh ibunya. Mulai dari sini Gus Dur diperkenalkan dengan orang-orang yang mempunyai berbagai ideologi dan latar belakang yang berbeda dengan dirinya.

Wahid Hasyim sangat menyayangkan melihat cupetnya pikiran di kalangan masyarakatnya oleh karena itu ia berharap banyak kelak anak-anaknya lebih-lebih pada putra kesayangannya (Gus Dur) mempunyai pemahaman yang mendalam dengan berharap nantinya anak-anaknya dapat meneruskan perjuangan ayahnya. Karena keinginan yang tinggi maka Gus Dur sering diajak dalam pertemuan-pertemuan ayahnya, dengan harapan mengenalkan terhadap berbagai realitas dan masyarakat tanpa memilah-milah golongan dan status sosial.

Latar Belakang Pendidikan Abdurrahaman Wahid
Gus Dur dilahirkan di tengah-tengah kehidupan pesantren yang penuh nuansa etika, moral dan pendidikan agama. Dari sinilah awal dasar-dasar pendidikan agama ditanamkan oleh Ibunya ketika baru berusia 4 tahun, ilmu al Qur’an dan bahasa Arabpun telah dikuasai meskipun belum lancar. Ketika menganjak usia 4 tahun Ia mengikuti jejak perjuangan ayahnya di Jakarta dan ia dimasukkan pada sekolah yang tergolong bonafit namun ia lebih menyukai kehidupan yang wajar dengan memilih sekolah biasa saja. Gus Dur masuk Sekolah Dasar KRIS Jakarta Pusat mulai kelas 3-4 tetapi kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, Jakarta Pusat dekat rumahnya yang baru.8

Tempat Wahid Hasyim di Matraman sering dikunjungi tamu-tamu Eropa, Belanda, Jerman dan kalangan aktivis mahasiswa serta berbagi lapisan mayarakat. Dengan demikian Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan dengan tokoh-tokoh besar, dan ayahnya selalu menganjurkan kepada anak-anaknya untuk giat membaca tanpa membatasi buku apa yang dibaca. Sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid banyak dihabiskan di sekolah-sekolah “sekuler”.

Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengambil alih pimpinan keluarga dan membesarkan enam anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur melanjutkan sekolah di SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama), tinggal bersama keluarga Haji Junaidi (teman ayahnya dan seorang aktivis Majlis Tarjih/Penasihat Agama Muhammadiyah) di Kauman Yogyakarta dan untuk melengkapi pendidikan agama dan guna memperdalam ilmu bahasa arab maka ia mengatur jadwalnya seminggu 3 kali untuk ngaji dengan Kiai Ali Ma’shum di pondok Al Munawir Krapyak. Gus Dur adalah anak yang nakal dan bandel, waktunya dihabiskan untuk nonton sepak bola dan film sehingga tidak ada cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya dan ujung-ujungnya ia harus tinggal kelas. Baginya, pelajaran yang diterima di kelas dirasanya tidak cukup menantang. Alih-alih, Ia menghabiskan waktu nonton sepak bola dan membaca buku.

Meskipun kemapuannya dalam berbahasa Inggris sudah baik dan mampu membaca tulisan dalam bahasa Perancis dan Belanda serta Jerman, namun di Yogyakartalah kemampuan membacanya melesat jauh dan melahab banyak buku antara lain Das Kapital (Karl Mark), What is To Be Done (Lenin), dan mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles serta ia tertarik dengan ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism (kekiri-kirian penyakit kekan-kananan) dan dalam Little Red Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).9 Dengan membaca buku dan berbagai tulisan apa saja yang ditemukan maka cakrawala pemikirannya akan semakin luas.

Setelah menamatkan SMEP 1957, Kiai Bisri Sansuri memindahkan Gus Dur –hal ini disebabkan hobinya menonton film yang tidak ketulungan- untuk mondok di Magelang dan berada dalam asuhan dan bimbingan Kiai Khudhori pengasuh pondok pesantren Tegalrejo.10 Berbeda dengan santri biasa yang menyelesaikan pelajaran selama 4 tahun tetapi dengan kecerdasan yang dimiliki, Gus Dur mampu menyelesaikan pelajaran dengan waktu yang relatif cepat yaitu: dalam 2 tahun saja. Dari Kiai Khudhorilah ia banyak belajar dunia mistik dan tasawuf.

Pada tahun 1959 Gus Dur dipangil oleh pamanya: Kia Haji Fatah, untuk membantu mengelola Pesantren Bahrul Ulum11, Tambak Beras Jombang sampai tahun 1963. Selama kurun waktu itu ia menyempatkan belajar secara teratur dengan kakeknya: Kiai Bisri Sansuri dan mendapatkan bimbingan dari Kiai Wahab Chasbullah. Pada tahun pertamanya di Tambak Beras, ia mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di pondok ini dan sekaligus dipercaya menjadi kepala sekolah modern yang dibangun dalam area pondok pesantren. Untuk mengisi waktu libur kadang-kadang Gus Dur pergi ke Yogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Ali Maksum untuk belajar agama.12

Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid tertarik mengambil beasiswa untuk belajar di Universitas “al Azhar” Kairo (Mesir). Namun kecewa nampak dalam dirinya karena perlakuan kampus yang memasukannya di kelas pemula, bersama para calon mahasiswa yang belum mempunyai pengetahuan tentang bahasa Arab bahkan ada yang sama sekali tidak tahu abjad Arab, apalagi menggunakan dalam percakapan. Karena rasa kecewa atas perlakuan ini, hampir sepanjang tahun 1964 ia tidak masuk kelas, ujung-ujungnya gagal naik kelas karena waktunya banyak dihabiskan untuk nonton bioskop, sepak bola dan mengunjungi perpustakaan -terutama perpusatkaan American University Library- serta waktunya habis di kedai-kedai kopi untuk diskusi. Keberadaannya di universitas al-Azhar merupakan suatu kekecewaan baginya, namun sebaliknya kota Kairo baginya sangat mempesona dan menyenangkan. Kota Kairo banyak memberikan kebebasan berpikir dan dari al-Azharlah Muhammad Abduh, seorang perintis gerakan modernisme Islam yang progresif berasal.13

Dari al-Azhar Ia pindah ke Universitas Baqdad di Irak dan memilih fakultas sastra. Gus Dur mempunyai jadwal yang padat dibandingkan ketika ia berada di Mesir sehingga ia tidak lagi bebas berjalan-jalan semaunya sendiri dan mau tidak mau ia harus mengurangi kebiasaan tidak mengikuti kuliah secara teratur, karena kehadiran merupakan hal wajib. Baqdad merupakan bagian dunia intelektual yang kosmopolit membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan dan mulai tahun 60-an Universitas ini menjadi Universitas bergaya Eropa. Ironisnya, banyak dosen favoritnya yang berasal dari Kairo pindah ke Baqdad karena kota Baqdad memberikan kebebasan berpikir secara terbuka dan menjanjikan gaji yang lumayan besar. Meskipun jadwal yang padat tetapi Gus Dur masih sesekali menyempatkan waktu untuk nonton bioskop dan mengikuti diskusi di pinggir sungai Tigris sambil minum kopi.

Perjalanan Organisasi Agama, Sosial, Budaya dan Politik serta bidang pendidikan
Jarang ditemukan seorang tokoh sekaliber Abdurhaman Wahid, di satu sisi ia adalah seorang kiai (agamis) namun di sisi yang lain ia penuh dengan rasa humor, ceria, kritis yang terkadang sangat kontroversial dengan cara-caranya dalam menghadapi kawan dan lawan dan tidak jarang membuat lawannya kesal dan cengkel atas tingkah laku yang dikakukannya. Dengan kehumoran, kekritisan dan ide cemerlang bahkan kontroversial serta kemampuannya dalam beretorika membuat banyak orang kagum dan banyak dari mereka tidak mengerti, tetapi ia tetap menarik. Sehingga ia mudah beradaptasi dengan orang yang berada di sekitarnya tanpa memedulikan status sosialnya.

Dengan latar belakang pendidikan pesantren tradisional yang kaya akan budaya dan hasanah ilmu Islam klasik, didukung oleh pendidikan timur tengah yang kosmopolitan dan perjalannya di Belanda serta kemampuannya dalam melobi dan pergaulannya yang tidak membeda-bedakan status agama, etnik, ras membuat ia banyak diterima oleh berbagai kalangan. Namun yang paling menarik dari tokoh ini adalah pemikirannya yang liberal, progresif, inklusif, egaliter serta keseriusannya dalam menegakkan demokrasi, keadilan, membela hak asasi manusia, meletakkan kepentingan rakyat dan bangsa di atas segalanya serta tidak kalah pentingnya untuk selalu melakukan pembelaan terhadap kaum minoritas yang tertindas.

Pada tahun 1971 Gus Dur kembali ke Jombang dan terjun ke dunia pendidikan dengan menjadi Dosen serta dipercaya menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY yang sekarang dengan nama IKAHA), sekaligus menjadi sekretaris pondok pesantren Tebuireng milik pamanya, Kiai Haji Yusuf Hasyim.14 Selain menjabat sebagai ketua persatuan mahasiswa ketika studinya di timur tengah, ia juga aktif menulis artikel, esai, dan kolom di media masa serta bekerja di kantor kedutaan Indonesia di Mesir. Begitupun tatkala ia menjadi dosen di Jombang sering mengisi seminar, sarasehan dan menulis untuk berbagai majalah serta ikut memprakarsasi berdirinya Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Mayarakat (P3M) bersama dengan beberapa kiai dan aktifis muda NU seperti Masdar Farid Mas’ud.

Karena keaktifannya dalam P3M maka ia sering bolak-balik Jombang-Jakarta untuk mengurusi LSM dan ia pun memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagi dosen dan menetap di Ciganjur dan mendirikan pondok pesantren. Pada tahun 1981 ia diangkat sebagai Wakil Katib Awwal syuriah PBNU menggantikan kakeknya Kiai Bisri Sanyuri.

Selain itu Ia sangat mengandrungi budaya lokal, ilmu pewayangan, cerita silat, sepak bola dan nonton film. Karena kecintaanya pada dunia seni maka ia diangkat menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983 dan juga diangkat menjadi ketua Festival Film Indonesia (periode 1986-1987). Ia memang tergolong kiai yang aneh dan “nyeleh”, apalagi ia berasal dari kaum Nahdiyin yang tabu akan dunia film. Pada tahun 1984 muktamar ke-27 Situbondo menetapkan Gus Dur sebagi ketua tanfidziah PBNU dan dipercaya lagi menjadi ketua PBNU untuk muktamar ke- 28 tasikmalaya dan muktamar ke-29 Yogyakarta. Tiga kali berturut-turut menjabat ketua PBNU menunjukkan ia seorang kiai yang cerdas, progresif dan karismatik di kalangan warga Nahdiyin khususnya kaum muda NU. Gus Dur mempelopori agar NU kembali ke kandangnya (NU bukan lagi organisasi politik namun tidak lebih sebagai lembaga keagamaan dan tidak melarang jama’ahnya berpolitik). Bagi kalangan muda NU, Gus Dur dianggap sebagai tokoh yang mampu membebaskan dari ortodoksi dan konservatisme keagamaan, yang sebagian besar ada pada kalangan tua Nahdiyin. Banyak kalangan yang menaruh harapan besar dengan terpilihnya Gus Dur menjadi ketua PBNU, kemampuannya untuk menjembatani kalangan muda dan tua serta hubungan NU dengan pemerintah dan LSM. Selain itu dengan ide–idenya yang cemerlang dan progresif mengilhami generasi muda NU untuk progres.

Pada tahun 1990 ICMI menawari Gus Dur untuk masuk dalam lembaga ini, namun ia menolak dan justru mendirikan forum demokrasi, dan menuding ICMI sebagai lembaga bikinan penguasa yang berbau sektarian. Forum Demokrasi merupakan organisasi yang bertujuan menegakkan demokrasi dan pluralisme. Keanggotaan forum ini tidak terikat dan anehnya lagi sebagian besar anggotanya bukan dari kalangan muslim dan bukan NU, malah kebanyakan dari mereka adalah orang protestan, katolik, dan sebagian besar mempunyai latar belakang sosialis.

Karena kedekatannya dengan kalangan non muslim dan LSM serta komitmennya terhadap perjuangan penegakan demokrasi dan toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga ia mendapatkan kepercayaan sebagai presiden WCRP (World Council for Religiuon and Peace), anggota dewan pembina dan pendiri pusat Simon Perez untuk perdamaian (Simon Perez Peace Centre) serta penasehat International Dialogue Foudation on Perspective Studies of Syariah and Seculer Law di Den Haag, Belanda. Tidak ketinggalan pada 31 agustus 1993 sebuah majalah “Nobel Asia” Philipina memberikan penghargaan Ramon Magsaysay kepada Abdurrahman Wahid. Keith Loveard dan Dirk Vlasblon yang merupakan koresponden majalah Asiaweek di Jakarta memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh terkuat di Asia pada urutan ke-24 (1996) dan 20 (1997).

Keseriuannya dalam penegaan demokrasi dan pembelaan terhadap kaum minoritas semakin kelihatan nyata. Hal ini nampak jelas atas tindakan Gus Dur pada awal 90-an yang mengkritik atas kebijakan-kebijakan rezim Soeharto yang tidak demokratis dan otoriter. Pada tahun 1998 bertempat di kediaman Gus Dur tokoh-tokoh reformis yaitu: Megawati, Amin Rais, Sultan Hamengu Buwono X dan Gus Dur untuk membicarakan gerakan reformasi menghasilkan piagam Ciganjur. Dalam pertemuan ini ada komitmen untuk menegakkan demokrasi dan mewakili aspirasi rakyat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah demi sebuah perbaikan terhadap Indonesia.

Rezim soeharto runtuh dan pesta demokrasi mulai dikumandangan dengan ditandai munculnya partai-partai politik sebagai wujud kebebasan berorganisasi dan berpendapat di depan umum. Partai Islam bermunculan dan tidak ketinggalan Gus Dur mendeklarasikan partai kebangkitan bangsa (PKB) yang banyak didukung oleh kalangan NU. Kemudian pada pemilu tahun 1999 ia terpilih menjadi presiden mengalahkan rivalnya Megawati Sukarno Putri. Keberhasilannya duduk dikursi kepresidenaa tidak lepas dari usaha Amin Rais dari poros tengah.

Karya-karya Intelektualnya
Gus Dur secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan ijazah kesarjanaan namun ia seorang yang cerdas, progresif dan cemerlang ide-idenya. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah seorang yang cerdas lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam berbahasa dan retorika serta tulisan-tulisanya di berbagai media massa, majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan seminar, sarasehan serta buku-buku yang telah diterbitkan antara lain:

  1.     Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979)
  2.     Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981)
  3.     Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997)
  4.     Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998)
  5.     Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999)
  6.     Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999)
  7.     Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)

Dari berbagai tulisannya baik buku, makalah dan esai-isai kompas tahun 90-an menunjukkan tingkat intelektualnya. Dengan bahasa yang sederhana dan lancar, bahkan dalam penyampaian lisanpun, Gus Dur diakui sangat komunikatif. Sebagaimana dikatakan Greg Barton meskipun Gus Dur tidak mengenyam pendidikan –tidak memiliki gelar kesarjanaan- Barat namun berbagai tulisannya menunjukkan ia seorang intelektual progresif dan jarang sekali dijumpai foot note dalam berbagai tulisannya. Hal ini dikarenakan kemampuannya yang luar biasa dalam memahami karya-karya besar tokoh-tokoh dunia (pemikir dunia seperti: Plato, Aristoteles, Karl Max, Lenin, Max Weber, Snouck Hugronje, Racliffe Brown, dan Milinowski). Selanjutnya karya-karya tersebut dieksplorasi secara kritis dan dikolaborasikan dengan pemikiran-pemikiran intelektual Islam dalam memunculkan ide-ide pemikirannya.15

Paradigma Pemikiran

Siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur?. Sosok yang unik penuh ide kontroversial, dengan metode zig zag yang membuat kebanyakan orang binggung dan kelabakan. Idenya tidak dapat dicerna dengan menggunakan satu sudut pandang saja. Semua ide dan manuvernya butuh interpretasi, bahkan secara ekstrim dianologikan sebagai “kitab”16 yang butuh penafsiran. Seperti yang dikatakan Cak Nur (Nur Cholish Madjid) yang kenal Gus Dur sejak masih menjadi mahasiswa -kebetulan keduanya berasal dari Jombang- sejak muda Gus Dur adalah orang nekad. Ia selalu keluar dari batas kemampuaannya dan tidak pernah puas dengan jalan yang pasti dan aman.17
Jangankan kita, tokoh sekaliber Nur Cholish Madjid atau Azyumardi Azra pun merasa terengah-engah dan kesulitan memahami sepak terjangnya, mulai dari sikap, tindakan, ucapan dan pendapatnya baik mengenai politik, budaya, keagamaan atau respon terhadap realitas yang ada sehingga Cak Nur menyebut Gus Dur sebagai rahasia Tuhan yang ke empat setelah jodoh, kematian dan rizki. Bahkan Azyumardi Azra yang menyebut sebagai salah satu dari delapan keajaiban Tuhan.18
Untuk dapat memahami pemikiran Gus Dur Greg Barton lebih cenderung melihat pada keyakinan religius dan kehidupan batiniahnya19 bukan berarti mengenyampingkan kehidupanya secara makro. Latar belakang pondok pesantren -penuh nilai-nilai Cultural- di mana ia mulai tumbuh dan berkembang juga mempengaruhi pemikirannya. Dalam konteks ini Abdurrahman Wahid tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisonal sebagai hasil final tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi dalam kerangka pembuatan sintesis untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab problem sosial aktual.
Di samping kehidupan pesantren, ia juga diperkenalkan dengan kelompok-kelompok sosial yang lebih luas. 
Pendidikan dunia Timur Tengah yang kosmopolitan –terutama di Bagdaq yang bercorak sekuler dan liberal- secara langsung ikut mewarnai corak pemikirannya. Meskipun secara formal ia tidak belajar di Barat, tetapi sejak muda ia terbiasa dengan pemikiran-pemikiran barat. Oleh karena itu ia lebih siap bergaul dengan wacana-wacana besar pemikiran barat dan keislaman, dan bahkan kedua sumber tersebut (Islam dan Barat) dikombinasikan secara kritis-dialektis sebagai basis yang kemudian membentuk pemikirannya.20 Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai LSM dan mudah bergaul dengan komunitas heterogen dari berbagai karakter budaya, etnis, dan agama dengan ideologi yang berbeda-beda –dari yang konservatif, fundamental, liberal, sampai pada level sekuler sekalipun.21 Hal ini secara signifikan mempengaruhi pola pikir dalam melihat realita.
Sedangkan AS Hikam, seorang peneliti LIPI mengemukakan pola pemikiran Gus Dur pada dasarnya dapat dipahami sebagai produk dari tiga kepedulian ulama: pertama, rivitalisasi warisan Islam tradisonal ahlussunnah wal jama’ah yang komitmen atas kemanusiaan (insaniyah), antara lain adanya kepedulian yang kuat pada kerukunan sosial (social harmony) dan sikap inklusif yang ada dalam ajaram Islam. Kedua, wacana modenitas yang didominasi pemikiran sekuler Barat dan semangat pencerahan (enlightenment). Gus Dur tetap mengacu pada paham ahlussunah wal jama’ah untuk menyikapi perkembangan modern dengan sikap terbuka dan kritis untuk mencari titik temu antara keduanya. Modernitas tidak disikapi dengan kronfontatif tidak seperti apa yang dilakukan banyak cendikiawan Islam, tetapi secara akomodatif guna menemukan titik temu yang bermanfaat memecahkan masalah umat, tanpa harus meningalkan Islam tradisional. Ketiga, Gus Dur selalu berusaha pencarian jawaban atas tantangan yang dihadapi umat Islam bangsa Indonesia di tengah perubahan yang amat cepat dari proses globaliasi dan modernisasi.22
Greg Barton, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai Neo-modernis23 Islam.24 Barton menemukan tema yang dominan dalam pemikiran Gus Dur yaitu tema humanitatianisme liberal.25 Tema liberal secara fundamental mendapat tempat yang besar dalam pemikiran Islam Abdurrahman Wahid tanpa harus meninggalkan prinsip Islam tradisional26 tetapi mensinsentesa keduanya.

Refrensi:

1 Ad-Dakhil yang berarti “penakluk” diambil dari pahlawan dari Dinasti Umayyah yang berhasil menaklukkan Spanyol adalah nama yang berat untuk anak manapun.
2 Greg Barton, “Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam pengantar Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xxxvi
3 Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 25
4 Enam bersaudara itu adalah Abdurrahman Wahid (1940), Aishah (1941), Salahuddin (1942), Ummar (1944), Chodijah (1948), Hasyim (1953).
5 Jabatan sebagai Menteri Agama sangat berlawanan dengan yang biasa terjadi dalam ulama tradisional dan biasanya mereka enggan duduk dalam pemerintahan tetapi yang terjadi sebaliknya.
6 Anggota Panitia sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta itu ialah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, H. Abikusno Cokrosuyoso, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo, KH. A. Wachid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin.
7 Greg Barton, Biografi…, hlm. 34
8 Ibid., hlm. 40
9 Ibid., hlm. 53
10 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Kemanusiaan, dan Pribumusasi Islam (Yogyakarta: Kutub, 2003), hlm. 53
11 Ibid.
12 Greg Barton, Biografi…, hlm. 51
13 Greg Barton, Biografi…, hlm. 84
14 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya…, hlm. 53
15 Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxiv
16 Lihat Gus Dur dalam Sorotan Cendikiawan Muhammadiyah (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 61
17 Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxxvii
18 Gus Dur dalam Sorotan…, hlm. 61
19 Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxv
20 Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1999), hlm. 70
21 Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxv
22 Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur…, hlm. 77-78
23 Merupakan gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Bahkan aliran ini kritis terhadap dampak modernitas dan tidak melihat Barat sebagai ancaman bagi dunia Islam namun antara keduanya saling mengisi. Neo- modernis juga mengedepankan sikap inklkusif, toleran dan liberal serta selalu melakukan kontekstualisasi ajaran Islam. Lihat dalam Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 121-122
24 Ibid.
25 Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxx
26 Doktrin ahlusunnah wal jama’ah: tawwatsuh (moderat), tasamuh (toleransi), dan i‘tidal (adil) dalam berinteraksi dengan orang lain. Gus Dur lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj), teori hukum (ushul al fiqh) dan kaidah-kaidah hukum (qowaid fiqhiyyah) dalam kerangka pembuatan sintesis untuk menelorkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual.


DOKUMENTASI HAK MILIK:
Rumah Pendidikan Sciena Madani
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS