Sunday, June 9, 2013

"AL-MUNQIDZ MINAT-TATHARRUF": PERAN PONDOK PESANTREN MEMBENDUNG BAHAYA EKSTREMISME DAN RADIKALISME


Oleh: MUHAMMAD AS HIKAM
         Ponpes Salafiyah Kholidiyah
         Plumpang, Tuban, Jawa Timur


 




I. Ekstremisme, Radikalisme, dan Terorisme 
    Mengatasnamakan Islam

Dalam perjalanan sejarah Islam, radikalisme[1] dan penggunaan kekerasan untuk kepentingan politik golongan, dapat dirunut akarnya semenjak masa sesudah wafatnya Rasulullah saw, terutama dengan munculnya apa yg dikenal sebagai kelompok (firqah) Khawarij.[2] Kelompok inilah yg dianggap bertanggungjawab terhadap kasus-kasus pembunuhan politik terhadap Khalifah Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib serta beberapa tindak penyerangan thd kelompok dan pemimpin Islam lainnya. Untuk keperluan pengabsahan aksinya, kaum Khawarij mengembangkan pemikiran dan gagasan teologis yang ekstrem yang pada intinya menganggap semua pihak, individu maupun kelompok, yang tidak mengikuti gagasan dan pemikiran serta aksi mereka sebagai kelompok yang berada di luar Islam (kafir)[3] dankarenanya harus diperangi. Tak pelak lagi, kaum Khawarij lantas menjadikelompok radikal dan Takfiri (menganggap pihak lain sebagai kafir) pertama dalam sejarah Islam dan menjadi target setiap penguasa Islam sehingga pengaruhnya sebagai kekuatan dan paham ideologis pun mengalami marginalisasi (peminggiran).

Kendati marginal sebagai kelompokdan ajaran, ideologi radikal Takfiri tidak lantas lenyap, tetapi mengalamievolusi, transformasi, dan dinamika sesuai perkembangan sejarah dan masyarakatIslam di mana mereka berada. Ideologi-ideologi ekstrim dan radikal, berikut berbagai aksi kekerasansenantiasa muncul dalam perjalanan sejarah Islam sampai saat ini. Ironisnya, tak jarang kelompokekstrim tersebut mendapat legitimasi publik dan ummat yang cukup luas sehingga,sampai tingkat tertentu, seakan-akan menjadi representasi dari ummat Islam.Dalam konteks sejarah Indonesia, misalnya, gerakan kaum Paderi yg dipimpin ImamBonjol di Sumatera Barat, telah ‘terlanjur’ dianggap sebagai aksi kepahlawananmenghadapi kolonialisme Belanda, padahal menurut sebagian sejarawan apa yangdisebut dengan Perang Paderi tsb asal muasalnya adalah gerakan radikal agama yg diwarnai kekerasanyang dilakukan oleh para Ulama dan pendukung puritanisme Islam terhadapkelompok Adat, yang kendati beragama Islam tetapi dikategorikan sebagai kafir.[4] Radikalismedan kekerasan di dalam ummat Islam di berbagai negara di dunia yang lain,bukanlah sesuatu yang asing atau insidentil belaka, tetapi memiliki akarkesejarahan dan terkait dengan perubahan masyarakat.

Era pasca-perang dingin yg dicirikandengan globalisasi berikut dampak perubahan-perubahan besar dalam segala aspekkehidupan manusia, menyaksikan muncul dan maraknya radikalisme di sebagaianummat Islam dan fenomena aksi terror yang, secara salah atau benar,diasosiasikan dengan Islam atau ummat Islam. Apa yg disebut oleh para pakarsebagai ideologi “Trans-nasional Islam”atau “Islam Fundamentalis” atau “Salafi jihadis”, atau sering disebut “Jihadis” adalah istilah jenerik dari pendukung ideologi radikal ygmengapropriasi ajaran Islam dan memakai strategi serta taktik kekerasan, termasuktetapi tak terbatas pada terorisme. Salah satu peristiwa yang selalu menjadirujukan di dunia adalah peristiwa 9 September 2001, ketika dua pesawatpenumpang ditabrakkan ke Gedung Kembar WTC di New York oleh para terorisAl-Qaeda, dan upaya yang sama namun gagal terhadap Kementerian Pertahanan AS diPentagon. Selain ribuan manusia menjadi korban, kerusakan baik fisik maupun psikis secara massif telah terjadi yang akanberdampak sangat besar bukan saja terhadap bangsa Amerika tetapi juga ummatIslam di seluruh dunia. Di Indonesia, aksi-aksi terror mulai marak sejak tahun2000 dan sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda akan berhenti kendatitelah ratusan korban meninggal dan luka-luka, belum lagi dampak negatifnya bagibangsa Indonesia di mana ummat Islam merupakan bagian integral di dalamnya.

Negara RI sebagai sebuah negara yangmayoritas penduduknya adalah ummat Islam, pada tingkat tertentu, menghadapi problem yang lebih rumit ketimbang AS dalam hal ancaman terror yang dilandasi oleh ideologi ekstrim-radikal. DiAS, ancaman terror dan kelompok teroris relatif lebih jelas sosok dan identitasnya,walaupun bukan berarti mudah untuk dideteksi dan diatasi. Kasus terakhir bom dikota Boston, umpamanya, menunjukkan bahwa ancaman terror di dalam negeri AS ternyata masihterus ada. Padahal upaya pemberantasan terorisme oleh negeri tersebut telahdilakukan secara begitu seksama, sistematis, dan menelan biaya triliunandollar. Apa yg disebut sebagai strategi pencegahan awal (preventive) dan aksidadakan (pre-emptive) dalam perangmelawan terorisme semenjak Presiden George Bush sampai saat ini, di bawahPresiden Obama, masih banyak diperdebatkan efektifitasnya. Kendati AS dapatmenembak mati gembong teroris seperti Osama bin Laden di Pakistan, tetapifaktanya Al-Qaeda ternyata masih tetap bergeming dan malah memiliki berbagaijejaring di Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur, termasukkawasan ASEAN!

Di Indonesia, kondisinya sangatberlainan karena kelompok radikal dan pelaku terror berada dalam suatu wilayahyang dihuni ummat Islam yang memungkinkan mereka melakukan berbagai upayaklandestin (penyelundupan) dan bergerak dalam masyarakat. Kendati jumlah pendukung kaum radikal di Indonesia sangat kecil,[5] namunmereka dengan mudah mampu melakukan manipulasi dan kampanye untuk mencaridukungan atau simpati melalui manipulasi informasi dan penggunaan jejaringmedia, baik media umum maupun media sosial. Selain itu, berbagai gerakan danormas Islam yang memiliki pandangan yang dekat dengan kaum radikal, langsungatau tidak, ikut memberikan selubung dan dukungan. Sebagian ummat Islam yangmemiliki pemahaman yang masih kurang mengenai relasi agama dan kekuasaan negaraatau Pemerintah, juga mudah dipengaruhi oleh kaum radikal sehingga mereka dapadimanfaatkan juga dalam penyebaran gagasan dan aksi radikal tsb. Dapat disimpulkan bahwa dengan kondisi seperti ini, perang melawan radikalisme dangerakan radikal di Indonesia memiliki kompleksitas yang jauh berbeda dengannegara seperti AS, dan karenanya harus pula menggunakan strategi yang lebihkompatibel dengan konteks dan realitas yg ada di negeri ini. Pendekatankekuatan dan penegakan hukum (hard power)saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas. Diperlukanpendekatan yang lebih lunak (soft power)termasuk upaya de-radikalisasi padatataran masyarakat sipil, khususnya di kalangan akar rumput (grass-roots).

II. Peran Ponpes Dalam Penanggulangan Ekstremisme-Radikalisme

Mengikuti pandangan almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),ponpes adalah sebuah sub-kultur dalam masyarakat yang peran dan fungsinyasenantiasa mengikuti perkembangan. Sebagai sub-kultur, ponpes memiliki cirikhas baik secara fisik maupun non fisik serta produknya. Secara non fisikponpes memiliki cara pandang dunia (worldview)yang bersumber dari ajaran Islam yg diwarisi dan diajarkan secara terus menerusdari generasi pertama yang salih (salafas- salih) sampai saat ini. Dari pandangan dunia tersebut, maka lembagaponpes membawa dua missi penting: 1) sebagai lembaga pendidikan untukmemperdalam dan mengembangkan agama Islam, dan 2) memperbaiki perilakumasyarakat baik di dalam maupun di luar ponpes sesuai dengan ajaran Islam.Secara fisik, ciri khas ponpes dapat dicermati dari bentuk bangunan ataukompleks di mana ia berada yang menjadikannya sebagai sebuah komunitas mandiritetapi tetap terbuka kepada pihak di luarnya. Dimensi fisik ponpes itu termasukjuga bagaimana proses ajar mengajar dilaksanakan, hubungan antara Kyai-santribaik ketika masih berada di dalam maupun setelah di luar ponpes, hubunganantara komunitas ponpes dengan pihak di luarnya, termasuk penguasa, dll.Sementara produk pesantren adalah para alumni dan kontribusinya sertapenghargaan yang diterima dari masyarakat. Dalam hal ini, ponpes ikut berkiprahbukan saja dalam pengembangan keilmuan agama dan penerapannya dalam kehidupannyata, tetapi juga dalam aspek kehidupan non-agama, seperti ekonomi, politik,dan sosial.

Tak pelak lagi, inti sub-kulturponpes adalah Kyai dan santri serta kiprah memperdalam ilmu keagamaan (tafaqquh fid-diin) yang telahberabad-abad dilestarikan dan dikembangkan. Dalam tradisi ponpes di kalangan nahdliyyin, titik berat pendidikanponpes adalah meneruskan tradisi keilmuan agama yg telah menjadi corpus Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan memperhatikan konteks lingkungan dimana ia berada, baik pada tataran lokal, regional, nasional, maupun global.Kendati sepintas fokus ponpes sangat lokal, namun tak mungkin dihindarkanterjadinya persentuhan dengan lingkup yang lebih luas. Apalgi dengan semakinberkembangnya teknologi informasi, stereotype ponpes sebagai lembaga pendidikanagama yang kurang gaul, terisolasi, dan tertutup, tidak memiliki validitas yangcukup kuat. Disiplin keilmuan yang diajarkan dalam ponpes, seperti fiqh, hampirtidak memungkinkan Kyai dan santri untuk bersikap mengasingkan diri. Kendatidemikian, harus diakui adanya gradasi tingkat kosmopolitanisme dalam ponpestertentu.

Itulah sebabnya, jarang ditemukan ponpes yang benar-2 uzlah (mengisolasi diri) daripergaulan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar. Justru sebaliknya, ponpesmenjadi salah satu locus untuk bukan saja mencari, mendalami dan mengembangkan keilmuan agama, tetapi jugareferensi bagi keperluan masyarakat: mulai keperluan membaca doa sampai masalahpolitik. Dengan demikian perpaduan antar fungsi pertama dan kedua, senantiasaberlangsung lebih-kurang secara wajar dan natural. Hanya saja intensitasnya sangat tergantungkepada sang Kyai dan santri serta masyarakat sebagai pemangku kepantingan (stake holders). Bisa saja sebuah ponpes yg beradadi sebuah lokasi pedesaan memiliki jangkauan pengaruh (sphere of influence) yang menerobosbatas-batas geografis desa dan bahkan kota sekitarnya. Demikian jugasebaliknya, bisa terjadi bahwa sebuah ponpes di kota yang tidak terlalu banyakterdengar pengaruhnya di luar komunitas sekitarnya.

Dengan adanya posisi strategis seperti ini, maka tak heran jika Geertz menyebut peran Kyai pada suatu saat adalah semacam makelar budaya (cultural broker) bagikomunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya. Kyai adalah figur yang dianggapmemiliki kelebihan dalam keilmuan agama dan juga kemampuan menerjemahkanpengaruh-2 luar kepada komunitasnya. Gus Dur lebih jauh ketimbang Geertz dalammelihat fungsi Kyai. Bukan saja sebagai makelar budaya, Kyai (dan ponpes) jugamenjadi pencipta (creator) dan penemuproduk budaya baru sebagai hasil dari perenungan, pemikiran, dan interaksi intensifnya dengan dunia luar. Tak heran jika banyak kalangan dari luar ponpesyang sering kaget dengan orisinalitas pemikiran para Kyai dalam bidang-bidangyg strategis di luar lingkup ponpes. Rois Akbar NU KH Hasyim Asy’ari, KH. BisriSyansuri, KH, Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Shiddiq, KHAbdurrahman Wahid, dan banyak Kyai besar NU adalah contoh-2 utama yg bisadisebutkan. Dan masih banyak lagi dalam kapasitas yang berskala lokal,regional, dan nasional.

Berangkat dari latar belakang sejarah,peran dan fungsi ponpes tsb, maka jika saat ini muncul fenomena radikalisme(gagasan, ideologi, dan praksis) yang berdampak sangat destruktif bagimasyarakat, bangsa Indonesia, dan ummat Islam, ponpes pun harus tampilmemberikan kontribusinya. Ponpes dapat berkontribusi besar baik dalam dimensitafaqquh fid-din, maupun rekayasa sosial budaya untuk membendung danmemberantas radikalisme di lingkungannya, yang berarti juga benteng pertamabagi bangsa dan NKRI. Ponpes baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, tergantungdari kapasitas dan lingkup pengaruhnya mampu melahirkan pemikiran yang dapatdipakaiutk menolak ideologi radikal yang mengatasnamakan ajaran Islam, sepertiideologi kaum Jihadis yg saat ini sedang marak di negeri kita mulai dari levelakar-rumput sampai elitnya. Lebih penting lagi, ponpes juga menjadi komponenutama dalam masyarakat sipil menyadarkan betapa berbahayanya radikalisme tsbkarena salah satu sasaran utamanya adalah menghancurkan nilai-2 inti (core values) yang selama ini dijadikanpegangan dan rujukan oleh kaum nahdliyyin,yakni nilai-2 Aswaja.


III. Strategi Ponpes Dalam Agenda De-radikalisasi

Dalam buku “Antara Terorisme dan Jihad” karya Dzulqarnain As-Sunusi (2011)khususnya Bab III tentang Pandangan IslamTerhadap Terorisme, pengertian terorisme sesuai dengan fatwa dari Al-Azhar adalah “membuat takut orang-orang yang aman, menghancurkan kemashlahatan,tonggak-tonggak kehidupan mereka, dan (perbuatan melampaui batas terhadapharta, kehormatan, kebebasan, dan kemuliaan manusia dengan penuhkesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi.”[6] Radikalismedan terorisme dalm pemahaman ini bertolak belakang dengan konsep Jihad yangdiyakini oleh jumhur Ulama dan ummat Islam, yakni “bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawanmusuh dengan tangan, lisan atau apa yang ia mampu.”[7]Terorisme berdampak negatif dan secara syar’i bertentangan dengan ajaran Islam.[8]

Sebab musabab terorismebermacam-macam dan tidak bisa hanya direduksi menjadi satu dua sebab belaka.Namun demikian, faktor pemikiran dan pandangan serta ideologi radikal berikutpenyebarannya adalah salah satu yang utama. Termasuk dalam faktor ini adalahpenyebaran ideologi Takfiriahsebagaimana yang dipropagandakan oleh kelompok-kelompok Jihadis di mana saja.[9]Faktor-faktor struktural tentu juga ikut berperan sebagai pendukung danpendorong berkembangnya ideologi dan praksis radikalisme, seperti ketidakadilan, kesewenang-wenangan penguasa, kemiskinan akut, krisis moral dalamkehidupan publik, infiltrasi dari pihak luar, dan masih kuatnya budayakekerasan dalam suatu komunitas atau masyarakat.

Kiranya menjadi jelaslah di mana locus peran dan fungsi ponpes dalam petajalan (road map) agend penanggulangan ekstremisme-radikalisme. Jika de-radikalisasi dimengerti sebagai salah satu implementasi dari pendekatan kekuatanlunak (soft power) dalam masyarakatsipil, maka ponpes menjadi salah satu ujung tombak terpenting dalam upayaderadikalisasi di bidang ideologi pada akar rumput yakni komunitas Muslim diakar rumput. Ponpes dapat berperan sebagai salah satu actor dalam deteksi danperingatan dini (early detection and warning) terhadap gejala munculnya virusradikalisme, dan sekaligus menjadi penangkalnya. Yang disebut terakhir itudapat secara efektif dilakukan melalui upaya diskursif (wacana) maupun praksis(tindakan di lapangan). Pada tataran diskursif, ponpes dapat memberikanargument kontra berdasarkan penafsiran ajaran-ajaran Islam yang bersumber padatradisi yang telah berabad-abad dimiliki dan dilestarikan oleh ponpes. Padatataran praksis, ponpes dapat ikut serta menjadi pelaksana gerakan membendungradikalisme dalam berbagai aksi sosial dan ekonomi serta budaya.

Dalam pemahaman Aswaja di lingkungannahdliyyin, misalnya, sikap radikal,ekstrim, berlebihan (tatharruf) tidak mendapat tempat dan ditolak.Prinsip-prinsip tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), ‘adalah (adil), adalah merupakanlandasan dalam bersikap dan bertindak termasuk dalam mengambil keputusanhukum-hukum agama. Itulah sebabnya mengapa ponpes sebagai sub-kultur dalammasyarakat dapat bertahan berabad-abad dan bahkan mewarnai kehidupan sosialbudaya serta menjadi kekuatan perubahan (agentof social changes). Kendati pendekatan ponpes tidak radikal revolusioner, tetapi gradualisevolusioner, namun dampak yang ditimbulkannya telah membuat sebuah warnaIslam yang moderat dan inklusif di negeri ini. Penerapan kaidah-kaidah ushulfiqh seperti “memelihara yang lama yangmasih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” atau “jika tidak mendapat keseluruhan, makaambillah sebagian yg bermanfaat”, atau “kebiasaan adalah salah satu dasar hukum” dsb menjadikan para Kyai dan santri sertakomunitas ponpes mampu beradaptasi dan sekaligus melakukan proses transformasiyang tidak menciptakan dampak-dampak yang merusak harmoni sosial.

Secara kongkrit, ponpes perludilibatkan dalam agenda de-radikalisasi sesuai dengan kapasitas dan konteksnyadalam lingkup lokal, regional dan nasional bahkan internasional. Pendekatandari akar rumput untuk de-radikalisasi akan efektif jika pihak pembuatkeputusan bekerjasama secara terpadu, bukan bersifat instruksi dan tekanan dariatas, dengan ponpes serta ormas-ormas sperti NU yang menaungi ratusan ribulembaga pendidikan Islam tradisional. Jika ini dilakukan, maka sebuah beteng (bullwark) yang kokoh untuk membendung radikalisme akan terbangun. Dan ini berarti bahwa ponpes sekali lagi akan menjadi pemeran sejarah yang penting dalam ikut memelihara dan menjaga keamanan nasional NKRI.

IV. Penutup

Ancaman dan bahayaradikalisme merupakan masalah nasionalyang harus dihadapi oleh seluruh komponen bangsa, termasuk masyarakat sipil,diseluruh tanah air. Marknya ideologi radikal dan organisasi-organisasi yangmenggunakan pendekatan kekerasan termasuk terorisme, harus menjadi kepedulianseluruh warganegara, termasuk komunitas pesantren. Sebaliknya, para pengambilkeputusan di tingkat nasional maupun regional dan lokal harus mampumemberdayakan potensi yang sudah terbukti sumbangsihnya selama berabad-abadlamanya dalam membangun komunitas dan masyarakat melalui pendidikan agama,yakni lembaga pondok pesantren. Penanggulangan radikalisme atau de-radikalisasisebagai sebuah strategi yang dianggap efektif dalam jangka panjang haruslahdikembangkan secara kontekstual dengan melibatkan para pemangku kepentinganserta potensi yg dimiliki mereka.

Sudah saatnya pelibatan ponpes dalamde-radikalisasi diimplementasikan dengan menggunakan peta jalan, strategi danupaya-upaya yang jelas, komprehensif, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkankinerjanya. Salah satu yang bisa dikembangkan dalam strategi dan upayade-radikalisasi melalui peran ponpes adalah dalam dimensi ideologi, yaknimelakukan kontra ideologi radikal kelompok Jihadisdengan pengembangan wacana dan praksis keagamaan yang dimotori oleh ponpes.Berbekal pengalaman dan kapasitas dalam bidang kajian dan pendidikan agama ygsudah menyejarah, serta bukti-bukti nyata peran ponpes dalam proses nation and character building selamasejarah NKRI, tak dapat diragukan lagibahwa ponpes akan memberikan kontribusinya yang signifikan. Bukan saja ia akan menjadi salah satu wahana bagi deteksi dan peringatan dini thd bahaya virus radikalisme, tetapi juga pelaksana yang memiliki baik kapasitas maupun kesiapan dalam komunitas akar rumput yang menjadi salah satu sasaran utam darikelompok-kelompok penyebar radikalisme di negeri ini.

(Tulisan ini adalah ringkasan makalah dalam acara Bedah Buku "Antara Jihad dan Terorisme", diseenggarakan oleh Yayasan Salafiyah Kholidiyah, Plumpang Tuban, Jatim, tgl 8 Juni 2013)

Catatan:

[1] Radikalisme adalah gabungan dari duakata ‘radikal” dan “isme”. Radikal berasal dari kata “radix” atau akar. pengertian radikal adalah sesuatuyg ekstrim, fundamental, atau drastis. Radikalisme adalah paham yangmenghendaki perubahan drastis dan ekstrim. Perubahan radikal tidak selaluberarti negatif, tetapi radikalisme lebih cenderung berkonotasi negatif karenapemakaian cara-cara ekstrim, kekerasan dan destruksi (perusakan) terhadaptatanan dan nilai yang ada demi mencapai tujuan.

[2]Kelompok Khawarij adalah kelompok Muslim yang pada mulanya menyokong Sayidina Ali bin Abi Thalib, KW, tetapi kemudianmengingkari, menolak kepimpinan beliau dan bahkan melakukan pembunuhan terhadapbeliau dan juga sebelumnya thd SayyidinaUtsman Ibn ‘Affan, RA. Lihat (http://ms.wikipedia.org/wiki/Khawarij,diunduh 6/6/2013).

[3]Dengan demikian kelompok Khawarij bisa disebut juga sebagai kelompok Takfiri (yang mengafirkan) yang pertamadan cikal bakal kelompok-kelompok Takfiriyang ada sampai sekarang.

[4]Menarik bahwa pemimpin kaum Adat yang diperangi oleh Ulama di Sumatera Barattsb, bergelar Sultan, yaitu YangDipertuan Agung Sultan Arifin Muningsyah. Tidak mungkin gelar tersebutdiberikan kecuali kepada seseorang yang beragama Islam. Konflik tsb berubahmenjadi perang melawan penjajah, ketika kaum Adat meminta bantuan Belanda untukmengalahkan pihak kaum Padri. Lihat (http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri,diunduh tgl. 6/6/2013)

[5]Kecilnya jumlah kelompok dan pendukung kaum radikal Islam di Indonesia tidakberarti bahwa pengaruh mereka tidak signifikan, atau bahwa kerusakan sertakekacauan yang ditimbukan juga kecil. Fakta yang ada menunjukkan bahwakorban-korban terorisme, baik rakyat maupun aparat, serta kerusakan harta-bendadan fasilitas, belum lagi pengaruh psikologis yg ditimbulkannya adalah sangatbesar baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Baca, misalnya, Wawan H.Purwanto, Satu Dasawarsa Terorisme diIndonesia, Jakarta: CMB Press, 2012.

[6]Dzulqarnain As-Sunusi, Antara Jihad danTerorisme, edisi revisi, Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2011, hal. 126

[7]Definisi yang dikutip As-Sunusi dari Ar-Raghibal-Ashbahany, op. cit, hal. 53.

[8]Disebutkan ada 16 (enambelas) dampak negatif dari teorisme secara syar’i: 1) Penentangan thd Allah danRasulNya; 2) Keluar dari Jama’ah kaum Muslimin; 3) Pembangkangan thd Penguasa(yg sah); 4) Perbuatan bid’ah dalam agama; 5) Penghianatan dan melangar janji;6) Pelanggaran thd perjanjian kaum Muslimin; 7) Perbuatan dzalim dan melampauibatas; Terhambatnya penyebaran agama Allah; 9) Terciptanya rasa takut ditengah kaum Muslimin; 10) Terjadinya bahaya di tengah kaum Muslimin; 11)Penguasaan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin; 12) Pembunuhan jiwa ygtidak bersalah; 13) Tersakitinya kaum Muslimin yang tak berdosa; 14) Timbulnyakerusakan di muka bumi; 15) Orang-orang yang berkomitmen terhadap agamanyamenjadi bahan celaan dan cercaan; dan 16) Perusakan harta benda yang terjagadan dilindungi Syari’at. op. cit, hal.204-219.

[9]As-Sunusi mengatakan ada 13 (tigabelas) penyebab munculnya terorisme: 1) Jauhdari tuntunan syari’at Allah; 2) Jahil terhadap tuntunan Syari’at dansedikitnya pemahaman agama; 3) Sikap ekstrim; 4) Jauh dari tuntunan ulama; 5)Mengikuti ideologi menyimpang; 6) Hizbiah (pengelompokan, red) terselubung; 7)Tersebarnya buku-buku yang memuat ideologi terorisme; Mengikuti semangatbelaka; 9) Makar musush-musuh Islam; 10) Tidak diterapkannya hukum Allah padakebanyakan negeri Islam; 11) Paham Khawarij; 12) Kerusakan media massa; dan 13)Diletakkannya berbagai rintangan terhadap dakwah yang haq. Op.cit, hal.165-203.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS