Analisis yang dibuat oleh Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Aminuddin Kasdi (AK), mengenai rivalitas para mantan Jenderal TNI dan Polri dlm Pilpres 2014ini, menurut h...emat saya adalah analisis dangkal dan berpotensi menyesatkan. Dangkal, karena analisis tersebut sangat mengabaikan fakta. Misalnya, AK menyebut bahwa rivalitas tsb dianggap sebagai kelanjutan dari apa yang pernah terjadi pada 1998, ketika ada yang disebut sebagai kelompok Jenderal "Hijau" vs Jenderal "Nasionalis". Istilah hijau dan nasionalis tsb dipakai untuk membedakan antara kubu yang memiliki kedekatan dan mendukung Habibie, ICMI, dan Prabowo, sedang yang nasionalis adalah kubu Pak Harto dan bukan pendukung ICMI, Habibie atau Prabowo.
Jika konstelasi 1998 menciptakan pemilahan spt itu, hemat saya, ia tidak bisa kemudian digebyah uyah (digeneralisasi) bahwa kedua kubu tsb masih terus eksis dan berkelanjutan sehingga para pendukung Prabowo-Hatta lalu bisa diberi label Jenderal "Hijau" dan lawannya kubu "nasionalis." Sebab kalau dilihat latar belakang mereka, belum tentu para purnawirawan Jenderal yg kini ada di kubu Prabowo semuanya pendukung ICMI dan Habibie dan berada di luar kubu Pak Harto. Demikian juga sebaliknya, belum tentu yang kini berada di belakang kubu Jokowi-JK semuanya adlh pendukung Pak Harto dan anti Habibie serta anti ICMI. Sebab lainnya, perkubuan pada 1998 terjadi pada Jenderal aktif yg bisa melibatkan kelembagaan TNI-Polri, sementara saat ini adalah para purnawirawan dan bermotif kepentingan pribadi.
Karena itu, analisa tsb juga berpotensi menyesatkan karena implikasinya adalah seolah-olah konflik internal dalam TNI masih berkesinambungan, padahal yang sekarang terjadi adalah rivalitas antara para MANTAN Jenderal TNI dan Polri, bukan mereka yang masih aktif dalam kemiliteran seperti th 1998. Analisa AK adalah "otak-atik gathuk", spekulatif, dan tidak didasari fakta dan pemahaman mengenai TNI dan politik yg solid. Pemilahan atau dikotomi antara Jenderal "hijau" vs "nasionalis" adalah semacam labeling belaka untuk semakin membuat persoalan menjadi lebih rumit dari yg seharusnya.
Jika analisis semacam ini berkembang, maka yang sangat dirugikan adlh lembaga akademis di negeri ini, karena prinsip-2 keilmuan yang berupa komitmen terhadap fakta dan kejujuran telah dikorbankan di atas altar politik partisan. Demikian pula, TNI dan Polri kemudian ikut terseret karena dianggap masih belum bebas dari konflik internal seperti th 1998 padahal kedua lembaga tsb jelas telah melakukan reformasi internal yang jauh lebih maju bahkan jika dibanding dengan parpol. Rivalitas para mantan Jenderal saat ini jelas bukan cerminan rivalitas di dalam tubuh TNI, sebab pada yang pertama yang terjadi adalah rivalitas bermotif kepentingan politik pribadi-2 yg bukan representasi dari TNI kendati mereka memiliki keterkaitan emosi dan sebagai latar belakang karir.
Jika konstelasi 1998 menciptakan pemilahan spt itu, hemat saya, ia tidak bisa kemudian digebyah uyah (digeneralisasi) bahwa kedua kubu tsb masih terus eksis dan berkelanjutan sehingga para pendukung Prabowo-Hatta lalu bisa diberi label Jenderal "Hijau" dan lawannya kubu "nasionalis." Sebab kalau dilihat latar belakang mereka, belum tentu para purnawirawan Jenderal yg kini ada di kubu Prabowo semuanya pendukung ICMI dan Habibie dan berada di luar kubu Pak Harto. Demikian juga sebaliknya, belum tentu yang kini berada di belakang kubu Jokowi-JK semuanya adlh pendukung Pak Harto dan anti Habibie serta anti ICMI. Sebab lainnya, perkubuan pada 1998 terjadi pada Jenderal aktif yg bisa melibatkan kelembagaan TNI-Polri, sementara saat ini adalah para purnawirawan dan bermotif kepentingan pribadi.
Karena itu, analisa tsb juga berpotensi menyesatkan karena implikasinya adalah seolah-olah konflik internal dalam TNI masih berkesinambungan, padahal yang sekarang terjadi adalah rivalitas antara para MANTAN Jenderal TNI dan Polri, bukan mereka yang masih aktif dalam kemiliteran seperti th 1998. Analisa AK adalah "otak-atik gathuk", spekulatif, dan tidak didasari fakta dan pemahaman mengenai TNI dan politik yg solid. Pemilahan atau dikotomi antara Jenderal "hijau" vs "nasionalis" adalah semacam labeling belaka untuk semakin membuat persoalan menjadi lebih rumit dari yg seharusnya.
Jika analisis semacam ini berkembang, maka yang sangat dirugikan adlh lembaga akademis di negeri ini, karena prinsip-2 keilmuan yang berupa komitmen terhadap fakta dan kejujuran telah dikorbankan di atas altar politik partisan. Demikian pula, TNI dan Polri kemudian ikut terseret karena dianggap masih belum bebas dari konflik internal seperti th 1998 padahal kedua lembaga tsb jelas telah melakukan reformasi internal yang jauh lebih maju bahkan jika dibanding dengan parpol. Rivalitas para mantan Jenderal saat ini jelas bukan cerminan rivalitas di dalam tubuh TNI, sebab pada yang pertama yang terjadi adalah rivalitas bermotif kepentingan politik pribadi-2 yg bukan representasi dari TNI kendati mereka memiliki keterkaitan emosi dan sebagai latar belakang karir.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment