Kabar tentang akan diselenggarakannya deklarasi nasional anti-Syi'ah sudah marak di jejaring sosial (http://www.nahimunkar.com/hadiri-dan-ikuti-deklarasi-aliansi-nasional-anti-syiah/). Hajat seperti ini jelas bukan pertama kalinya, dan pihak penyelenggara dan pendukungnya juga tidak berbeda benar. Inilah salah satu bukti bahwa konflik dalam ummat Islam di negeri ini sengaja dipelihara dan bahkan dirayakan serta memakai model yg ada di negara yg sarat konflik yg sama seperti di kawasan Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika Utara. Adalah sebuah fakta bhw ummat Islam di negeri ini sangat pluralistik, termasuk dalam hal faham/madzhab teologis, Fiqih, dan praktik keberagamaannya. Pluralisme seharusnya dikelola dengan baik oleh para pemimpin dan umat dan didukung oleh negara yg Konstitusinya melindungi hak beragama dan berkeyakinan. Pada era pasca-reformasi, keterbukaaan tampaknya lebih dimaknai sebagi kesempatan utk mengekspressikan kebencian dalam perbedaan, bukan harmoni dalam perbedaan sebagai sebuah bangsa. Karena itu, perbedaan lantas dianggap sebagai hal yg asing, terlarang, kotor, dan harus dimusnahkan. Padahal belum tentu bhw kelompok pembenci tsb pasti benar dalam pengertian konstitusional, legal, politik, dan sosial-budaya. Sikap anti Syiah, anti Ahmadiyah, dsb, adalah ekspressi dari paham kebencian yg dibungkus dengan kebebasan, demokrasi, dan bahkan slogan amar ma'ruf nahi munkar serta dilegitimasi dengan tafsir ajaran. Hasilnya adalah, selain ummat Islam makin terfragmentasi dan mengalami keterpurukan, yang lebih parah lagi adalah bahwa kebencian tsb menghancurkan kehidupan berbangsa Indonesia. Sebab kebencian yg terorganisasi dan memakai ajaran agama tsb akan menggempur habis salah satu prinsip kehidupan berbangsa: Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan madzhab dlm Islam usianya sudah setua usia agama itu sendiri, dan sejarah menunjukkan jejak berdarah konflik madzhab tsb ketika kebencian mendasarinya dan para Ulama serta penguasa-2 menjadi sponsornya. Di Republik ini, seharusnya sejarah berdarah konflik internal Islam tak boleh terulang. Baik para Ulama dan aparat negara harus mengelola perbedaan secara cerdas dan arif, bukan malah membiarkan dan ikut merayakan ideologi kebencian. Gerakan nasional anti-Syiah, menurut saya, bukan sekadar ekspressi perbedaan paham, tetapi sudah terkontaminasi oleh ideologi politik kebencian (hatred-based ideology)) yg merusak. Saya yakin ia ikut disemangati dan diilhami oleh kekuatan ideologi yg sama dari luar Indonesia (trans-national ideologies) yang kemudian disebar-luaskan oleh para broker nya di negeri ini. Akankah kita biarkan bangsa dan negeri ini hancur oleh politik kebencian (the politics of hatred) dan penyebar kebencian (hatemongers) itu? Jawabnya ada pada anda masing-masing sebagai warganegara RI.
Simak tautan ini:
http://liputanislam.com/berita/ulama-nu-kritik-rencana-deklarasi-anti-syiah
Friday, April 18, 2014
Home »
» MENOLAK BAHAYA IDEOLOGI DAN POLITIK KEBENCIAN
0 comments:
Post a Comment